Tuesday, January 19, 2021

SEPUTAR VAKSIN COVID-19


Assalamualaykum warahmatullah wabarakaatuh. Ustadz mohon bimbingannya seputar vaksin covid-19, apakah kita wajib vaksin atau tidak? Syukron.

Jawaban :

Wa’alaykumussalaam warahmatullah wabarakaatuh...

Sudah kurang lebih setahun lama nya kita menghadapi wabah pandemi yang mematikan ini. Belum selesai kita menuntaskan solusi dari permasalahan pandemi ini, kita dihadang dengan berbagai bencana dan kesedihan yang bertubi-tubi. Jatuhnya pesawat, wafatnya para ulama dan orang-orang baik di sekitar kita, banjir di Kalimantan dan ditempat lain nya, longsor di sulawesi, dan berbagai bencana lain.  

Kira nya sudah waktunya kita berbenah dan introspeksi sebagai sebuah bangsa: banyak kemaksiatan dan kerusakan senantiasa kita lakukan, tanpa kita perbaiki kemaksiatan dan kerusakan itu.

Allah Ta’ala berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka (kembali ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum [30] :41)

Saat gempa terjadi di bumi Madinah, ‘Umar Ibnul Khattab radhiyallaahu ‘anhu langsung mengingatkan manusia :

يا أيها الناس ما أسرع ما أحدثتم، لإن عادت لأخرجن من بين أظهركم

“Wahai manusia! Betapa cepatnya kalian melakukan dosa, seandainya gempa ini datang lagi maka aku akan keluar dari hadapan kalian [yaitu meninggalkan kota Madinah].” (Al-Fitan, hal. 377, & As-Sunan Al-Kubra 3/342)

Begitu pula sikap Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tatkala terjadi musibah gempa :

يا أيها الناس ! إن ربكم يستعتبكم فأعتبوه

“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah menginginkan kalian untuk kembali, maka kembalilah pada-Nya.” (Tafsir At-Thabari, 17/478)

Kembali kepada-Nya adalah dengan mentaati-Nya, menegakkan hukum-hukum-Nya dalam berbagai aspek kehidupan, serta menjauhi segala perkara yang dapat mendatangkan murka-Nya.

Adapun terkait vaksin covid-19, sesungguhnya para ulama kita yang terhormat di Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan bahwa vaksin tersebut halal dan BPOM menyatakan vaksin tersebut aman digunakan, meski uji klinik masih dalam pantauan. Cukup berpedoman pada pernyataan ahli yang demikian, maka kami mengatakan tidak perlu khawatir dalam menerima vaksin ini. Ini adalah bagian dari ikhtiar kita untuk melakukan pengobatan dan pengamanan dari virus yang mematikan.

Tapi, apakah wajib bagi kita untuk menerima vaksin? 

Pertama-tama kita jelaskan bahwa vaksinasi (vaccination, at-talqiih) atau imunisasi (immunization, at-tath’im bil liqahaat at-thibbiyyah) adalah pemberian vaksin ke dalam tubuh seseorang untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit tersebut. 

Kata vaksinasi berasal dari bahasa latin vacca yang berarti sapi - diistilahkan demikian karena vaksin pertama berasal dari virus yang menginfeksi sapi (cacar sapi). (https://id.wikipedia.org/wiki/Vaksinasi)

Karena vaksinasi dianggap bagian dari penyembuhan/pengobatan [al-‘ilaaj/at-tadaawi], maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pengobatan. Sifat dari pengobatan dengan vaksin ini sendiri adalah wiqaayah [pencegahan/preventif]. Pengobatan dengan cara mencegah penyakit. 

Ada yang beranggapan bahwa berobat dalam Islam itu hukumnya sunnah [termasuk pengobatan dengan cara pencegahan seperti vaksin ini dianggap sunnah]. Padahal, ada sebagian kalangan justeru beranggapan bahwa berobat itu hukumnya makruh [tidak disukai], sebagaimana yang disebutkan Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim, Juz 3 Hal. 90.

Sebab apa para ulama berbeda pandangan tentang hukum pengobatan? Sebab, disatu sisi ada dalil yang memerintahkan pengobatan –seperti hadits di bawah ini- :

1. Dari Abu Darda berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الله أنزل الداء والدواء ، وجعل لكل داء دواء ، فتداووا ، ولا تتداووا بالحرام

‘’Sesungguhnya Allaah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang haram.’’ (HR. Abu Dawud No. 3874)

2. Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab baduwi berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يا رسول الله ألا نتداوى ؟ قال : ( تداووا ، فإن الله لم يضع داء إلا وضع له شفاء إلا داء واحد ) قالوا : يا رسول الله وما هو ؟ قال : ( الهرم )

’Wahai Rasulullah, apakah kita berobat?, Nabi bersabda, ‘Berobatlah, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali pasti menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak ada obatnya),’ mereka bertanya,’’apa itu’’ ? Beliau bersabda,’’penyakit tua.’’(HR.Tirmidzi 2038) 

Di sisi lain ada dalil yang menunjukkan keutamaan meninggalkan berobat dan memilih untuk sabar, seperti hadits :

عَن عَطَاءُ بْنُ أَبِى رَبَاحٍ قَالَ قَالَ لِى ابْنُ عَبَّاسٍ أَلاَ أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى . قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ إِنِّى أُصْرَعُ ، وَإِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِى . قَالَ « إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ » . فَقَالَتْ أَصْبِرُ . فَقَالَتْ إِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ ، فَدَعَا لَهَا

Dari ‘Atha' bin Abi Rabah, ia berkata bahwa Ibnu ‘Abbas berkata padanya, “Maukah kutunjukkan wanita yang termasuk penduduk surga?” ‘Atho menjawab, “Iya mau.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Wanita yang berkulit hitam ini, ia pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas ia pun berkata, “Aku menderita penyakit ayan dan auratku sering terbuka karenanya. Berdo’alah pada Allah untukku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Jika mau sabar, bagimu surga. Jika engkau mau, aku akan berdo’a pada Allah supaya menyembuhkanmu.” Wanita itu pun berkata, “Aku memilih bersabar.” Lalu ia berkata pula, “Auratku biasa tersingkap (kala aku terkena ayan). Berdo’alah pada Allah supaya auratku tidak terbuka.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun berdo’a pada Allah untuk wanita tersebut. (HR. Bukhari No. 5652, Muslim No. 2576)

Saat Rasulullah menyebutkan 70.000 golongan yang masuk surga tanpa hisab, beliau menyebutkan :

هُمُ الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَ لاَ يَتَطَيَّرُونَ وَ عَلَى رَبِّـهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِـحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُـمَّ قَامَ رَجُلٌ آجَرُ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِـهَا عُكَّاشَةُ

“Mereka itu adalah orang yang tidak pernah minta diruqyah, tidak meminta di kay [berobat dengan membakar bagian tubuh] dan tidak pernah melakukan tathayyur [ramalan burung] serta mereka bertawakkal kepada Rabb mereka.’

Lalu Ukasyah bin Mihshon berdiri dan berkata: “Mohonkanlah kepada Allah, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!’ Beliau menjawab: ‘Engkau termasuk mereka’, Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata: ‘Mohonlah kepada Allah, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!’ Beliau menjawab:’Kamu sudah didahului Ukasyah.’.” (Muttafaq Alaih)

Dalam pandangan kami, pengobatan sendiri mesti dipisahkan antara :

a. Pengobatan dengan benda yang mubah [halal dan suci], dan
b. Pengobatan dengan benda yang diharamkan [termasuk jenis benda yang haram atau najis].

Pengobatan dengan benda yang halal dan suci hukumnya :

1. Mubah, jika diduga kuat bahwa pengobatan tadi tidak terlalu dibutuhkan dan bermanfaat. Seperti kasus vaksin yang boleh jadi di sebagian daerah dianggap tidak genting karena kondisi wabah virus yang tidak parah.

2. Sunnah, jika diduga kuat pengobatan tadi dibutuhkan dan bermanfaat. Dalam kondisi tidak darurat.

3. Wajib, jika diduga kuat bahwa pengobatan tersebut mencegah penyakit yang lebih berbahaya dari tubuh seseorang, atau diduga kuat bahwa jika tidak berobat, akan berakibat pada kematian/penyakit yang mematikan.

4. Makruh, jika menggunakan benda-benda yang makruh padahal masih banyak benda alternatif lain yang halal. 

5. Haram, jika menggunakan benda yang haram bukan dalam kondisi darurat. (Syaikh Kamauddin Jum’ah, Ahkam At-Tadawi wa Ad-Dawa fil Fiqh Al-Islami, hal. 32-33)

Adapun pengobatan dengan benda yang haram, pandangan kami sebagaimana pandangan madzhab Syafi’I :

“Sahabat-sahabat kami [Pengikut Madzhab Syafi’i] berpendapat : Sesungguhnya berobat dengan menggunakan benda najis dibolehkan apabila belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya, apabila telah didapatkan – obat dengan benda yang suci – maka haram hukumnya berobat dengan benda-benda najis. Inilah maksud dari hadist “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesehatan kalian pada sesuatu yang diharamkan atas kalian”, maka berobat dengan benda najis menjadi haram apabila ada obat alternatif yang tidak mengandung najis dan tidak haram apabila belum menemukan selain benda najis tersebut. Sahabat-sahabat kami [Pengikut Madzhab Syafi’i] berpendapat : Dibolehkannya berobat dengan benda najis apabila para ahli kesehatan –farmakologi menyatakan bahwa belum ada obat kecuali dengan benda najis itu, atau obat – dengan benda najis itu – direkomendasikan oleh dokter muslim”. (Imam Nawawi, Al Majmu’, 9/55)

Maka jika tidak ditemukan pengobatan dengan benda yang halal [yang ada hanya dengan yang haram], hukumnya disamakan seperti pengobatan dengan benda halal pada umumnya yang kami paparkan diatas.

Tinggal kita melihat, sejauh mana kedaruratan penggunaan vaksin di daerah tempat kita tinggal. Jika memang darurat, maka bisa jadi jatuh menjadi wajib. Wallaahu a’lam.

Dijawab oleh : Ust Muhammad Rivaldy Abdullah

Friday, November 20, 2020

BEGINILAH GIGIHNYA PARA ULAMA DALAM BELAJAR


Oleh : Muhammad Rivaldy Abdullah


Pernah kah kita suatu saat malas untuk mendatangi majelis ilmu?

Entah alasannya sedang tidak mood, atau merasa ada hal lain yang lebih penting.


Kadangkala ada orang, hujan sedikit ia izin untuk tidak menghadiri pengajian kitab. Kadang juga alasannya adalah kesulitan kendaraan atau kecapekan. Padahal, itu adalah satu-satunya kesempatannya untuk belajar ilmu syari’at dimana waktu hidupnya ia banyak habiskan untuk hal-hal bersifat duniawi.


Jika dibandingkan dengan kerja keras para ulama, ternyata usaha kita untuk belajar tidak ada apa-apanya sama sekali. Kita hanya tahu para Ulama setelah nama mereka dikenang. Tak banyak yang tahu potret kehidupan ‘sengsara’ mereka dan bagaimana mereka berjuang untuk ilmu dan berkhidmat kepada ummat. Pengetahuan kita hanya terbatas pada karya-karya mereka yang luar biasa.


Simak bagaimana potret kehidupan para ulama salaf sesungguhnya dibawah ini, yang kami himpun dari kitab Shafahaat min Shabril ‘Ulama (Lembar-lembar Kesabaran Para ‘Ulama) karya Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah rahimahullah.


1. Abu Hurairah Menahan Lapar Demi Mendapatkan Hadits


Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya, Kitab Al-‘Ilm, Bab Hifdzul ‘Ilm Juz 1 Hal. 190, ia berkata : Abu Hurairah berkata,


“Sesungguhnya saudara-saudara kami dari kalangan Muhajirin sibuk dengan perdagangan mereka di pasar. Sedangkan, saudara-saudara kami dari Anshar sibuk bekerja dengan harta mereka.”


Sementara, Abu Hurairah sendiri selalu menyertai Rasulullah sebatas perutnya kenyang. Ia hadir di Majelis yang tidak mereka hadiri. Ia menghafal apa yang tidak mereka hafal. Syaikhul Islam Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini membuktikan bahwa mengambil sedikit dari dunia itu lebih memungkinkan untuk menjaga ilmu.” (Fathul Baari, 1/192).


2. Jabir Ibn Abdillah Menempuh Perjalanan Satu Bulan Untuk Mendapatkan Satu Hadits


Imam Abu Abdillah Al-Bukhari berkata di dalam Shahihnya, kitab Al-Ilm, Juz 1 Hal. 158, Bab Al-Khuruj fi Thalabil ‘Ilm, “Jabir Ibn Abdillah melakukan perjalanan selama satu bulan untuk menemui Abdullah Ibn Unais, demi mendapatkan satu hadits.”


3. Ibnu Abbas Sering Tidur Di Depan Pintu Rumah Pemilik Hadits


Imam Ibn Katsir bercerita di dalam Al-Bidayah wan Nihayah Juz. 8, Hal. 298, tentang biografi Imam Ibn Abbas, bahwa Imam Al-Baihaqy berkata –dengan sanad sampai kepada Ikrimah- ia berkata, bahwa Ibnu Abbas menceritakan,


“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam wafat, aku berkata kepada seorang laki-laki dari Anshar,’Marilah kita bertanya (suatu ilmu) kepada para sahabat Rasulullah, pada hari ini jumlah mereka banyak.’ Dia menjawab, ‘Kamu ini aneh, wahai Ibnu Abbas! Apakah engkau mengira orang-orang akan membutuhkan mu, sementara para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam berada di tengah-tengah mereka.’


Ibnu Abbas mengatakan, “Orang itu tidak berkenan, maka aku pun berjuang untuk mendapatkan hadits dari para sahabat senior. Jika terdapat hadits yang aku dengar ada pada seseorang, maka aku pun datang ke rumahnya, walaupun ia sedang istirahat di siang hari. Maka, aku menghamparkan kain ku di depan pintunya, melindungiku dari debu yang tertiup angin. Maka, ia pun keluar dan segera melihatku. Ia bertanya, “Wahai sepupu Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam, Apa yang membuatmu datang ke sini? Mengapa engkau tidak meminta ku untuk datang menemui mu?” Aku menjawab, “Tidak, aku lebih berhak untuk datang kepada mu”. Ibnu Abbas mengatakan, “Aku pun bertanya tentang suatu hadits kepadanya.”


Ibnu Abbas bercerita, “Orang Anshar tersebut berumur panjang, sehingga ia melihat diriku, sementara orang-orang berkumpul di sekelilingku bertanya kepada ku,” Orang itu berkata, “Anak muda ini lebih mengerti daripada aku.”


4. Imam Malik Mencongkel Atap Rumahnya


Qadhi ‘Iyadh menuturkan dalam kitab Tartibul Madaarik Juz 1, Hal. 130 bahwa Ibnul Qasim menuturkan : 


“Menuntut Ilmu menjadikan Imam Malik harus mencongkel atap rumahnya dan menjual kayunya, sehingga setelah itu dunia mendatanginya.” Bahkan Imam Malik berkata, “Ilmu tak akan diraih, sebelum dirasakan pahitnya kemiskinan”.


5. Imam Syafi’I Menulis di Kertas Bekas


Al-Hafidz Ibn Abdil Barr meriwayatkan dalam kitab Al-Intiqa’ fi Fadha-il As-Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’, hal. 70 : Imam Syafi’I berkata, 


“Aku tidak mempunyai harta. Aku menuntut Ilmu dalam usia muda (usia 13 tahun). Aku pergi ke kantor dan meminta kertas bekas untuk menulis.”


6. Imam Ahmad Ibn Hanbal Menjual Pakaian Dalam Demi Buka Shaum


Disebutkan dalam kitab Al-Minhaj Al-Ahmad, Juz 1 Hal. 8, karya Abu Al-Yumni Al-Ulaimi Al-Hanbali tentang biografi Imam Ahmad, bahwa Imam Ahmad pernah pergi menemui Abdurrazzaq di Shan’a – Yaman, tahun 197 H. Yahya Ibn Ma’in menemani nya dalam perjalanan tersebut.


Yahya menuturkan, “Ketika kami ingin menemui Abdurrazzaq di Yaman, kami sempatkan menunaikan ibadah haji. Ketika aku thawaf, aku melihat Abdurrazzaq juga tengah thawaf. Maka, aku mengucapkan salam kepadanya, seraya mengatakan, ‘Ini adalah Ahmad Ibn Hanbal, saudaramu.’ 


Maka kami pun berencana pergi ke Shan’a. Ahmad Ibn Hanbal kehabisan bekal di perjalanan. Abdurrazzaq menawarkan uang dirham dalam jumah besar, tetapi Ahmad tidak menerimanya. Abdurrazzaq berkata, ‘Anggaplah ini seperti hutang’. Ahmad tetap menolak. Kami pun menawarkan bekal-bekal kami kepadanya, tetapi ia tetap menolak. Maka, sekali waktu kami mengintipnya. Ternyata ia membuat tali celana dalam dan menjualnya untuk ia gunakan berbuka shaum.”


7. Semua Warisan milik Yahya Ibn Ma’in Habis Digunakan untuk Ilmu, Sampai Ia Tak Mampu Beli Sendal


Al-Ulaimi menuturkan dalam kitab Al-Minhaj Al-Ahmad, Juz 1. Hal. 95 : “Imam Yahya Ibn Ma’in lahir pada masa Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur tahun 158 H. Ayahnya, Ma’in, adalah sekretaris Abdullah Ibn Malik. Ia diberi kepercayaan untuk menangani pajak penduduk Ray. Saat wafat beliau meninggalkan warisan sebanyak satu juta lima puluh ribu dirham. Maka, Yahya menggunakan seluruhnya untuk kepentingan hadits, sehingga tidak tersisa sedikit pun dari uang itu, meski untuk membeli sandal yang akan ia pakai.”


8. Imam Abu Dawud Menulis Hadits dengan Modal Makan Kacang


Imam Abu Dawud As-Sijistani (seorang Imam Hadits terkemuka, penyusun Sunan Abi Dawud), berkata, “Aku memasuki kota Kuffah dan hanya mempunyai uang satu dirham. Dengannya, aku membeli 30 mud kacang-kacangan. Aku makan darinya dan menulis hadits dari Al-Asyaj (yakni Abdullah Ibn Sa’id Al Kindi, ahli hadits Kufah). Kacang-kacangan tersebut belum habis, hingga aku mampu menulis dengan modal tersebut 30.000 hadits, baik yang maqthu’ maupun mursal.” (Adz-Dzahabi, Tadzkiratul Huffadz, 2/768)


9. Imam Thabrani Tidur Beralaskan Tikar Selama 30 Tahun Hidupnya


Al-Hafidz Adz-Dzahabi berkata di dalam Tadzkiratul Huffadz Juz 3, Hal. 912 dan 915, tentang biografi Imam At-Thabrani,


“Dia adalah seorang hafidz (imam hadits), ulama, hujjah yang tersisa dari para hafidz, Abul Qasim Sulaiman Ibn Ahmad Al-Lakhami As-Syami At-Thabrani. Lahir tahun 260 H, dan wafat tahun 360 H, umurnya satu abad lebih sepuluh bulan. Haditsnya telah memenuhi dunia. Karya-karya nya melebihi 75 karya. 


Imam At-Thabrani pernah ditanya, “Bagaimana ia mendapat hadits begitu banyak?”. Beliau menjawab, “Aku tidur di Tikar selama 30 tahun”(makna nya beliau meninggalkan leha-leha).


10. Ya’qub Ibn Sufyan Al-Farisi Menghabiskan Waktu 30 Tahun dalam Perjalanan Mencari Ilmu


Tercantum di dalam Tahdzibut Tahdzib Juz 11 Hal. 387, tentang biografi seorang hafidz pengembara, Ya’qub Ibn Sufyan Al-Farisi (w. 277 H), bahwa Abu Abdirrahman An-Nawahandi berkata, “Aku mendengar Ya’qub Ibn Sufyan berkata, ‘Aku telah menulis ilmu dari seribu syaikh lebih, yang semuanya tsiqat.” Ibnu Hamzah mengatakan, “Ya’qub Ibn Sufyan berkata kepada ku, ‘Aku menghabiskan 30 tahun dalam perjalanan mencari ilmu.”


11. Imam Al-Bukhari Senantiasa Terjaga di Malam Hari Demi Menulis Hadits


Tercantum di dalam Thabaqat As-Syafi’iyyah, Juz 2, Hal. 220 dan 226, tentang biografi Imam Bukhari bahwa Muhammad Ibn Abi Hatim berkata, “Jika aku bersama Abu Abdillah (Imam Bukhari) dalam suatu perjalanan, maka dia mengumpulkan kami dalam satu rumah, kecuali terkadang di musim panas. Aku melihatnya bangun dalam satu malam sebanyak lima belas sampai dua puluh kali. Pada saat seperti itu, ia mengambil pemantik api, lalu ia menyalakan api dan lampu. Kemudian ia mengeluarkan hadits-hadits, dan menandainya. Lalu, ia merebahkan diri, dan shalat di waktu sahur sebanyak tiga belas rakaat.” (bersambung)

Thursday, August 20, 2020

SEJARAH PENANGGALAN HIJRIYYAH & BAGAIMANA KITA BERAMAL DI BULAN MUHARRAM




Oleh : Muhammad Rivaldy Abdullah

Peristiwa Hijrah dapat dikatakan sebagai peristiwa terbesar dalam sejarah dakwah Islam. Kelak -pada masa 'Umar- moment hijrah inilah yang dijadikan acuan sebagai awal penanggalan tahun dalam Negara Islam. Hijrah adalah moment saat Nabi dan Para Sahabat mulai meraih kemenangan dakwah. 

Karena erat kaitannya dengan sejarah besar Islam, maka memperingatinya adalah sesuatu yang penting. Bukan bid'ah. Tahun Hijriyyah adalah Tahun Ummat Islam. Erat kaitannya dengan sejarah peradaban Islam yang dibangun oleh Rasulullah dan Para Sahabat, dengan bimbingan wahyu.

Kita harus memanfaatkan moment tersebut sebagai refleksi amal kita setahun belakang. Dan kita jadikan awal tahun itu sebagai kesempatan bagi kita menyusun program-program perbaikan ilmu dan amal. Dalam bahasa kekiniannya, Resolusi Tahun 1441 Hijriyyah. 

*Sejarah Penanggalan Hijriyyah*

Masyarakat Arab Pra-Islam telah mengenal sistem penanggalan hari dan bulan. Mereka telah mengenal awal bulan, hari kedua, dst menggunakan standar hilal. Mereka juga mengenal bulan Muharram, Shofar, Dzulhijjah, dll [termasuk bulan-bulan haram)] Hanya saja, mereka belum mengenal sistem penanggalan tahun.

Mereka biasanya menggunakan nama kejadian atau peristiwa yang terjadi pada saat itu, sebagai acuan tahun. Seperti : Tahun Gajah [saat penyerangan Ka'bah oleh Tentara Gajah pimpinan Abrahah]; Tahun Fijar [saat terjadi Perang Fijar]; Tahun Banjir [saat Makkah dilanda Banjir]. Terkadang, mereka juga menggunakan tahun kematian seorang tokoh sebagai acuan, semisal: 10 tahun setelah meninggalnya Ka’ab bin Luai. 

Sampai akhirnya di masa pemerintahan Umar Ibn Khattab radhiyallahu ‘anhu, mulai ditetapkanlah sistem penanggalan Tahun Hijriyyah. Sebagaimana kita ketahui, 'Umar lah yang banyak meletakkan dasar-dasar pemerintahan di dalam sistem Islam, dimana salah satunya adalah sistem diwan. Sehingga, layak lah 'Umar dikatakan sebagai “Bapak Pemerintahan Islam”. 

Di tahun ketiga 'Umar menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah. 

Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:

إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي

“Telah datang kepada kami beberapa surat dari Amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun lalu.”

Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada mereka:

ضعوا للناس شيئاً يعرفونه

“Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”

Sebagian sahabat mengusulkan, menjadikan tahun bangsa Romawi sebagai acuan. Namun usulan ini ditolak, karena tahun Romawi dianggap sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain. *(Fashlul Khithab fi Sirati Ibnil Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1/150)*

Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayyab, beliau menceritakan:

Khalifah 'Umar mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya : “Sejak kapan kita harus menulis tahun?”

Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama. *(Al-Mustadrak No. 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi)*

Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi acuan?

Jawabannya disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar sebagai berikut:

أن الصحابة الذين أشاروا على عمر وجدوا أن الأمور التي يمكن أن يؤرخ بها أربعة، هي مولده ومبعثه وهجرته ووفاته، ووجدوا أن المولد والمبعث لا يخلو من النزاع في تعيين سنة حدوثه، وأعرضوا عن التأريخ بوفاته لما يثيره من الحزن والأسى عند المسلمين، فلم يبق إلا الهجرة

“Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Umar, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender ada empat: tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun ketika diutus sebagai rasul, tahun ketika hijrah, dan tahun ketika beliau wafat.

Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu. 

Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau.” *(Fathul Baari, 7/268)*

Abu Zinad mengatakan:

استشار عمر في التاريخ فأجمعوا على الهجرة

”Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka sepakat mengacu pada peristiwa hijrah". (Fashlul Khithab fi Sirati Ibnil Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1/150)*

Karena hitungan tahun dalam kalender Islam mengacu kepada hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya kalender ini dinamakan sebagai kalender hijriah.

Setelah mereka sepakat bahwa perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan apakah yang dijadikan sebagai bulan pertama.

Pada musyawarah tersebut, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengusulkan agar bulan pertama dalam kalender Hijriah adalah Muharram. Karena beberapa alasan:

a. Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa-masa silam.

b. Di bulan Muharram, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke Baitullah.

c. Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharram. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat ‘Aqabah yang kedua. *(Fathul Bari, 7/268)*

Sejak saat itu kaum muslimin memiliki kalender resmi, yaitu kalender hijriyah, dan bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender tersebut.

*Beramal di Bulan Muharram*

Amalan di bulan Muharram telah Allaah gariskan dengan shaum. Adapun shalat malam, sedekah anak yatim, dsb maka perbuatan baik tersebut boleh dikerjakan di bulan Muharram berdasarkan ijtihad 'ulama.

Bagaimanakah shaum Muharram?

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu ia berkata; bahwasanya Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Shaum yang paling afdhal setelah bulan Ramadhan, adalah [shaum] di bulan Allah, yakni Muharram. Dan shalat yang paling afdhal setelah shalat fardhu, adalah shalat malam”. *(HR. At-Tirmidzi No. 438, 740)*

Al-Imam An-Nawawi berkata :

تَصْرِيحٌ بِأَنَّهُ أَفْضَلُ الشُّهُورِ لِلصَّوْمِ وَقَدْ سَبَقَ الْجَوَابُ عَنْ إِكْثَارِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ صَوْمِ شَعْبَانَ دُونَ الْمُحَرَّمِ وَذَكَرْنَا فِيهِ جَوَابَيْنِ أَحَدُهُمَا لَعَلَّهُ إِنَّمَا عَلِمَ فَضْلَهُ فِي آخِرِ حَيَاتِهِ وَالثَّانِي لَعَلَّهُ كَانَ يَعْرِضُ فِيهِ أَعْذَارٌ مِنْ سَفَرٍ أَوْ مَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِمَ

“[Hadits ini] menunjukkan dengan jelas bahwasanya bulan itu[Muharram] adalah bulan yang paling afdhal untuk shaum. Dan telah berlalu jawaban tentang pertanyaan mengapa Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam justeru lebih banyak shaum di bulan Sya’ban ketimbang bulan Muharram. Dan kami katakan terkait hal itu dua jawaban. Yang pertama, boleh jadi Nabi mengetahui keutamaan shaum di bulan Muharram tersebut pada saat akhir hidup beliau. Dan kedua, boleh jadi Nabi tidak banyak bershaum di bulan Muharram sebab banyaknya udzur tatkala itu baik berupa karena ekspedisi beliau maupun karena sakit, atau lainnya.” *(An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 8/55)*

Juga dalil lain yang menunjukkan bahwa shaum yang afdhal itu shaum SEBULAN PENUH di bulan Muharram.

Dari ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata : Datang seorang laki laki bertanya kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam. “Ya Rasulullaah.. Beritahu kan lah aku satu bulan, yang aku shaum di dalamnya sebulan penuh setelah Ramadhan?”. Maka Rasulullaah menjawab :

إِنْ كُنْتَ صَائِمًا شَهْرًا بَعْدَ رَمَضَانَ، فَصُمِ الْمُحَرَّمَ، فَإِنَّهُ شَهْرُ اللهِ

“Jika engkau hendak shaum satu bulan setelah Ramadhan, maka shaumlah di bulan Muharram. Karena sesungguhnya Muharram itu bulannya Allaah..” *(HR. Ahmad No. 1335)*

Dalil yang menunjukkan disyari’atkannya shaum Asyura (10 Muharram).

Dari Ibn ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam tatkala menetap di Madinah,

melihat Yahudi mengerjakan shaum ‘Aasyura. Maka bertanya Nabi : “Apa ini?”. Mereka menjawab :”Hari ini hari kebaikan. Allah Ta’ala telah menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari musuhnya [pada hari ini], karena itu Musa bershaum setiap hari ini”. Maka Nabi bersabda :

انا احق بموسى منكم

“Aku lebih berhak atas Musa daripada kalian”.

Maka Nabi pun shaum, dan memerintahkan para sahabat untuk shaum. (Muttafaq ‘Alayh)

Bahkan menurut pendapat Abu Hanifah dan Imam Ahmad, shaum Asyura ini hukumnya wajib, sebelum adanya syari’at kewajiban shaum Ramadhan. (Ibn Rajab Al-Hanbali, Latha’if al-Ma’aarif, 1/49)

Akan tetapi, dikatakan bahwa madzhab Hanafi memandang makruh, jika hanya mengerjakan shaum Asyura. Mesti diirngi shaum hari kesembilan [Tasyu’a]. (Fathul Qadir, 2/78)

Ada pula dalil berkenaan dengan shaum hari kesembilan [Tasyu’a].

Dari Ibn ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata : “Tatkala Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam shaum pada hari Asyura [10 Muharram], dan memerintahkan para sahabat untuk shaum pada hari itu, mereka berkata : “Ya Rasulullaah.. Sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Maka berkatalah Nabi :

فإذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا اليوم التاسع

“Jika tahun depan bisa kita jumpai –in sya Allaah- maka kita shaum juga hari kesembilan”. 

Ibn ‘Abbas berkata : “Maka tidak datang tahun berikutnya, melainkan Rasulullaah telah wafat”. *(HR. Muslim No. 133; Abu Dawud No. 2445)*

Para ‘Ulama berkesimpulan bahwa shaum pada bulan Muharram boleh dilaksanakan : Tiga hari, yakni tanggal 9, 10, 11. Atau shaum hanya dua hari [tanggal 10 dan 9 saja]. Atau shaum Asyura saja [tanggal 10 Muharram]. *(Fiqhus Sunnah, 1/511)*

Berkata Imam Nawawi : “Pendapat Imam Syafi’I beserta pengikutnya, Ahmad, Ishaq, dan Ulama yang lainnya bahwasanya mustahab(sunnah) mengerjakan shaum pada hari kesembilan/tasyu’a dan hari kesepuluh/asyura sekaligus.”

Imam Nawawi juga menambahkan, dikerjakannya shaum hari kesembilan dan kesepuluh ini sekaligus, tiadalah dimaksudkan melainkan untuk menyelisihi shaumnya kaum Yahudi. (Syarh Shahih Muslim, 8/12-13)

Kesimpulannya, perbanyak shaum di bulan Muharram terutama tanggal 9 dan 10. Wallahu a'lam.

Grup WA Ngaji FIQH:
https://chat.whatsapp.com/9cZ6s0MI8FOKr0QrQcvjX9

Saturday, August 15, 2020

DIRUNDUNG MASALAH SEBAB DOSA



🍁🌻🌸🌿🌲🍃☘️


كان الإمام أبو حنيفة -رحمه الله تعالى ورضي عنه- إذا أشكلَتْ عليهِ مسألةٌ قال لأصحابه: ما هذا إلَّا لذنب أحدثتُهُ!

وكان يستغفِرُ، ورُبَّما قَامَ وصلَّى، فتنكشف له المسألة ويقول: رجوتُ إنِّي تيبَ عليَّ، فبلغَ ذلك الفضيل بن عياض فبكى بكاءً شديدًا ثمَّ قال: ذلك لقلَّة ذنبه، فأما غيره فلا ينتبه لهذا.


"طبقات الحنفية" لعلي القاري 2: 487


Dahulu Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah ta’ala wa radhiya ‘anhu, jika merasa berat dalam menghadapi suatu masalah ia senantiasa berucap pada murid-muridnya, “Tidaklah masalah ini muncul melainkan sebabnya adalah perbuatan dosa yang aku perbuat!”


Kemudian sang Imam terus beristighfar, dan berdiri menunaikan shalat. Setelah itu barulah masalah terselesaikan. Lantas sang Imam berucap, “Aku berharap ini pertanda taubatku diterima”


Kisah ini sampai kepada Imam Al-Fudhayl Ibn ‘Iyadh. Mendengar kisah tersebut Imam Al-Fudhayl menangis sejadi-jadinya. Kemudian Imam Al-Fudhayl berucap, “Itu semuanya terjadi karena sedikitnya dosa Imam Abu Hanifah. Adapun selain beliau, boleh jadi tidak menaruh perhatian akan hal itu [sebagaimana hal nya Imam Abu Hanifah].”


Thabaqat Al-Hanafiyyah, 2/487


🌻🌿🍃💐🍃🌴

Friday, August 14, 2020

:: Pesantren Online Nashirus Sunnah Tahun Ajaran 1442 H ::

 


Dari dulu pengen nyantri tapi belum kesampaian juga???


Dari dulu pengen bisa bahasa Arab tapi belum bisa-bisa juga karena susah cari tempat belajar??


Dari dulu pengen bisa baca kitab sama ngaji ilmu fikih, tafsir, hadits secara tuntas??


Tenaaang... 


Sekarang telah dibuka pendaftaran PESANTREN ONLINE NASHIRUS SUNNAH - MESIR TAHUN AJARAN 1442 H.


Dengan sistem belajar ala Pesantren, Pesantren Online Nashirus Sunnah membuka kesempatan bagi Anda untuk belajar ilmu-ilmu Bahasa Arab dan ilmu keislaman lainnya [Aqidah-Akhlaq, Tajwid, Fikih, Tafsir, Hadits, dll] secara tuntas dari Dasar hingga Pemantapan. 


Santri dan santriwati akan di ajari/dilatih percakapan dan baca kitab berbahasa Arab dari NOL, hingga nanti mampu mengikuti pelajaran dari Syaikh-Syaikh Pengajar dengan bahasa pengantar Bahasa Arab.


Materi Pelajaran Tahun 1 : 


- Tuhfatul Athfal [Tajwid]

- Al Arabiyyah Bayna Yadayk jilid 1-3 [Percakapan Bahasa Arab dari Dasar hingga Pemantapan]

- Matn Ajurrumiyyah [Nahwu]

- Al-Arba’in An-Nawawiyyah [Hadits]

- Matn Abi Syuja’ - 1 [Fikih]


Materi Pelajaran Tahun 2 : 


- Al Hikam [Tasawwuf]

- Muthammimah Ajurrumiyyah [Nahwu]

- Tashrif Al Izzi [Shorf]

- Syarh Kharidah Bahiyyah [Aqidah]

- Manzhumah Baiquniyyah [Ilmu Hadits]

- Matn Abi Syuja’ - 2 [Fikih]


Materi Pelajaran Tahun 3 :


- Bulughul Marom [Fikih Hadits]

- Qathrun Nada [Nahwu]

- Nuzhatun Nadzor [Ilmu Hadits]

- Tafsir Jalalayn [Tafsir]

- Syadzal ‘Arf fi Fan As Shorf - 1 [Shorf]

- Al Madkhal ila Manahij Al Muhadditsin [Manhaj Hadits]


Materi Pelajaran Tahun 4 :


- Syarh Al Waraqat [Ushul Fikih]

- Alfiyyah Ibn Malik [Nahwu]

- Husnus Shiyaghoh Syarh Durus Al Balaghoh [Balaghoh]

- Riyadhus Sholihin [Hadits]

- Syadzal ‘Arf fi Fan As Shorf- 2 [Shorf]



Tahun-tahun berikutnya bisa diadakan kajian kitab dengan sanad dari pelajaran fikih, ushul fikih, qawaid fiqhiyyah, ilmu hadits, arudh, mantiq, pembacaan kutubussittah (shahih bukhari, shahih muslim, sunan abu dawud, sunan at-tirmidzi, sunan ibn majah, sunan an-nasa’i, al-muwaththa, dsb), tarikh/sejarah, ulumul qur’an, ilmu falak, dan lain-lain.


Jadwal Belajar :

• Untuk Santriwati : Setiap Hari Senin s.d Rabu, pukul 18.00 WIB.


• Untuk Santri : Setiap Hari Kamis s.d Sabtu, pukul 18.00 WIB.


Pelajaran Tambahan [Tidak Wajib] :


• Kitab Ma’alim As-Sunnah An-Nabawiyyah, bersama Syaikh Ahmad Al-Jauhari (bahasa pengantar : Bahasa Arab)


Setiap Hari, Pukul 09.30 WIB


• Kitab ‘Umdatus Salik (Fikih Syafi’I), bersama Syaikh Hilal Mahrus (bahasa pengantar : Bahasa Arab)


Setiap Hari, Pukul 21.00 WIB


Durasi Belajar :

1 jam / pertemuan


Masa Belajar : 

4 tahun (tiap akhir semester ada ujian), dan akan dimulai -in sya Allah- awal pembelajaran pada bulan Muharram 1442 Hijriah


Infak Pesantren : 

Rp 30.000/bulan*


*infak akan dipergunakan untuk penyelenggaraan kegiatan santri/santriwati Pesantren Nashirus Sunnah di Mesir


Syarat :

- Ikhlas belajar karena Allah Ta’ala

- Memiliki aplikasi WhatsApp dan ZOOM

- Usia minimal 15 tahun


Fasilitas :

- Ilmu yang bermanfaat (ditambah pembiasaan membaca kitab dan percakapan bahasa Arab)

- Sanad Ijazah dari beberapa kitab yang dipelajari

- Sertifikat bagi santri/santriwati yang telah menyelesaikan masa belajar 4 tahun


Para Pengajar :


• Syaikh Dr. Ahmad Al-Jauhari Al-Azhari 


• Syaikh Hilal Mahrus [spesialisasi Qiroah Asyrah]. Bagi santri/santriwati yang ingin mendapat sanad Al-Qur’an, disyaratkan harus telah selesai hafalan 30 juz


• Ustadz Abu Abdillah As-Siyanjuri [Muhammad Rivaldy Abdullah]


Info & Pendaftaran :

Peserta Laki-Laki : Dudum Abdurrahman SE. (+62 857-9385-1970)


Peserta Perempuan : Nurlaela (+62 857-9366-5457)

Thursday, August 13, 2020

USTADZ LC DAN SANAD ILMU

 


Ustd Lulusan Al Azhar ya??? Sya prrnah dengar kalo belajar harus ke ustd ustd lulusan timur tengah(yg gelarnya lc), soalnya ilmunya bagus,, bersanad,, benarkah begitu?maksud bersanad itu apa?haramkah belajar pada ustd yg tidak bersanad?


Jawaban :


Sanad ilmu adalah sistem transmisi keilmuan, dari hulu -para sahabat yang belajar kepada Rasulullaah shallallahu ‘alayhi wasallam- , hingga ke hilir -kepada ulama-ulama mu'tabar masa kini-. 


Sanad ilmu semacam sandaran serta mata rantai ilmu, menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki ketersambungan ilmu dari guru dan syaikh. Dapat kita katakan, keilmuan yang dia miliki terjamin dan jelas sumbernya. Bukan sekedar mencomot dari google, buku atau sejenisnya.


Sanad ilmu itu penting. Guru kami, As-Syaikh Muhanna Al Azhary [salah seorang Ulama Azhar-Mesir] pernah menyampaikan pesan, di salah satu kuliah umum beliau,


“Dahulu kami [para thullab azhar masa beliau], diperintahkan untuk tidak belajar AlQur'an dari Mushafi [Orang yang tidak memiliki sanad Qiro'ah dan hanya mengandalkan mushaf], serta tidak belajar ilmu agama dari Shohafi [orang yang hanya bisa baca kitab dan terjemahan, tanpa belajar pada guru].”


Ini menunjukkan betapa pentingnya sanad ilmu, dan tidak boleh diremehkan.


Karena itulah para ulama memberikan nasihat, di antaranya Imam Ibnul Mubarak rahimahullaah :


الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء


“Isnad [sandaran] itu bagian dari agama, seandainya bukan karena isnad niscaya manusia akan sembarangan dan seenaknya berbicara.” (Syarh Shahih Muslim, 1/77)


Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullaah juga berkata,


  الإسناد سلاح المؤمن، فإذا لم يكن معه سلاح فبأي شيء يقاتل


“Isnad itu senjata bagi seorang mukmin; jika dia tidak memiliki senjata, maka dengan apa dia berperang?” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/27)


Karena nya, belajar memang harus pada guru yang memiliki sanad kepada para Ulama Salaf, dan bukan orang-orang didikan Orientalis Kafir. 


Namun, memiliki sanad ilmu bukan berarti harus Lc [lulusan timur tengah,-pen], akan tetapi siapa saja yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, ma'had, sekolah islam dan mengambil ilmu dari para guru yang kredibel. Ia juga telah diberikan semacam ijazah [keabsahan] akan keilmuannya dari gurunya, sehingga ia berhak menyampaikan dan mewariskan keilmuannya kembali pada generasi setelahnya.


Terkait hukum belajar dengan mereka yang tidak jelas sanadnya, tentu saja tidak haram. Mengingat, bahwa sumber rujukan mereka -meski mereka belum pernah belajar kepada guru- tetap kitab para 'ulama. 


Jadi, ustadz yang tidak pernah belajar di pesantren, ma'had, atau universitas islam tapi sumber rujukannya kitab-kitab 'ulama mu'tabar maka boleh belajar padanya, meski ini tidak direkomendasikan. Imam 'Izzuddin Ibn Abdissalam rahimahullaah berkata :


أما الاعتماد على كتب الفقه الصحيحة الموثوق بها فقد اتفق العلماء في هذا العصر على جواز الاعتماد عليها والاستناد إليها لأن الثقة قد حصلت بها كما تحصل بالرواية ولذلك اعتمد الناس على الكتب المشهورة في النحو واللغة والطب وسائر العلوم لحصول الثقة بها وبعد التدليس


“Ada pun berpegang kepada buku-buku fiqih yang shahih dan terpercaya, maka para ulama zaman ini sepakat atas kebolehan bersandar kepadanya. Sebab, seorang yang bisa dipercaya sudah cukup mencapai tujuan sebagaimana tujuan pada periwayatan. Oleh karena itu, manusia yang bersandar pada buku-buku terkenal baik nahwu, bahasa, kedokteran, atau disiplin ilmu lainnya, sudah cukup untuk mendapatkan posisi "tsiqah/bisa dipercaya" dan jauh dari kesamaran.”

(Imam As-Suyuthi, Al-Asybah wan-Nazhair, Hal. 310)


Kirim anak anak kita ke Pesantren, Ma'had, atau bahkan ke Mesir agar jelas sanad ilmunya. Hidupkan kembali keilmuan Islam sebagaimana tradisi 'ulama salaf yang mu'tabar, yang menjaga sanad keilmuan hingga turun temurun.

Wallaahu a'lam.


💐 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar...


Grup WA Ngaji FIQH (ikhwan) :

https://chat.whatsapp.com/5SsivFXiBGVDVXUcy2fo7w


Grup WA Ngaji FIQH (akhwat) :

https://chat.whatsapp.com/9cZ6s0MI8FOKr0QrQcvjX9

Thursday, August 6, 2020

NIKMAT KEAMANAN DAN KEDAMAIAN




Seperti inilah kondisi pasca ledakan bom di Lebanon. Barangkali diantara para ikhwah sekalian ada yang telah menyaksikan rekaman video detik-detik ledakan terjadi.

Tak terbayang bagaimana mencekamnya perasaan anak-anak Suriah, anak-anak Palestina, jika bom seperti yang kita saksikan itu terjadi di wilayah mereka setiap hari... Betapa menyedihkannya nasib anak-anak di wilayah zona perang; harapan masa depan mereka seolah pupus dan hancur sebagaimana  negeri mereka hancur 

Nikmat berupa keamanan dan kedamaian adalah nikmat terbesar... Jagalah itu wahai saudara-saudaraku di Indonesia...

*Muhammad Rivaldy Abdullah*