Wednesday, May 27, 2020

PROFESI YANG PALING AFDHOL




Oleh : Muhammad Rivaldy Abdullah

Dulu kiyai kami di pondok pernah mengatakan, bahwa profesi yang dianjurkan itu menjadi pedagang. Apa pasal?

Menurut beliau, pedagang itu beda dengan karyawan atau pegawai kantoran yang gaji nya bulanan dan sudah terjamin. Pedagang itu konsepnya untung-untungan. Bisa jadi hari ini untung, besok buntung. Karena untung-untungan itulah biasanya nilai ketawakkulan nya kepada Allah tinggi.

*Catat : Yang betul itu “tawakkul” ya, bukan “tawakkal”. Tawakkul itu dalam bahasa Arab se-wazan [satu bentuk] dengan kata “Tafakkur”

Ternyata soal profesi apa yang paling afdhol itu memang disinggung oleh para ulama di kitab-kitab fikih. Misalnya, Imam Ibn Hajar Al-Haitami As-Syafi’I dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Syarh Al-Minhaj menulis :

(فَرْعٌ)
أَفْضَلُ الْمَكَاسِبِ الزِّرَاعَةُ لِأَنَّهَا أَعَمُّ نَفْعًا وَأَقْرَبُ لِلتَّوَكُّلِ وَأَسْلَمُ مِنْ الْغِشِّ ثُمَّ الصِّنَاعَةُ؛ لِأَنَّ فِيهَا تَعَبًا فِي طَلَبِ الْحَلَالِ أَكْثَرَ ثُمَّ التِّجَارَةُ

“[Cabang Pasal]

Profesi/mata pencaharian paling utama itu adalah bertani. Sebab, yang nama nya bertani itu kemanfaatannya paling luas, lebih dekat dengan sikap tawakkul, dan lebih selamat dari praktek kecurangan.

Setelah itu profesi yang afdhol adalah membuat barang. Sebab di dalamnya terdapat keletihan yang banyak dalam rangka mencari rizki halal [dan ini berpahala]. Kemudian setelah itu berdagang.” (Tuhfatul Muhtaj, 9/389)

Jadi menurut beliau urutan profesi yang paling afdhol :

Bertani - Membuat Barang - Berdagang

Sedangkan Imam Al-‘Iraqi menulis lebih lengkap :

وقال الماوردي أصول المكاسب الزراعة والتجارة والصنعة وأيها أطيب؟ فيه مذاهب للناس أشبهها بمذهب الشافعي أن التجارة أطيب. قال والأشبه عندي أن الزراعة أطيب؛ لأنها أقرب إلى التوكل قال النووي في شرح المهذب في صحيح البخاري عن المقدام بن معدي كرب - رضي الله عنه - عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال «ما أكل أحد طعاما قط خيرا من أن يأكل من عمل يده وإن نبي الله داود - عليه السلام - كان يأكل من عمل يده» قال النووي فالصواب ما نص عليه رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وهو عمل اليد فإن كان زراعا فهو أطيب المكاسب وأفضلها؛ لأنه عمل يده ولأن فيه توكلا كما ذكره الماوردي ولأن فيه نفعا عاما للمسلمين والدواب وأنه لا بد في العادة أن يؤكل منه بغير عوض فيحصل له أجره وإن لم يكن ممن يعمل بيده بل يعمل له غلمانه وأجراؤه فاكتسابه بالزراعة أفضل لما ذكرناه

Berkata Al-Imam Al-Mawardi : “Dasar dari segala mata pencaharian ialah bertani, berdagang dan membuat barang. Mana yang paling baik? Di dalam masalah ini terdapat banyak pandangan. Yang paling mirip dengan pandangan madzhab Syafi’I ialah, bahwasanya berdagang itu lebih baik. Kemudian Al-Mawardi berkata : Dan yang paling mirip dengan madzhab Syafi’I menurut ku ialah bertani lebih baik. Sebab, dengan bertani seseorang lebih dekat dengan sikap tawakkul.

Berkata Imam Nawawi dalam Syarh Al-Muhadzdzab : Di dalam Shahih Al-Bukhari dari Miqdam Ibn Ma’di Karib -radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam ia bersabda:

“Tidaklah seseorang makan lebih baik daripada hasil kerja tangan ia sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Dawud ‘Alayhissalam dahulu makan dari hasil kerja tangannya sendiri”

Berkata Imam Nawawi : Yang betul adalah apa yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yaitu pekerjaan yang dilakukan dengan tangan. Jika seandainya bertani, maka itu adalah sebaik-baik dan seutama-utamanya mata pencaharian. Sebab bertani itu pekerjaan yang langsung dikerjakan dengan tangan dan di dalamnya terdapat nilai tawakkul sebagaimana disebutkan Al-Mawardi. Sebab yang lainnya : dalam bertani terdapat manfaat secara luas bagi ummat Islam dan makhluk hidup lain. Dan sesungguhnya berdasarkan lazimnya hasil dari kerjanya akan dinikmati oleh orang lain yang kadangkala ia tidak mendapatkan timbal balik. Disitulah ia akan dapat pahala, bahkan seandainya bukan dari kerja tangan nya langsung, seperti misalnya hasil kerja tangan pembantu dan suruhannya [ia dapat pahala juga]. Karena nya, mata pencaharian dia bertani merupakan yang paling utama [dari semua profesi] dengan alasan yang kami sebutkan ini. (Tharh At-Tatsrib fi Syarh At-Taqrib, 4/84)

Di Jepang, katanya profesi petani adalah profesi yang sangat dihargai. Di setiap sayuran dan hasil tani yang dijual di toko-toko di jepang, terpampang foto sang petani beserta keluarga dan bagaimana mereka berusaha menyajikan hasil tanaman terbaik mereka.

Di sebagian tempat di Indonesia, profesi petani justeru malah seperti tidak dianggap. Padahal, para petani adalah pejuang-pejuang pangan, yang karena kerja keras mereka pangan kita dan keluarga kita tercukupi. Seharusnya mereka diberi perhatian dan dukungan.

Mudah-mudahan para petani kita mendapat apresiasi yang layak atas kerja keras mereka selama ini, baik dari pemerintah maupun masyarakat.

Tuesday, May 26, 2020

Menerima Ucapan Selamat/Tahni'ah Saat Hari Raya dari non-Muslim, Bagaimana Menyikapinya?



Pertama-tama kita uraikan komentar para ulama tentang hukum saling mengucapkan selamat saat hari raya dengan sesama muslim.

Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari menyebutkan tentang perkara tahni'ah saat hari raya ied :

(فائدة) قال القموليّ لم أر لأحد من أصحابنا كلامًا في التهنئة بالعيد والأعوام والأشهر كما يفعله الناس لكن نقل الحافظ المنذري عن الحافظ المقدسي أنَّه أجاب عن ذلك بأنّ الناس لم يزالوا مختلفين فيه والذي أراه أنّه مباح لا سنّة فيه ولا بدعة انتهى

“[Faidah] Berkata Al-Qamuli : Aku belum menemukan bagi salah seorang ulama kita [dalam madzhab Syafi'I] pendapat berkenaan dengan tahni'ah/ucapan selamat dalam rangka hari raya, acara tahunan, atau acara bulanan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang. Akan tetapi Al-Hafidz Al-Mundziri menukil dari Al-Hafidz Al-Maqdisi bahwasanya ia menjawab persoalan ini dengan jawaban,

'Orang-orang berselisih dalam memandang hukum perbuatan ini, dan apa yang aku pandang mengenai masalah ini ialah, bahwa tahni'ah/ucapan selamat saat hari raya merupakan perbuatan yang mubah [boleh], bukan sunnah dan juga bukan bid'ah. Selesai.‘ (Asna Al-Mathalib, 1/283).

Boleh jadi ucapan selamat ini hukumnya menjadi dianjurkan, jika itu menambah ikatan ukhuwwah dan kebahagiaan antar sesama muslim, khususnya di moment hari raya.

Telah disebutkan oleh para ulama bahwa para sahabat saling memberi tahni'ah ketika hari raya ied tiba.

1. Syaikhul Islam Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari (2/446) menyebut :

وروينا في ((المحامليّات)) بإسناد حسن عن جبير ابن نفير قال : ((كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك ))

“Telah diriwayatkan kepada kami di Al-Mahamiliyyat dengan sanad yang hasan, dari Jubair Ibn Nufair bahwasanya ia berkata : ((Dahulu para sahabat Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam jika saling bertemu pada hari raya Ied mereka saling berucap satu sama lain : TaqabbalAllaahu minna wa minka)).

2. Imam Ibn Taimiyyah ditanya tentang hukum ucapan selamat hari raya :

أما التهنئة يوم العيد، بقول بعضهم لبعض إذا لقيه بعد صلاة العيد : تقبل الله منا ومنكم، و: أحال الله عليك، ونحو ذلك، فهذا قد روي عن طائفة من الصحابة أنهم كانوا يفعلونه، ورخّص فيه الأئمة، كأحمد وغيره، لكن قال أحمد: أنا لا أبتدئ أحدًا، فإن ابتدأني أحدٌ أجبته، وذلك لأنّ جواب التحية واجب، وأما الإبتداء بالتهنئة فليس سنة مأمورًا بها، ولا هو أيضًا مما نهي عنه، فمن فعله فله قدوة، ومن تركه فله قدوة، والله أعلم.

“Adapun tahni'ah/ucapan selamat pada hari raya ied, dalam bentuk ucapan TAQABBALALLAAHU MINNA WA MINKUM satu sama lain selepas shalat Ied, atau ucapan : AHAALALLAAHU 'ALAYK, dan semisalnya, maka dalam hal ini telah diriwayatkan dari sebagian kalangan sahabat bahwa mereka melakukan hal tersebut [saling mengucapkan selamat di hari raya].

Dan para Imam memberi kelonggaran dalam masalah ini, seperti Imam Ahmad dan selainnya. Akan tetapi Imam Ahmad memberi catatan : Aku tidak akan memulai ucapan selamat kepada siapapun, akan tetapi jika ada yang mengucapkan selamat kepada ku terlebih dahulu, aku akan menjawabnya. Sebab menjawab salam dan penghormatan hukumnya wajib, sedangkan memulai ucapan selamat saat hari raya bukan lah sunnah yang diperintahkan [oleh Baginda Nabi]. Dan bukan pula perkara yang terlarang. Barangsiapa mengerjakannya, maka ia memiliki tuntunan. Dan barangsiapa meninggalkannya, maka ia juga memiliki tuntunan. Wallahu a'lam. (Majmu’ Al-Fatawa, 24/253).

3. Al-Imam As-Suyuthi di dalam Al-Hawi lil Fatawi (1/93-94) menyebutkan banyak riwayat berkenaan dengan ucapan selamat/tahni'ah ulama salaf saat hari 'ied.

Diantaranya :

أَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ فِيْ الدُّعَاءِ وَالبَيْهَقِيُّ عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ أنَّ أَبَا أُمَامَةَ وَوَاثِلَة لَقِيَاهُ فِيْ يَوْمِ عِيْدٍ فَقَالَا : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ

Imam At-Thabarani telah mengeluarkan di dalam Ad-Du'a, dan Al-Bayhaqi sebuah riwayat dari Rasyid Ibn Sa'd bahwasanya Abu Umamah dan Watsilah bertemu dengannya di hari raya, maka mereka berucap : TaqabbalAllaahu minna wa minka.

وأخرج البيهقي من طريق أدهم مولى عمر بن عبد العزيز قال : كنّا نقول لعمر بن عبد العزيز في العيدين : تقبل الله منا ومنك يا أمير المؤمنين، فيردّ علينا مثله ولا ينكر ذلك

Imam Al-Bayhaqi telah mengeluarkan riwayat dari jalur Adham [Maula Umar Ibn Abdil Aziz], ia berkata : Kami dahulu senantiasa mengucapkan kepada Umar Ibn Abdil Aziz di dua hari raya, “TaqabbalAllaahu minna wa minka ya Amiral Mu'minin”. Maka Umar Ibn Abdil Aziz menjawab dengan ucapan serupa dan tidak mengingkari hal tersebut.


4. Imam Ibn Qudamah menyebutkan di dalam Al-Mughni (2/259) bahwa Muhammad Ibn Ziyad berkata : “Aku pernah hidup bersama Abu Umamah Al-Bahili dan selainnya daripada sahabat Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam. Mereka jikalau pulang dari shalat Ied akan berucap satu sama lain : TaqabbalAllaahu minna wa minka.”

Imam Ahmad menyebutkan bahwa sanad riwayat tersebut jayyid. (lihat, Al-Jauhar An-Naqiy, 3/320).

Dan masih banyak lagi riwayat dan komentar serupa dari para ulama berkenaan dengan ucapan selamat/tahni'ah saat hari raya 'ied bagi sesama muslim.

Muncul pertanyaan, bagaimana jika yang memberi ucapan selamat tersebut adalah non muslim? Seperti, misalnya ucapan selamat dari atasan non muslim atau kerabat/tetangga non muslim. Atau ucapan, “mohon maaf lahir bathin”.

Jawaban dari Syaikh Khalid Rifa'i kurang lebih bahwa mereka tidak terlarang menjawab ucapan selamat/tahni'ah dari orang kafir saat hari raya iedul fithri dan adha. Misal jika dengan bahasa Arab, “kullu 'aam wa antum bi khoyr”, dijawab dengan jawaban yang sama, “kullu 'aam wa antum bikhoyr”.

Atau dalam bahasa Indonesia, “Selamat Idul Fithri/Idul Adha, Mohon maaf lahir bathin”.

Tidak mengapa mengatakan kepada orang kafir, “mohon maaf lahir bathin” jika mereka terlebih dahulu mengucapkan selamat.

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu [dengan yang serupa]. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa [4] : 86). Wallaahu a'lam.

🌸 Yuk Share...

ngaji-fiqh.blogspot.com

Monday, May 25, 2020

TAMAN-TAMAN SUFI #1

TAMAN-TAMAN SUFI #1

🍃🍂🌸💐

“Dunia ini ibarat setetes air. Bagi yang memilikinya jangan bangga, karena hanya setetes. Dan bagi yang belum memilikinya jangan bersedih, toh cuma setetes.”

Dunia pun tak kau tinggali selamanya. Dunia hanya tempat mu bersinggah, sebelum akhirnya kau benar-benar pulang. Dunia ini fana.

Hendaknya ucapan Rasulullah ini senantiasa kau ingat,

مَا لِيْ وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Apalah artinya dunia ini bagiku?! Apa urusanku dengan dunia?! Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian pergi meninggalkannya.” (HR. At Tirmidzi No. 2377)

www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

SEPUTAR SHAUM SYAWWAL



Soal :

Assalammu'alaikum, ustadz mau nanya tentang shaum 6hari dibulan syawwal. Apakah shaumnya itu dilakukan pada tanggal ke 2 atau tgl. 3 syawwal? Dan apakah shaum syawwalnya itu boleh dipertengahan atau boleh juga di selang hari seperti shaumnya nabi daud?

Mohon jawabannya...

Jazakallaah khoiron katsiir

Jawab :

Waalaykumussalaam. Warahmatullah Wabarakatuh.

Saya paparkan jawaban terkait ini, dari soal jawab dengan Syaikh Ali Jum'ah (Ulama Mesir). Berikut jawabannya :

• Hukum shaum enam hari pada bulan syawwal ini adalah sunah menurut mayoritas ulama.
Telah diriwayatkan dari Abu Ayub al-Anshari radhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda:

من صام رمضان ثم أتْبَعَه ستا من شوال كان كصيام الدهر

Barang siapa yang shaum Ramadan dan melanjutkannya dengan shaum enam hari pada bulan Syawwal maka ia seolah-olah shaum setahun penuh.  (HR. Muslim).

• Keutamaan shaum Syawwal:

Orang yang shaum Ramadan dan dilanjutkan dengan shaum enam hari di bulan Syawwal seakan-akan shaum satu tahun, karena secara umum shaum 30 hari Ramadan ditambah dengan 6 hari Syawal, dikali 10 [karena setiap satu kebaikan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali lipat] sama dengan 360, dan ini adalah jumlah hari dalam satu tahun Hijriah.

Ini menunjukkan pada tiga hal:

1. Shaum Syawwal dapat menutupi kekurangan dalam menjalani shaum Ramadhan.
Para ulama memperhatikan bahwa shaum sunah Syawal bagi shaum wajib Ramadhan bagaikan shalat sunah badiyah [yang dilakukan setelah shalat wajib]. Begitu juga shaum sunah bulan Syaban sebelum shaum wajib Ramadhan seperti halnya shalat sunah qabliyah [yang dilakukan sebelum shalat wajib]. Ini semua berguna untuk menyempurnakan segala kekurangan dalam melaksanakan ibadah yang wajib.

2. Shaum Syawwal adalah tanda diterimanya shaum Ramadan.
Hal ini karena ibadah yang diterima adalah ibadah yang melahirkan ibadah selanjutnya. Insya Allah shaum Syawwal adalah ketaatan yang dilahirkan oleh ketaatan shaum Ramadhan. Semoga ini tanda diterimanya Ramadhan.

3. Shaum Syawwal adalah tanda bahwa seorang yang telah shaum Ramadhan tidaklah pernah lelah atau bosan shaum.

•  Shaum enam hari bulan Syawwal tidak harus enam hari secara beruntun, namun waktunya terbuka selama bulan Syawal. Maka kita boleh shaum Syawwal sekaligus shaum sunah lainnya, seperti shaum senin dan kamis atau shaum ayyam bidh [pertengahan bulan], yaitu shaum tanggal 13, 14 dan 15. Namun lebih baiknya shaum secara langsung dan berurutan [dari tanggal 2 hingga 7 Syawwal].

Mari kita segera shaum Syawwal setelah selesainya hari raya Idul Fitri. (Al-Fatawa Al-Ramadhaniyah, hal: 78-79)

Memang, ada pendapat yang mengatakan bahwa shaum syawwal hukumnya makruh/kurang disukai. Pendapat itu ialah pendapat Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Imam Malik. (Fathul-Qadir, 2/349; Al-Muwaththa’, 1/330.)

 Imam Abu Yusuf berkata :

كانوا يكرهون أن يتبعوا رمضان صوما خوفا أن يلحق ذلك بالفرضية

“Para ulama kalangan Hanafiyyah memandang makruh mengiringi shaum Ramadlan dengan shaum lain [shaum enam hari bulan Syawwal] karena dikhawatirkan akan disamakan dengan shaum wajib”. (Bada’I As-Shana’I, 2/78).

Imam Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah saat mengomentari pendapat Malik berkata :

لم يبلغ مالكا حديث أبي أيوب على أنه حديث مدني والإحاطة بعلم الخاصة لا سبيل إليه والذي كرهه له مالك أمر قد بينه وأوضحه وذلك خشية أن يضاف إلى فرض رمضان وأن يستبين ذلك إلى العامة وكان - رحمه الله - متحفظا كثير الاحتياط للدين
وأما صيام الستة الأيام من شوال على طلب الفضل وعلى التأويل الذي جاء به ثوبان - رضي الله عنه - فإن مالكا لا يكره ذلك إن شاء الله لأن الصوم جنة وفضله معلوم لمن رد طعامه وشرابه وشهوته لله تعالى وهو عمل بر وخير وقد قال الله عز وجل وافعلوا الخير الحج 77 ومالك لا يجهل شيئا من هذا.

ولم يكره من ذلك إلا ما خافه على أهل الجهالة والجفاء إذا استمر ذلك وخشي أن يعدوه من فرائض الصيام مضافا إلى رمضان وما أظن مالكا جهل الحديث والله أعلم لأنه حديث مدني انفرد به عمر بن ثابت وقد قيل إنه روى عنه مالك ولو لا علمه به ما أنكره وأظن الشيخ عمر بن ثابت لم يكن عنده ممن يعتمد عليه وقد ترك مالك الاحتجاج ببعض ما رواه عن بعض شيوخه إذا لم يثق بحفظه ببعض ما رواه وقد يمكن أن يكون جهل الحديث ولو علمه لقال به والله أعلم

“Malik tidak mengetahui hadits Abu Ayyub sebagai salah satu hadits penduduk Madinah. Sebab mengetahui secara mendalam terhadap ilmu tertentu tidak mungkin dilakukan. Apa yang dimakruhkan Malik telah ia jelaskan, yaitu ditakutkan shaum itu akan disamakan dengan shaum wajib Ramadhan oleh orang awam. Malik rahimahullah termasuk orang yang sangat berhati-hati dalam masalah agama.

Sedangkan shaum enam hari bulan Syawal untuk mendapatkan keutamaannya dan seperti apa yang dijelaskan dalam hadits Tsauban radliyallaahu ‘anhu, maka itu tidak dimakruhkan Malik insya Allah. Sebab shaum adalah perisai dan keutamaannya diketahui oleh orang yang menahan makan, minum, dan nafsunya karena Allaah. Ia juga sebuah amal kebajikan, sedang Allaah telah berfirman : “Dan kerjakanlah kebajikan” (QS. Al-Hajj : 77). Malik tentu mengetahui itu.

Malik tidak memakruhkan shaum Syawwal melainkan karena kekhawatirannya bila itu dilakukan langsung [setelah Ramadhan] orang awam akan menganggapnya termasuk shaum wajib Ramadhan. Aku berpikiran Malik tidaklah jahil tentang hadits ini, wallaahu a’lam, karena itu adalah hadits penduduk Madinah yang diriwayatkan sendiri oleh ‘Umar bin Tsabit. Bahkan dikatakan Malik meriwayatkan darinya. Jadi, jika Malik tidak mengetahui hadits itu, tentu ia tidak mengingkarinya. Dan aku mengira juga bahwa Syaikh ‘Umar bin Tsabit termasuk orang yang tidak diterima Malik. Apalagi Malik tidak menerima hadits yang diriwayatkannya dari sebagian gurunya karena ia tidak percaya dengan hafalannya pada sebagian riwayatnya. Atau mungkin juga Malik memang tidak tahu hadits tersebut. Sebab jika ia tahu, tentu ia tidak mengatakan demikian [mengingkari shaum Syawwal]. Wallaahu a’lam”. (Al-Istidzkar, 3/379).

Yang rajih adalah yang mensunnahkan. Wallaahu a’lam.

*Apa boleh mendahulukan shaum syawwal dari pada shaum qadha?*

Madzhab Syafi'I memandang bahwa keutamaan Shaum Syawwal ini bagi siapa saja yang Muslim, entah ia sempurna shaum Ramadhannya atau ia yang harus qadha. Tetap disunnahkan shaum syawwal. (Al-Mawsu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 28/93)

Namun, afdholnya mendahulukan qadha Ramadhan yang telah lalu ketimbang menunaikan shaum syawwal [jika punya hutang shaum].

Bahkan madzab Hanbali dalam hal ini mengharamkan shaum syawwal, sebelum ditunaikannya qadha terlebih dahulu. Karena yang wajib di dahulukan daripada yang sunnah. (Al-Mawsu'ah, 28/100)

*Kemudian, apakah boleh menggabungkan niat shaum qadha dengan shaum syawwal?*

Madzhab Syafi'i memandang boleh menggabungkan niat antara shaum qadha dengan shaum Syawwal; meskipun pada dasarnya lebih afdhol masing masing niat dipisahkan sendiri-sendiri(lihat, Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, 3/235).

Adapun pendapat lain mengatakan, bahwa kebolehannya jika shaum tersebut kedua duanya sunnah. Misal, niat shaum syawwal dengan shaum senin kamis.

Kedua pendapat itu berdalil berdasarkan hadits riwayat Umar. Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

إنما الأعمال بالنيات. و إنما لكل امرىء ما نوى..

"Sesungguhnya amal tergantung niat-niatnya. Dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang diniatkannya.." (HR. Al-Bukhari No. 54, 2329, 3685)

Dan niat di dalam hadits ini tidak dibatasi serta tidak ditentukan modelnya harus seperti apa.

Di dalam kitab Al-Mawsu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah (12/24), diterangkan pembahasan seputar tasyrik an-niyah [penggabungan niat]. Pemaparannya sebagai berikut :

إِنْ أَشْرَكَ عِبَادَتَيْنِ فِي النِّيَّةِ، فَإِِنْ كَانَ مَبْنَاهُمَا عَلَى التَّدَاخُل كَغُسْلَيِ الْجُمُعَةِ وَالْجَنَابَةِ، أَوِ الْجَنَابَةِ وَالْحَيْضِ، أَوْ غُسْل الْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ، أَوْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا غَيْرَ مَقْصُودَةٍ كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ مَعَ فَرْضٍ أَوْ سُنَّةٍ أُخْرَى، فَلاَ يَقْدَحُ ذَلِكَ فِي الْعِبَادَةِ؛ لأَِنَّ مَبْنَى الطَّهَارَةِ عَلَى التَّدَاخُل، وَالتَّحِيَّةُ وَأَمْثَالُهَا غَيْرُ مَقْصُودَةٍ بِذَاتِهَا، بَل الْمَقْصُودُ شَغْل الْمَكَانِ بِالصَّلاَةِ، فَيَنْدَرِجُ فِي غَيْرِهِ.
أَمَّا التَّشْرِيكُ بَيْنَ عِبَادَتَيْنِ مَقْصُودَتَيْنِ بِذَاتِهَا كَالظُّهْرِ وَرَاتِبَتِهِ، فَلاَ يَصِحُّ تَشْرِيكُهُمَا فِي نِيَّةٍ وَاحِدَةٍ؛ لأَِنَّهُمَا عِبَادَتَانِ مُسْتَقِلَّتَانِ لاَ تَنْدَرِجُ إِحْدَاهُمَا فِي الأُْخْرَى

“Seandainya seseorang melakukan dua ibadah sekaligus dengan satu niat, maka apabila dua ibadah tersebut bisa saling menyatu seperti mandi Jumat dengan mandi junub, mandi junub dengan mandi haid, mandi Jumat dengan mandi Ied; atau *salah satu ibadah* tersebut bukan ibadah ‘maqshudah [terjadi karena ada alasan tertentu]’ seperti shalat tahiyatul masjid dengan shalat fardhu atau shalat sunnah lainnya, maka semua itu tidak mencederai ibadah tersebut.

Akan tetapi apabila kedua ibadah itu adalah ibadah ‘maqshudah’ seperti shalat dzuhur dengan sunnah rawatibnya, maka tidak sah digabung di dalam satu niat karena masing-masing dari keduanya adalah ibadah independen/tersendiri yang tidak bisa saling menyatu.” (keterangan ini dapat juga dilihat di dalam kitab Al Iqna, 2/6; Nihayatul Muhtaaj, 4/106; dan Al Mughni 1/221)

Jadi, hukum asalnya boleh digabungkan antara shaum qadha dengan shaum sunnah syawwal, dan pendapat yang mengatakan hanya menggabungkan niat dalam shaum yang terkategori sunnah [misal, shaum syawwal dengan senin kamis] adalah pendapat yang benar. In Sya Allaah hal ini adalah perkara yang luas. Wallaahu a'lam.


✍🏻 Muhammad Rivaldy Abdullah
🌸🍃 Yuk Sebarkan..

Instagram : www.instagram.com/ngaji_fiqh

Facebook : www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

Telegram : Ngaji FIQH
https://telegram.me/ngajifiqh

Saturday, May 23, 2020

Seri Fiqh Hari Raya : Bagaimana kita berhari Raya?



💐🌼🌷🌺🌿🌸🌺💐


🍂 Masuknya Syawwal dengan Ru’yatul Hilal

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda :

إذَا رأيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإذا رَأيْتُمُوهُ، فَأَفْطِرُوا، فَإنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلاثِينَ

“Jika kalian melihatnya [hilal] maka shaumlah. Dan jika kalian melihatnya juga, maka berbukalah. Kalaupun seandainya mendung menghalangi kalian, maka sempurnakan sya'ban 30 hari” (HR. Muslim No. 2517, An-Nasai No. 2125)

🍂 Mengiringi Shaum Ramadhan dengan 6 hari Shaum Syawwal

Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتاً مِنْ شَوَّالٍ، فَقَدَ صَامَ الدَّهرَ كُلَّهُ

“Barangsiapa yang shaum, kemudian mengiringkannya dengan shaum 6 hari di bulan Syawwal, maka seolah-olah ia shaum setahun penuh” (HR. Muslim No. 2758, Abu Dawud No. 2433)

Syaikh Al-Abadi mengatakan : “Hadits ini menjadi dalil disunnahkannya shaum di bulan Syawwal. Kalangan yang berpandangan seperti ini ialah Syafi’I, Ahmad, Ibnul Mubarak dan yang lainnya. Sedangkan sebagian ulama termasuk Imam Malik memakruhkannya karena kalangan jahiliyyah memasukkannya ke dalam Ramadhan” (‘Aunul Ma’bud, 7/63)

Madzhab Syafi'I memandang bahwa keutamaan Shaum Syawwal ini bagi siapa saja yang muslim, entah ia sempurna shaum Ramadhannya atau ia yang harus qadha. Tetap disunnahkan shaum syawwal. (Al-Mawsu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 28/93)

Namun, afdholnya mendahulukan qadha Ramadhan yang telah lalu ketimbang menunaikan shaum syawwal [jika punya hutang shaum].

Bahkan madzab Hanbali dalam hal ini mengharamkan shaum syawwal, sebelum ditunaikannya qadha terlebih dahulu. Karena yang wajib di dahulukan daripada yang sunnah. (Al-Mawsu'ah, 28/100)

🍂 Berangkat Sholat Ied dan pulang dengan jalan yang berbeda

Dari Sa’ad Ibn Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda :

كانَ يَخْرُجُ إلى العِيدِ ماشِياً في طَرِيقٍ، وَيَرَجَعُ ماشِياً فِي طَرِيقٍ غَيرِهِ

“Jika ia keluar untuk sholat ‘Ied, ia berjalan di suatu jalan, kemudian pulang dengan memilih jalan yang lain” (HR. Al-Bazzar No. 653, Al-Bayhaqi No. 6145)

🍂 Makan sebelum berangkat Sholat

Dari ‘Abdullah Ibn Buraydah, dari Ayahnya ia berkata :

كانَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم -، إذا كانَ يَوْمُ الْفِطْر، لمْ يخرُجْ، حتَّى يَطْعمَ، فإذا كانَ يَوْم النَّحْر، لَمْ يَأكُلْ، حتَّى يَذْبَحَ


“Dahulu Nabi jika hari raya ‘Iedul Fithri, beliau tidak keluar hingga beliau makan terlebih dahulu. Dan jika berada di hari raya ‘Iedul Adha, beliau tidak makan hingga beliau memotong hewan” (HR. At-Tirmidzi No. 542, Ibn Majah No. 1756)

Imam At-Tirmidzi berkata :

وَقَدْ اسْتَحَبَّ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ لَا يَخْرُجَ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ شَيْئًا وَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ عَلَى تَمْرٍ وَلَا يَطْعَمَ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ

“Segolongan ulama menyunahkan agar jangan keluar terlebih dulu pada hari Idul Fithri hingga ia makan sesuatu, dan disunahkan baginya untuk makan kurma. Dan jangan dia makan dulu pada hari Idul Adha hingga ia pulang.” (Sunan At-Tirmidzi No. 542)

🍂 Memakai Pakaian Terbaik, meski tidak harus baru dan Memakai Wewangian

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, ia berkata :

أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في العيدين أن نلبس أجود ما نجد و أن نتطيب بأجود ما نجد و أن نضحي بأسمن ما نجد

“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam memerintahkan kami pada dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik yang kami punya, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang  kami punya, dan berkurban dengan hewan yang paling mahal yang kami punya.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak No. 7560)


🍂 Do’a tatkala memakai pakaian baru dan melihat orang lain memakai pakaian baru

Dalam kitab Al-Adzkar, Imam An-Nawawi rahimahullah memuat judul : Bab Tentang Apa yang Harus Diucapkan Tatkala Memakai Baju Baru; Sendal Baru; atau Semisalnya [Bāb Mā Yaqūlu Idzā Labisa Tsaub Jadīd Au Na’l Au Syibhahu]

Di dalam kitab tersebut Imam An-Nawawi berkata : “Disunnahkan berdo’a tatkala menggunakan pakaian baru dengan do’a yang telah kita paparkan di bab sebelumnya”

Do’a tersebut ialah :

اللّٰهُمّٙ إِنِّي أٙسْأٙلُكٙ مِنْ خٙيْرِهِ وٙخٙيْرِ مٙا هُوٙ لٙهُ ، وٙأٙعُوْذُ بِكٙ مِنْ شٙرِّهِ وٙشٙرِّ مٙا هُوٙ لٙهُ

Allahumma inni as-aluka min khoyrihi wa khoyri ma huwa lahu, wa a‘udzubika min syarrihi wa syarri ma huwa lahu

“Ya Allah, aku memohon kepada Engkau kebaikan dari pakaian ini dan kebaikan dari apa yang ada padanya... Dan aku berlindung kepada Engkau dari keburukan pakaian ini dan keburukan dari apa yang ada padanya” (HR. Ibnus Sunniy No. 14)

Dan do’a : dari Mu’adz Ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

 مَنْ لَبِسَ ثَوْبًا فَقَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَسَانِي هَذَا الثَّوْبَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


“Barangsiapa mengenakan pakaian kemudian berdo’a : Alhamdulillahilladzi kasāni hadza ats-tsaub wa rozaqonīhi min ghoyri haul minni wa laa quwwah

Maka akan diampuni dosa-dosa nya yang lampau” (HR. Ibnus Sunniy No. 271; Al-Bayhaqi dalam Syu’abul Iman [8/307])

Kemudian dalam Bab itu sendiri Imam An-Nawawi memuat hadits :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَجَدَّ ثَوْبًا سَمَّاهُ بِاسْمِهِ ، إِمَّا قَمِيصًا أَوْ عِمَامَةً ، ثُمَّ يَقُولُ :

اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ ، أَنْتَ كَسَوْتَنِيهِ ، أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam jika mengenakan pakaian baru beliau menyebutkannya dengan penyebutan yang sesuai, baik itu pakaian gamis maupun sorban, kemudian berdo’a :

Allahumma lakal hamdu, anta kasautanihi, as-aluka min khoyrihi wa khoyri ma suni’a lahu, wa a’udzubika min syarrihi wa syarri ma suni’a lahu.

Ya Allah bagimu segala pujian... Engkau memakaikan kepadanya padaku... Aku memohon kepada engkau atas kebaikan pakaian ini dan kebaikan dari apa yang bisa muncul darinya... Dan aku berlindung kepada engkau dari keburukan pakaian ini dan keburukan yang bisa muncul darinya.” (HR. Abu Dawud No. 4520)

Sedangkan jika kita melihat orang lain yang mengenakan pakaian baru, maka do’anya sebagai berikut.


Dari Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma : bahwasanya Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam melihat dari ‘Umar pakaian yang bagus, maka Rasulullah berkata : “Apakah baju itu baru atau hanya selesai di cuci?”

Umar menjawab : “Ini hanya baru selesai dicuci”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam berkata,

اِلْبٙسْ جٙدِيْدًا، وٙعِشْ حٙمِيْدًا، وٙمُتْ شٙهِيْدًا

Ilbas jadīd, wa isy hamīd, wa mut syahīd

“Pakai lah pakaian baru, dan hiduplah dengan penuh kebaikan, serta matilah dalam keadaan syahid” (HR. Ibn Majah No. 3558, Ibnus Sunniy No. 262)



لَيْسَ العِيْدُ لِمَنْ ثَوْبُهُ جَدِيْد..

وَ لَكِنَّ العِيْد لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْد..

"Ied bukan bagi mereka yang memiliki baju baru..
Akan tetapi 'Ied, bagi mereka yang ketaatannya bertambah..."

✍🏻 Muhammad Rivaldy Abdullah
🌸🍃 Yuk Sebarkan...

https://chat.whatsapp.com/AOMk1cE2xqJJ5fteg2GBbs

SHALAT ID DI RUMAH



Dalam hal ini muncul pertanyaan : bagaimana pelaksanaan shalat idul fithri, di tengah kondisi yang membuat orang-orang terpaksa tidak bisa berkumpul dan berkerumun dalam satu tempat?

Pertama. Shalat Id hukumnya sunnah mu’akkadah.

وٙصٙلٙاةُ العِيْدٙيْنِ سُنّٙةٌ مُؤٙكّٙدٙةٌ. وٙهِيٙ رٙكْعٙتٙانِ يُكٙبِّرُ فِيْ الأُوْلٰى سٙبْعًا سِوٙى تٙكْبِيْرٙةِ الإِحْرٙامِ، وٙفِيْ الثّٙانِيٙةٙ خٙمْسًا سِوٙى تٙكْبِيْرٙةِ القِيٙامِ

“Shalat Idayn [dua hari raya] hukumnya sunnah mu’akkadah [yang sangat ditekankan untuk dikerjakan]. Dan shalatnya dikerjakan dua rakaat, dengan jumlah takbir di rakaat pertama sebanyak tujuh kali, diluar takbiratul ihram. Dan di rakaat kedua sebanyak lima kali takbir, di luar takbirotul qiyam.” (Taqiyuddin Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, hal. 152)

Jadi, setelah bertakbir mengangkat tangan ketika memulai shalat, dia bertakbir tujuh kali. Di rakaat kedua, setelah berdiri dari sujud dan bertakbir [mengucapkan “Allahu Akbar”], dia kemudian bertakbir sebanyak lima kali. Inilah penjelasannya.


Kedua. Dalam madzhab Syafi’I terdapat dua pendapat mengenai hukum shalat id di rumah. Pendapat pertama memandang boleh shalat id dikerjakan di rumah. Dan pendapat kedua menyatakan : shalat id tidak dikerjakan kecuali di tempat yang biasa dikerjakan shalat id secara berjamaah. Syaratnya sebagaimana syarat pelaksanaan shalat jum’at. (Al-‘Imroni, Al-Bayan fi Madzhab Al-Imam As-Syafi’I, 2/649)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menulis,

هل تُشرع صلاة العيد للعبد والمسافر والمرأة والمنفرد في بيته أو في غيره؟ فيه طريقان أصحهما وأشهرهما القطع بأنها تُشرع لهم

“Apakah disyari’atkan shalat id bagi budak, musafir, perempuan dan yang shalat berkesendirian di rumahnya atau ditempat selain itu? Di dalam masalah ini terdapat dua pendapat. Yang ashoh/paling shahih dan asyhar/paling masyhur adalah pendapat yang mengatakan akan disyari’atkannya hal tersebut atas mereka.” (Al-Majmu’, 5/26)

Lafadz “ashoh [أصح]” dalam madzhab Syafi’I merujuk kepada pendapat terpilih bagi madzhab Syafi’I. Sedangkan lafadz “asyhar [أشهر]” merujuk kepada pendapat terpilih bagi Imam Syafi’I rahimahullahu. Begitu lah penjelasan guru kami Habib Ahmad Al-Maqdi As-Syafi’I.

Artinya boleh shalat id dikerjakan di rumah, dengan munfarid [sendirian].

تُشرع للمنفرد والعبد والمرأة والمسافر فلا تتوقف على شروط الجمعة من اعتبار الجماعة والعدد وغيرهما، ويُسن الاجتماع لها في موضع واحد

“Disyari’atkan [shalat id] bagi munfarid [orang yang tidak dapat menghadiri jamaah id], budak, perempuan, dan musafir tanpa harus memperhatikan syarat-syarat sebagaimana shalat jum’at dari sisi wajibnya berjamaah, batasan jumlah dan sebagainya. Dan hukum asalnya disunnahkan untuk berkumpul [melaksanakan shalat id] terpusat di satu tempat.” (As-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj, 1/587)

Apakah boleh dikerjakan berjamaah, meski dirumah dengan sanak keluarga? Dan jika dikerjakan dirumah, sunnah kah diadakan khutbah?

Al-Imam Al-Bukhari menulis dalam kitab Shahih-nya :


بَابٌ : إِذَا فَاتَهُ العِيدُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ، وَكَذَلِكَ النِّسَاءُ ، وَمَنْ كَانَ فِي البُيُوتِ وَالقُرَى لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هَذَا عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَأَمَرَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ مَوْلاَهُمْ ابْنَ أَبِي عُتْبَةَ بِالزَّاوِيَةِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ وَبَنِيهِ ، وَصَلَّى كَصَلاَةِ أَهْلِ المِصْرِ وَتَكْبِيرِهِمْ

Bab Jika Seseorang Tertinggal Pelaksanaan Id, Maka Ia Shalat Dua Rakaat. Begitu Pula Bagi Perempuan, Dan Siapa Saja Yang Berada di Rumah-Rumah dan Tempat Terpencil [jauh dari tempat pelaksanaan berjamaah Id] Berdasarkan Hadits Nabi : “Ini adalah Hari Raya Kita, Seluruh Ummat Islam.” Anas Ibn Malik Memerintahkan Pembantunya -yakni Ibn Abi ‘Utbah- untuk Mengumpulkan Keluarga dan Anak-Anaknya, dan Mereka Shalat sebagaimana Shalatnya Para Warga di Pusat Pelaksanaan Id dan Bertakbir Seperti Mereka.

Syaikhul Islam Ibn Hajar Al-Asqalani men-syarh keterangan ini :

 وَهَذَا الْأَثَرُ وَصَلَهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ " عَنِ ابْنِ عُلَيَّةَ عَنْ يُونُسَ هُوَ ابْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنِي بَعْضُ آلِ أَنَسٍ أَنَّ أَنَسًا كَانَ رُبَّمَا جَمَعَ أَهْلَهُ وَحَشَمَهُ يَوْمَ الْعِيدِ فَيُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي عُتْبَةَ مَوْلَاهُ رَكْعَتَيْنِ " وَالْمُرَادُ بِالْبَعْضِ الْمَذْكُورِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ ، رَوَى الْبَيْهَقِيُّ مِنْ طَرِيقِهِ قَالَ " كَانَ أَنَسٌ إِذَا فَاتَهُ الْعِيدُ مَعَ الْإِمَامِ جَمَعَ أَهْلَهُ فَصَلَّى بِهِمْ مِثْلَ صَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْعِيدِ "

“Dan atsar/keterangan dari Anas ini tersambung sanadnya dalam riwayat Ibn Abi Syaibah :

“Dari Ibn ‘Ulayyah, daripada Yunus -dia adalah Ibn ‘Ubaid- , telah menceritakan kepadaku sebagian keluarga Anas bahwasanya Anas mengumpulkan keluarga dan pembantu nya pada hari Id kemudian mereka shalat Id berjamaah diimami oleh Abdullah Ibn Abi ‘Utbah yang notabene mantan budaknya, sebanyak dua rakaat.”

Dan maksud sebagian keluarga Anas ialah : Abdullah Ibn Abi Bakr Ibn Anas. Kemudian Imam Al-Bayhaqi meriwayatkan dari jalur sanad beliau : “Dahulu Anas jika tertinggal shalat berjamaah Id bersama Imam Kampung, maka ia mengumpulkan keluarga nya dan mengimami mereka shalat sebagaimana imam kampung di hari Id.” (Fathul Bari, 2/549)

Karena itu jika di lakukan di rumah, boleh dikerjakan berjamaah bersama keluarga berdasarkan atsar dari sahabat tersebut.

Juga sunnah dilakukan khutbah, jika memang di rumah tersebut di adakan berjamaah shalat id. Adapun jika shalat nya munfarid [masing-masing], maka tidak perlu ada khutbah. Khutbah dikerjakan setelah shalat Id. (Tuhfatul Muhtaj, 3/40)

Wallahu a’lam.

✍ Muhammad Rivaldy Abdullah

📱Instagram :
http://www.instagram.com/ngaji_fiqh

💻 Blog :
http://ngaji-fiqh.blogspot.com

🖥 Telegram :
https://t.me/ngajifiqh

Friday, May 22, 2020

ZAKAT FITHRI BUKAN DENGAN UANG




Ustadz.. Apakah zakat fithri boleh dengan uang?

Jawaban :

Ada tiga pendapat dalam kasus ini.

(1). Pendapat pertama : Zakat Fithri tidak sah dengan uang. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari madzhab Maliki, Syafi'I, dan Hanbali. Termasuk madzhab Dzohiri. (Al-Majmu', 5/428; Al-Minhaj, 7/61)

Dalil mereka antara lain :

• Keumuman ayat Al-Qur'an,

{وآتوا الزكاة}

“Dan tunaikanlah zakat!”

Ayat tersebut mengandung perintah, dan kaifiyat membayarnya telah terang berdasarkan perbuatan Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam.

Zakat merupakan perkara ‘ubudiyyah layaknya shalat. Karena itu, tuntunannya harus berdasarkan tuntunan Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam.

Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai tuntunan kami, maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Muslim No. 1718)

• Hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwa Nabi memerintahkan ummatnya untuk membayar zakat dengan makanan, dan bukan dengan qimah [nilai makanan tersebut].

Dari Abdullah Ibn Umar radhiyallaahu 'anhuma, beliau berkata :

«فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ»

“Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mewajibkan zakat fithri satu sha' dari kurma atau sha' dari gandum bagi setiap hamba sahaya [budak] maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat shalat [Ied]”. (HR. Al-Bukhari No. 1503 dan Muslim No. 984, dengan lafadz Al-Bukhari)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fithri dari jenis makanan. Buktinya beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam menyebutkan beberapa contoh makanan pokok di zaman itu, seperti : kurma dan gandum. Padahal saat itu telah ada mata uang berupa dinar dan dirham. Jika memang boleh untuk mengeluarkannya berupa uang, tentu beliau akan menyebutkan. (lihat, Tadzkirul Anaam bi Wujuub Ikhraj Zakat Al Fihtri Tha'am, hal. 9)

Dalam hal ini Imam An-Nawawi berkomentar :

“Dan tidak boleh mengambil qimah [nilai, maksudnya uang] dalam membayar zakat. Sebab, zakat merupakan hak Allaah Ta'ala dan Allaah tetapkan berdasarkan nash yang ada. Karena itu tidak boleh dialihkan dengan yang lain sebagaimana udhhiyah [qurban].” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 5/428)

Dalam hadits berkenaan dengan udhhiyah disebutkan bahwa ada salah seorang sahabat yang menyembelih qurban tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam. Maka Nabi menganggap amalannya tersebut bukan qurban/tertolak. (HR. Al-Bukhari No. 955)

Untuk menguatkan pendapat ini pula terdapat riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri, yang secara tegas menyebutkan penunaian zakat dengan kata “makanan”. Dan sama sekali tidak disebutkan dinar atau dirham.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallaahu 'anhu, beliau berkata :

«كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ»

“Kami membayar zakat fithri berupa satu sha' makanan, atau gandum atau kurma atau satu sha' keju atau anggur kering.” (HR. Muslim No. 985)

Inilah pendapat yang terkuat menurut kami, in Sya Allaah.

(2). Pendapat kedua mengatakan : bahwa zakat dapat dibayarkan dalam bentuk qimah/nilai bahan makanan pokok tersebut. Alias dengan uang.

Pendapat ini diambil oleh Imam Abu Hanifah dan Sufyan As-Tsauri. (Al-Jami' Al-‘Aam fi Fiqh As-Shiyam, hal. 472)

Ini pula pendapat Umar Ibn Abdil Aziz dan Hasan Al Bashri.

Terdapat Surat 'Umar Ibn Abdil Aziz perihal pemungutan zakat : diambil setengah sha' bagi setiap jiwa, atau yang setara dengannya [qimah] sebesar setengah dirham. (HR. Ibn Abi Syaibah [3/174]. Sanadnya shahih)

Dalil mereka antara lain :

• Hadits riwayat Ibn 'Umar. Beliau berkata :

فرض رسول الله زكاة الفطر وقال : «أغنوهم في هذا اليوم»

“Rasulullaah telah mewajibkan zakat fithri dan beliau berkata : Cukupilah mereka [fakir miskin] di hari ini [hari Raya]”. (HR. Ad Daruquthni [2/153], dan Al Bayhaqi di dalam Al Kubra'[4/175])

Menurut mereka, al-ghina' /kecukupan dapat terpenuhi juga dengan harta/uang. Sebab itu zakat fithri boleh dengan uang. (Al-Jami’ Al-‘Aam, hal. 473)

• Hadits riwayat As-Shunabihi. Ia berkata :

رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي إِبِلِ الصَّدَقَةِ نَاقَةً مُسِنَّةً فَغَضِبَ وَقَالَ مَا هَذِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي ارْتَجَعْتُهَا بِبَعِيرَيْنِ مِنْ حَاشِيَةِ الصَّدَقَةِ فَسَكَتَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat unta yang berumur satu tahun di segerombolan unta zakat, maka beliau marah dan bersabda; “Apa ini?” dia menjawab; “Wahai Rasulullah, aku akan mengembalikannya dengan ganti dua ekor unta dari hewan zakat.” maka beliau pun diam. (HR. Ahmad [4/349], dan Ibn Abi Syaibah [3/125,126])

Dan berdasarkan hadits ini, mereka memandang bahwa mengambil qimah [nilai] dalam menunaikan zakat hukumnya boleh.

Jawaban atas hujjah mereka tiada lain :

1- Hadits riwayat Ibn ‘Umar diatas adalah hadits dho'if. Hadits tersebut diriwayatkan dari jalur Abu Ma'syar, dari Nafi', dari Ibn 'Umar.

Komentar Al-Bukhari terhadap Abu Ma'syar : munkarul hadits. Dan Az-Zaila'i di dalam Nashbur Raayah [2/432] berkomentar atas hadits ini : gharib bi hadza al lafdz. Imam An-Nawawi di dalam Al Majmu’[6/121] juga mendha'ifkan Abu Ma'syar.

2- Hadits yang diriwayatkan oleh As-Shunabihi diatas juga diperselisihkan.

Di dalamnya terdapat Mujalad Ibn Sa'id yang dikomentari Al Hafidz  Ibn Hajar : Laysa bil qawi (Hafalannya tidak kuat). (Al-Jami' Al-‘Aam, hal. 474)

3- Hadits shunabihi di atas kalau lah shahih, maka istidlal mereka tidak tepat.

Imam As-Syinqithi mengatakan bahwa unta badal/pengganti tersebut masih terkategori jenis wajib untuk pembayaran zakat [masih sama-sama unta], dan perbuatan tersebut erat kaitannya dengan kemaslahatan. (Adhwaa'ul Bayaan, 8/492).

Imam Ibn Hajar berkata :

لو كانت القيمة مقصودة لاختلفت حسب الزمان والمكان، ولكنه تقدير شرعي.

“Seandainya qimah/nilai yang dituju, tentu akan saling berbeda tiap zaman dan tempat [dalam menunaikan zakat], akan tetapi ketetapannya telah tetap oleh syara'.” (Al-Jami’, hal. 476)

(3). Pendapat ketiga : Zakat boleh dibayarkan dengan uang jika ada kemaslahatan. Ini adalah pendapat Imam Ibn Taimiyah, dan ulama kontemporer seperti Syaikh Ali Jum'ah.

Al-Imam Ibn Taimiyah berkata :

أَنَّ إخْرَاجَ الْقِيمَةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَلَا مَصْلَحَةٍ رَاجِحَةٍ مَمْنُوعٌ مِنْهُ ...وَأَمَّا إخْرَاجُ الْقِيمَةِ لِلْحَاجَةِ أَوْ الْمَصْلَحَةِ أَوْ الْعَدْلِ فَلَا بَأْسَ بِهِ

“Sesungguhnya mengeluarkan zakat berupa uang tanpa ada kebutuhan dan kemashlahatan yang kuat, maka terlarang…..adapun mengeluarkan berupa uang untuk suatu keperluan atau kemaslahatan atau untuk kesamaan, maka tidak mengapa [boleh].” (Majmu’ Al-Fatawa, 25/83)

Syaikh Ali Jum’ah beralasan bahwa asas disyari'atkannya zakat adalah kemaslahatan kaum fakir dan pemenuhan kebutuhannya terutama di hari Raya. Karena itu boleh zakat dengan uang. (Al-Bayaan lima Yasghalul Adzhaan, 1/345)

Ini pula lah pendapat yang diambil oleh Syaikh Ahmad Ibn Shiddiq Al Ghumari, yang terbukti dengan adanya tulisan beliau “Tahqiq Aamaal fi Ikhraj Zakat Al Fihtri bil Maal”.

Pendapat ketiga ini hakikatnya kurang lebih sama dengan pendapat kedua. Dan yang dituntut kepada kita adalah mengambil apa apa yang telah jelas ditetapkan oleh syara'. Tidaklah kita mengukur kemaslahatan berdasar pandangan kita sendiri; melainkan kemaslahatan itu ada dalam hukum syara'.

Wallaahu a'lam.

✍🏻 Muhammad Rivaldy Abdullah

📱 Instagram :
www.instagram.com/ngaji_fiqh

💻 Blog :
ngaji-fiqh.blogspot.com

🖥 Telegram :
https://t.me/ngajifiqh

Wednesday, May 20, 2020

RENUNGAN RAMADHAN






Ingat saudaraku, Ramadhan berada di penghujung waktu...

Perjuangan mengisi hari-hari Ramadhan dengan shaum, do’a, dzikir, tangis syahdu saat shalat di sepertiga malam dan tilawah ayat-ayat cinta Nya tidak boleh terhenti hanya karena Ramadhan pergi... Perjuangan ini masih harus terus di jalani...

Entah kita bisa kembali bersua dengan bulan penuh kehangatan ini atau tidak, yang jelas mereka yang tahu hakikat Ramadhan akan berharap hari-hari yang mereka jalani adalah seperti hari-hari di bulan Ramadhan...

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata :

تٙاللّٰهِ لٙوْ قِيْلٙ لِأٙهْلِ القُبُوْرِ تٙمٙنّٙوا لٙتٙمٙنّٙوا يٙوْمًا مِنْ رٙمٙضٙان

“Demi Allah! Seandainya dikatakan kepada penghuni kubur, ‘berangan-anganlah’. Niscaya mereka akan berangan-angan bahwa mereka dalam satu hari di bulan Ramadhan.” (At-Tabshiroh, 2/78)

Adapun hadits yang terkenal : “seandainya para hamba mengetahui betapa istimewanya bulan Ramadhan, niscaya ummatku akan berharap Ramadhan menjadi setahun penuh” maka hadits ini adalah hadits maudhu’ [palsu] dan tidak boleh dikatakan sebagai kalam Nabi.

Diriwayatkan oleh Imam Ibn Khuzaimah dalam Shahih-nya [3/190] dan Ibn Abi Ad-Dunya dalam Fadha’il Syahr Ramadhan [hal. 24], dari jalur Jarir Ibn Ayyub Al-Bajali, dari As-Sya’bi. Jarir Ibn Ayub ini dikatakan oleh Imam Al-Bukhari, Ar-Razi dan Abu Zur’ah : munkarul hadits. Berkata An-Nasa’i dan Daroquthni : matruk. Berkata Abu Nu’aim dan Imam Waki’ : Jarir ini pernah memalsukan hadits. (Lihat, Ad-Dhu’afa wal Matrukin karya Ibnul Jauzi, 1/168)

Meski begitu, sungguh makna nya bisa diterima mengingat istimewanya Ramadhan dan bonus pahala nya yang sangat besar.

Karena itulah Al-Imam Ibn Rajab Al-Hanbali berpesan,

أٙلٙا إِنّٙ شٙهْرٙكُمْ قٙدْ أٙخٙذٙ فِيْ النّٙقْصِ فٙزِيْدُوا أٙنْتُمْ فِيْ العٙمٙلِ

“Ingatlah, sesungguhnya bulan kalian ini [bulan Ramadhan] telah berkurang... Maka tambahlah bagi diri kalian dalam beramal.” (Latha’iful Ma’arif, hal. 216)


#duniasementaraakhiratselamanya
#janganbiarkanramadhansiasia
#nasihatdiri


www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

LAILATUL QADR



Allaah Subhanahu wa Ta'aala berfirman :

{ إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنزلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5) }

 “Sesungguhnya kami telah menurunkannya [Al-Qur’an] pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu [penuh] kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr (97): 1-5)

Malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Malam diturunkannya Al-Qur'an yang mulia, amat sayang terlewatkan jika tanpa amaliyah ibadah.

Syaikh Zarqani menerangkan, bahwa malam Laylatul Qadar adalah Laylatul Mubaarokah [yang penuh kebaikan], dan hanya ada pada bulan Ramadhan. Keterangan ini diambil dari ayat ayat yang menerangkan seputar turunnya Al-Qur'an, pada QS. Ad-Dukhan, Al-Baqarah dan Al-Qadr. (Manaahil al-'Irfan, 1/38)

Sebagian riwayat menerangkan, bahwa datangnya laylatul qadar, saat sepuluh malam terakhir atau tujuh malam terakhir.

Karena itulah Rasulullaah mengencangkan ikat pinggangnya saat memasuki 10 malam terakhir bulan Ramadhan. (HR. Al-Bukhari No. 1920)

Syaikh Musthofa Al Bugha berkata, “Ini adalah kinayah/perumpamaan bagaimana persiapan nabi dalam ibadah dan kesungguhan untuk ibadah [di sepuluh terakhir Ramadhan]”. (ta'liq dalam hadits tersebut).

Memang ada beberapa nash yang menunjukkan bahwa laylatul qadar pada sepuluh terakhir ramadhan.
Dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wasallam bersabda,

فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ

“Maka, barangsiapa yang ingin mendapatkan Lailatul Qadar, maka carilah pada sepuluh malam terakhir.” (HR. Al-Bukhari No.1158)

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 أَنَّ رِجَالًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْمَنَامِ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ

“Sesungguhnya seorang laki-laki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat Lailatul Qadr pada mimpinya pada tujuh hari terakhir. Maka bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Saya melihat mimpi kalian  telah bertepatan pada tujuh malam terakhir, maka barangsiapa yang ingin mendapatkan Lailatul Qadar, maka carilah pada tujuh malam terakhir.” (HR. Al-Bukhari No. 2015, 6991, Muslim No.1165)

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Carilah dia pada sepuluh malam terakhir [maksudnya Lailatul Qadar] jika kalian merasa lemah atau tidak mampu, maka jangan sampai dikalahkan oleh tujuh hari sisanya.” (HR. Muslim No. 1165, 209)


Dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَإِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نُسِّيتُهَا وَإِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي وِتْرٍ

“Sesungguhnya Aku diperlihatkan Lailatul Qadar, dan aku telah dilupakannya, dan saat itu pada sepuluh malam terakhir, pada malam ganjil.” (HR. Al-Bukhari No. 813, 2036)

Adapula nash yang menerangkan datangnya laylatul qadar itu pada malam ke 24,  25, 27 dan 29.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, katanya:

التمسوا في أربع وعشرين

“Carilah pada malam ke 24.” (Atsar sahabat dalam Shahih Bukhari No. 2022)

Dari ‘Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَة وَالْخَامِسَة

 “Maka carilah Lailatul Qadar pada malam ke sembilan, tujuh, dan lima [pada sepuluh malam terakhir].” (HR. Bukhari No. 2023)

Berkata seorang sahabat mulia, Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu:

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ
هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِي صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لَا شُعَاعَ لَهَا

“Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui malam yang manakah itu, itu adalah malam yang pada saat itu Rasulullah memerintahkan kami untuk shalat malam, yaitu malam yang sangat cerah pada malam ke 27, saat itu tanda-tandanya hingga terbitnya matahari, pada pagi harinya putih terang benderang, tidak ada panas.” (HR. Muslim No. 762)

Berkomentar Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullaah,

“Para ulama berbeda pendapat tentang Lailatul Qadr dengan perbedaan yang banyak. Kami menyimpulkan bahwa di antara pendapat-pendapat mereka ada lebih 40 pendapat.” (Fathul Bari, 4/262)

Amalan - amalan yang dapat dikerjakan untuk meraih kemuliaan laylatul qadar diantaranya :

🔹 Dzikir dan Memperbanyak Do'a

Membaca: Allahumma Innaka ‘afuwun karim tuhibbul ‘afw fa’fu’anni

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari ‘Aisyah dia berkata “Aku berkata: Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui bahwa pada suatu malam adalah Lailatul Qadar, apa yang aku katakan?” Beliau menjawab: “Ucapkanlah, ‘Allahumma innaka ‘afuwwun karim tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni.” (HR. At-Tirmidzi No. 3513, Ibnu Majah No. 3850)

  🔹 Qiyamul Layl (Sholat Malam)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Dan barangsiapa shalat pada Lailatul Qadar karena Iman dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Al-Bukhari No. 35, 38, 1802. Muslim No. 760)

🔹 I’tikaf

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu I’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, beliau selalu melakukannya sampai Allah mewafatkanya. Kemudian para isterinya beri’tikaf setelah beliau wafat.” (HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Dawud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)

Adapun bagi kaum perempuan yang berhalangan, itu berarti dapat mengerjakan amalan dengan dzikir, doa, sholawat, dan amalan-amalan baik lain di rumah. In Sya Allaah kemuliaan lailatul qadar tidak hanya terdapat di Masjid. (Al-Ihkam, 2/305)

✍🏻 Muhammad Rivaldy Abdullah
🌸🍃 Yuk Sebarkan...

https://chat.whatsapp.com/5SsivFXiBGVDVXUcy2fo7w

Seri Fiqh Ramadhan - 10 : ZAKAT (2)



🍂 *Mengapa Zakat mesti ditunaikan dengan makanan pokok, tidak dengan uang?*

Dalilnya, adalah hadits Tsa'labah Ibn Sha'ir, bahwa ia berkata :

خطبنا رسول الله فقال : أدوا عن كل حر وعبد نصف صاع من بر، أو صاعا من تمر، أو صاعا من شعير.

“Rasulullaah berkhutbah di hadapan kami dan berkata : 'Tunaikanlah zakat bagi setiap orang merdeka maupun budak, setengah sha' dari burr, atau sha' dari kurma, atau sha' dari gandum” (HR. Abu Dawud)

Dan riwayat - riwayat lain yang jumlahnya banyak (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 3/2046)

Sahabat pun memiliki pemahaman demikian, setidaknya seperti yang diucapkan oleh ‘Ibn ‘Umar :

فرض رسول الله صدقة الفطر صاعا من تمر، و صاعا من شعير.

“Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam telah mewajibkan shodaqoh fithri [zakat], berupa satu sha’ kurma, atau berupa satu sha’ sya’ir [jewawut]”. (HR. Jamaah, Naylul Authar : 4/179)

🍂 *Waktu Pengeluaran Zakat Fithri*

Waktu diwajibkannya zakat saat terbenamnya matahari di hari akhir Ramadhan [paling akhir]; hanya saja terdapat kesunnahan yang meringankan, dimana muzakki [orang yang membayar zakat] boleh membayarnya sesaat sebelum sholat 'ied. Dari Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

وَ أمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة

“Dan Rasulullah memerintahkan agar [zakat] ditunaikan sebelum keluar untuk menunaikan sholat 'ied”. (HR. Al-Bukhari No. 1432)

Nafi' berkata : “Ibn 'Umar biasa menunaikan zakat sehari atau dua hari sebelum 'ied” (Fiqhus-Sunnah, 1/470)

Adapun mereka yang membayar zakat fithri ini setelah sholat 'ied, maka  tetap ditarik zakat dari mereka dan wajib bagi mereka untuk taubat karena telah menunda-nunda pembayaran zakat. Zakat mereka akhirnya dianggap sebagai shodaqoh semata.

Dari Ibn 'Abbas r.anhuma ia berkata :

فرض رسول الله زكاة الفطر ... من أداها قبل الصلاة، فهي زكاة مقبولة؛ ومن أداها بعدوالصلاة، فهي صدقة من الصدقات

“Rasulullaah telah mewajibkan Zakat ... Barangsiapa yang menunaikannya sebelum sholat ['ied], maka ia terkategori zakat yang maqbul. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah sholat, maka ia termasuk shodaqoh biasa di antara shodaqoh-shodaqoh lainnya”. (HR. Abu Dawud No. 1609, Ibn Majah No. 1827)

🍂 *Niat Bayar Zakat*

Tidak ada lafadz niat secara khusus, namun boleh dikembalikan pada 'urf/kebiasaan masing-masing wilayah

🍂 *Siapakah Muzakki?*

Mereka yang muslim, merdeka, dan memiliki tambahan harta lebih dari makanan pokok ia dan keluarganya selama sehari itu [di hari ‘ied]. Misalkan ia, memiliki harta hanya tinggal 5 kg beras. Maka dia terkategori wajib membayar zakat karena 2,5 kg bagian berasnya bisa ia gunakan untuk makan sehari itu, dan 2,5 kg sisanya untuk zakat. (Fiqhus-Sunnah, 1/468)

🍂 *Siapakah Mustahiq Zakat?*

Orang yang berhak menerima Zakat ialah 8 ashnaf/golongan yang disebutkan dalam Al-Qur'an.

 إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ  حَكِيْم

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk [memerdekakan] budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan  Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9] : 60)

Meski yang diutamakan adalah orang miskin, dengan dalil :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Dari Ibnu Abbas, berkata : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mewajibkan zakat fitri, untuk mensucikan orang yang berpuasa dari hal-hal yang sia-sia, perbuatan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. (HR. Abu Dawud No. 1609, Ibnu Majah No. 1827)

Menurut Syaikh Ahmad Syarif Al-Hanafi [Mufti Madzhab Hanafi Mesir], kadar pembagian zakat disesuaikan dengan kebutuhan. Jika yang mendesak adalah fakir, maka itu yang diutamakan dan boleh diberi porsentase lebih dari harta zakat yang terkumpul.

Bahkan sebagian Ulama Hanafi membolehkan zakat untuk satu bagian saja dalam suatu wilayah, dengan maksud agar pemenuhan kebutuhannya tertunaikan secara tuntas dan ia lebih berdaya. Contoh : Ada si miskin dan ada si punya hutang. Zakat di suatu wilayah boleh diserahkan seluruhnya untuk si punya hutang yang kemudian diberi modal agar ia berdaya, dan zakat untuk si miskin ditangguhkan. Namun yang shahih adalah ke delapan pos tersebut seluruhnya mendapat bagian, dengan prioritas sesuai urutan dalam ayat.

8 Ashnaf itu antara lain :

(1). Fakir. Inilah yang utama dan pertama kali disebutkan dibanding golongan yang lain. Mereka yang dikatakan fakir, ibarat seseorang  butuh dengan 10 kg, dan yang ia punya hanya 2 kg bahkan tidak sekilo pun ia punya.

(2). Miskin : Memiliki penghasilan, namun tidak mencukupi kebutuhannya. Ibarat, dia butuh 10 kg, yang ia dapat hanya 7 kg.

(3). Amil Zakat : adalah petugas yang ditugasi oleh kepala negara Islam.

(4). Mu'allaf : Orang yang baru masuk islam, dan keislamannya masih lemah.

(5). Riqab : Budak. Dan hal ini telah hilang di tengah kaum muslimin

(6). Gharimin : Orang yang berhutang sebab hutang yang halal, yang ia tidak dapat memenuhinya hutangnya.

(7). Fi Sabilillaah : Mereka yang berperang di jalan Allaah, dimana saat mereka berperang ini dalam kondisi tidak diberikan santunan oleh Baitul Mal [Kas Negara Islam]

(8). Ibnussabil : Musafir yang ingin kembali ke negaranya, dimana ia kehilangan biaya untuk itu.

✍🏻 Ust. Muhammad Rivaldy Abdullah
🌸🍃 Yuk Sebarkan...

📱 Instagram :
 www.instagram.com/ngaji_fiqh

💻 Blog :
ngaji-fiqh.blogspot.com

🖥 Telegram :
https://t.me/ngajifiqh

Seri Fiqh Ramadhan - 9 : ZAKAT (1)



🍂 Makna Zakat

Asal katanya,

زَكَا الشَّيْءُ يَزْكُو، أَيْ زَادَ وَ نَمَا

"Zaka As Syai-u Yazku, berarti bertambah dan tumbuh"

Kemudian digunakan dalam mustholah syar'i, sebagai :

قدر مخصوص من بعض أنواع المال، يجب صرفه لأصناف معينة من الناس، عند توفر شروط معينة.

“Ukuran tertentu dari sebagian jenis harta, yang wajib dikeluarkan/dibelanjakan bagi golongan-golongan tertentu dari kelompok masyarakat, [dan ini dilakukan] tatkala telah memenuhi syarat pemenuhannya”. (Al-Fiqh Al-Manhaji, 1/270-271)

🍂 Sejarah Pensyari'atannya

Zakat di syari'atkan di Tahun Kedua Hijrah, berdekatan dengan disyari'atkannya shaum Ramadhan. (Tafsir Ibn Katsir, 3/238)

🍂 Hukum dan Dalil Pensyari'atan Zakat

Zakat itu Fardhu 'Ain. Dan termasuk kedalam perkara ma'lum min ad-din bid dharurah [perkara agama yang kewajibannya sudah tak disangsikan kembali].

Dalil wajibnya Zakat ialah firman Allaah Subhanahu wa Ta'ala :

أقيموا الصلاة، وآتوا الزكاة

“Tegakkan Sholat, dan Tunaikanlah Zakat”. (QS. Al Baqarah [2] : 43)

Dan perintah zakat ini terdapat pula pada 32 tempat di dalam ayat-ayat AlQur'an.

Sedangkan dalil dari As-Sunnah, hadits Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam :

بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله و أن محمدا رسول الله، وإقام الصلاة، و إيتاء الزكاة، و الحج، و صوم رمضان.

“Islam dibangun diatas lima asas : (1). Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allaah dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allaah; (2). Menegakkan Sholat; (3). Menunaikan Zakat; (4). Haji; (5). dan Shaum Ramadhan”. (HR. Al-Bukhari No. 8; Muslim No. 16)

Penjelasan tentang Zakat, dibagi dalam dua bahasan [Zakat Fithri-Zakat Maal]. Yang dibahas pertama kali adalah seputar Zakat Fithri.

🌸  Zakat Fithri 🌸

أي الزكاة التي تجب بالفطر من رمضان. وهي واجبة على كل فرد من المسلمين، صغير أو كبير، ذكر أو أنثى، حر أو عبد

تجب على الحر المسلم، المالك لمقدار صاع، يزيد عن قوته وقوت عياله، يوما وليلة. وتجب عليه، عن نفسه، وعمن تلزمه نفقته، كزوجته، وأبنائه، وخدمه الذين يتولى أمورهم، ويقوم بالانفاق عليهم.

Yaitu zakat yang diwajibkan karena berbuka dari Ramadhan [maksudnya: berakhirnya Ramadhan]. Dia wajib bagi setiap pribadi umat Islam, anak-anak atau dewasa, laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak.

Wajib bagi setiap muslim yang merdeka, yang memiliki kelebihan satu sha’ makanan bagi dirinya dan keluarganya satu hari satu malam [di hari ‘Ied khususnya]. Zakat itu wajib,  bagi dirinya, bagi orang yang menjadi tanggungannya [dalam nafkah], seperti isteri dan anak-anaknya [yang belum baligh], pembantu yang melayani urusan mereka, dan itu merupakan nafkah bagi mereka. (Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah, 1/412-413)

Karena itu, bayi dalam kandungan tidak wajib dibayarkan zakatnya, berdasar hadits : “diwajibkan zakat fithri pada bulan Ramadhan... atas setiap orang merdeka atau budak, laki laki atau perempuan dari kaum muslimin”. (Muttafaq 'Alayh).

 Dan bayi yang belum lahir tidak terkategori “laki-laki/perempuan”. 

Berbeda dengan bayi yang wafat. Jika bayi tersebut wafat setelah terbenamnya matahari di hari terakhir Ramadhan [tanggal 29/30], maka wajib dikeluarkan zakat atasnya karena ia tergolong “orang yang hidup di bulan Ramadhan”. Jika bayi tersebut wafat sebelum terbenamnya matahari di hari terakhir di bulan Ramadhan, maka tidak wajib dibayarkan zakat atasnya.

Ketentuan ini tentu saja berlaku juga bagi orang dewasa. Jika ia wafat sebelum terbenamnya matahari di hari terakhir Ramadhan, ia tidak wajib zakat.  (Al-Fiqh Al-Manhaji, 1/230)

🍂 Dengan Apa mengeluarkan Zakat Fithrah?

Satu sha' [atau setara 4 mud/2,4 kg/3 liter] dari bahan makanan pokok. Hal tersebut berdasar hadits riwayat Abu Sa'id, ia berkata :

كُنَّا نُخْرِجُ فِيْ عَهْدِ رَسُول اللّٰه يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا من طَعَامٍ..

“Kami mengeluarkan Zakat pada masa Rasulullaah di hari fithri [hari 'ied, sebelum sholat] dengan ukuran satu sha' dari makanan”. (HR. Al-Bukhari No. 1439)

Karena itulah, mayoritas Ulama tidak mensahkan zakat fithri dengan uang, akan tetapi zakat fithri mesti ditunaikan dengan makanan pokok. Dalam hal ini di Indonesia umumnya dengan beras. ( bersambung )


🌸🍃 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar...

https://chat.whatsapp.com/AOMk1cE2xqJJ5fteg2GBbs

Monday, May 18, 2020

JAWABAN TUNTAS FIKIH I'TIKAF



Oleh: Muhammad Rivaldy Abdullah (Pengasuh Ma’had Nashirus Sunnah Kairo-Mesir)

🍂 Pengertian I'tikaf

I'tikaf (الإعتكاف) dari segi bahasa berasal dari kata (العكوف). Artinya: Menetap dan berada di sekitarnya pada masa yang lama. Seperti firman Allaah dalam surat Al-Anbiya: 52 dan surat Asy-Syu'ara: 71.

Sedangkan dari segi istilah, yang dimaksud i'tikaf adalah menetap di masjid dengan niat beribadah [taqarrub ilallaah], dengan kriteria tertentu dan dilakukan oleh orang tertentu. (Al-Iqna’, 2/247).

🍂 Landasan Hukum :

Syariat I’tikaf dinyatakan dalam Al-Qur’an, hadits serta pendapat para ulama salaf.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 125, Allah Ta'aala berfirman,

أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“…Bersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang I'tikaf, yang ruku' dan yang sujud.” (QS. Al-Baqarah [2] : 125)

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ -متفق عليه

“Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam melakukan I'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian para isterinya melakukan I'tikaf sesudahnya.” (Muttafaq alaih).

Para ulama sepakat bahwa I'tikaf adalah perbuatan sunah baik bagi laki-laki maupun wanita. Kecuali jika seseorang bernazar untuk I'tikaf, maka dia wajib menunaikan nazarnya. (Ibnul Mundzir, Al Ijma', hal. 53)

🍂 Lama i'tikaf dan Waktunya

•Pendapat pertama : Masa minimal i'tikaf adalah sehari.

Ini merupakan salah satu pendapat Imam Abu Hanifah, sebagian Malikiyyah, sebagian Syafi'iyyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad. (Fathul Qadir, 2/110; Mawaahib Al-Jalil, 2/454; Raudhatut Thalibin, 2/391)

Dalilnya : Mereka mengatakan bahwa i'tikaf tidak sah jika tidak shaum. Dan waktu shaum adalah sehari.

•Pendapat Kedua : I'tikaf dilakukan dengan masa waktu minimal sehari semalam.

Pendapat tersebut merupakan pendapat masyhur di kalangan madzhab Maliki.

Dalilnya adalah pendapat Ibn 'Umar dan Umar Ibnul Khattab yang memerintahkan manusia untuk beri'tikaf minimal sehari semalam. (Syarh Al-‘Umdah, 2/760)

•Pendapat Ketiga : Masa minimal i'tikaf adalah 10 hari.

Pendapat ini merupakan salah satu riwayat Imam Malik. Dengan dalil bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam beri'tikaf di sepuluh hari terakhir dalam waktu 10 hari.

•Pendapat Keempat : Pendapat mayoritas ulama yang memandang bolehnya i'tikaf walau hanya beberapa saat, dimana tolok ukurnya ialah ‘urf masyarakat.

Dalil mereka ialah keumuman ayat Qur'an, Surat Al-Baqarah ayat 187 :

 وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْـتُمْ عٰكِفُوْنَ ۙ فِى الْمَسٰجِدِ  ۗ

“dan janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri'tikaf...” (QS. Al-Baqarah [2] :187)

I’tikaf bermakna berdiam diri. Dan segala aktivitas berdiam diri di masjid dalam rangka taqarrub ilallaah adalah i’tikaf. Baik itu lama maupun sebentar.

Terdapat atsar dari salah satu sahabat Nabi, yaitu Ya’la Ibn Umayyah :

إني لأمكث في المسجد الساعة، وما أمكث إلا لأعتكف

“Sesungguhnya aku ingin berdiam diri di masjid walau sesaat, dan tidak lah aku berdiam diri di masjid melainkan aku beri’tikaf”. (Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq di dalam Al-Mushannaf [4/347], dan Ibn Abi Syaibah [3/89]. Sanadnya shahih)

Imam Nawawi mengatakan bahwasanya i’tikaf meski sesaat, tetap akan diberikan pahala walau sebatas duduk di masjid. Bahkan walau mengisi dengan perkara dunia -seperti makan minum- di masjid. (Al-Jami' Al-‘Aam fi Fiqh As-Shiyam, hal. 411)

Sedangkan lama maksimal I'tikaf tidak ada batasnya dengan syarat seseorang tidak melalaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya atau melalaikan hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah di tahun wafatnya pernah melakukan I'tikaf selama dua puluh hari (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Adapun waktu I’tikaf, berdasarkan jumhur ulama, sunah dilakukan kapan saja, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah melakukan I’tikaf di bulan Syawwal (Muttafaq ‘Alayh).

Beliau juga diriwayatkan pernah I’tikaf di awal, di pertengahan dan akhir Ramadhan (HR. Muslim).

Namun waktu I’tikaf yang paling utama dan selalu Rasulullah lakukan hingga akhir hayatnya adalah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

🍂 Masjid Tempat I’tikaf

Masjid yang disyaratkan sebagai tempat i’tikaf adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat berjamaah lima waktu. Lebih utama lagi jika masjid tersebut juga digunakan untuk shalat Jum'at. Lebih utama lagi jika dilakukan di tiga masjid utama; Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
Terdapat atsar dari Ali bin Thalib dan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa I'tikaf tidak sah kecuali di masjid yang dilaksanakan di dalamnya shalat berjamaah. (Mushannaf Abdurrazzaq, No. 8009).

Disamping, jika I'tikaf dilakukan di masjid yang tidak ada jamaah shalat fardhu, peserta i'tikaf akan dihadapkan dua perkara negatif; Dia tidak dapat shalat berjamaah, atau akan sering keluar tempat I’tikafnya untuk shalat berjamaah di masjid lain.

Yang dimaksud masjid sebagai tempat I'tikaf adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat dan semua area yang bersambung dengan masjid serta dibatasi pagar masjid, termasuk halaman, ruang menyimpan barang, atau kantor di dalam masjid.

Lebih baik lagi jika masjidnya memiliki fasilitas yang dibutuhkan peserta I'tikaf, seperti tempat MCK yang cukup, atau ruangan yang luas tempat tidur dan menyimpan barang bawaan.

🍂 Bolehkah I’tikaf Di Mushalla?

Perlu diperjelas dahulu apa yang dimaksud dengan mushalla di sini? Sebab ada kesalahkaprahan dalam masalah ini.

Makna mushalla yang sebenarnya adalah tempat umum yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk shalat. Misalnya lapangan yang digunakan untuk shalat Id, maka ketika itu lapangan tersebut disebutk sebagai mushalla (tempat shalat). Atau lorong dan basement di perkantoran yang sewaktu-waktu digunakan sebagai tempat shalat dan jika selesai dikembalikan fungsinya seperti semula. Mushalla seperti ini jelas tidak dapat digunakan untuk I’tikaf.

Adapun apa yang disebut mushalla pada bangunan yang telah khusus diperuntukkan untuk shalat bahkan sudah diwakafkan untuk itu, sebagaimana yang banyak terdapat di tengah masyarakat, pada hakekatnya itu adalah masjid, hanya saja tempat tersebut umumnya tidak digunakan untuk shalat Jumat. Karenanya, oleh masyarakat, untuk membedakannya dengan masjid yang digunakan untuk shalat Jumat tempat tersebut disebut dengan istilah mushallah. Sementara di negeri-negeri Arab, tempat seperti itu tetap disebut dengan masjid, sedangkan masjid yang digunakan untuk shalat Jumat disebut Jami’.

Kesimpulannya, dibolehkan I’tikaf di mushalla seperti yang dijelaskan di atas dengan catatan di mushalla tersebut dilaksanakan shalat berjamaah lima waktu. Adapun untuk shalat Jum’at dia boleh keluar ke masjid lain dan segera kembali ke mushalla tersebut jika sudah selesai. Wallahu a’lam.

🍂 Kapan mulai I'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan dan kapan berakhir?

Jumhur berpendapat bahwa awal mulai i'tikaf yang disunnahkan ialah, sesaat sebelum terbenamnya matahari [maghrib], di hari ke -20 bulan Ramadhan. (Al-Minhaj, 8/240)

Adapun waktu berakhirnya, sebagian ulama berpendapat bahwa I'tikaf berakhir ketika dia akan keluar untuk melakukan shalat Id, namun tidak terlarang jika dia ingin keluar sebelum waktu itu. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa waktu I'tikaf berakhir sejak matahari terbenam di hari terakhir Ramadan.

🍂 I'tikaf Bagi Perempuan

Perempuan dibolehkan melakukan I'tikaf berdasarkan keumuman ayat. Juga berdasarkan hadits yang telah disebutkan bahwa isteri-isteri Rasulullah melakukan I'tikaf. Terdapat juga riwayat bahwa Rasulullah mengizinkan Aisyah dan Hafshah untuk melakukan I'tikaf (HR. Bukhari)

Namun para ulama umumnya memberikan syarat bagi wanita yang hendak melakukan I'tikaf, yaitu mereka harus mendapatkan izin dari walinya atau suaminya bagi yang sudah menikah, tidak menimbulkan fitnah, ada tempat khusus bagi wanita di masjid dan tidak sedang dalam haidh dan nifas.

Keluar dari Masjid saat I'tikaf

Secara umum, orang yang sedang I'tikaf tidak boleh keluar dari masjid. Kecuali jika ada kebutuhan pribadi mendesak yang membuatnya harus keluar dari masjid.
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,

وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا - متفق عليه

“Adalah Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam menyorongkan kepalanya kepadaku sedangkan dia berada di dalam masjid, lalu aku menyisir kepalanya. Beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada kebutuhan jika sedang I'tikaf.” (Muttafaq alaih)

Perkara-perkara yang dianggap kebutuhan mendesak sehingga seorang yang I'tikaf boleh keluar masjid adalah; buang hajat, bersuci, makan, minum, shalat Jumat dan perkara lainnya yang mendesak, jika semua itu tidak dapat dilakukan atau tidak tersedia sarananya dalam area masjid.

Keluar dari masjid karena melakukan hal-hal tersebut tidak membatalkan I'tikaf. Dia dapat pulang ke rumahnya untuk melakukan hal-hal tersebut, lalu lekas kembali jika telah selesai dan kemudian meneruskan kembali I'tikafnya.

Termasuk dalam hal ini adalah wanita yang mengalami haid atau nifas di tengah i'tikaf.

Akan tetapi jika seseorang keluar dari area masjid tanpa kebutuhan mendesak, seperti berjual beli, bekerja, berkunjung, dll. Maka I'tikafnya batal. Jika dia ingin kembali, maka niat I'tikaf dari awal.

Bahkan, orang yang sedang i'tikaf disunahkan tidak keluar masjid untuk menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah dan mencumbu isterinya, sebagaimana perkataan Aisyah dalam hal ini (HR. Abu Dawud)

🍂 Pembatal I'tikaf

Berdasarkan ayat yang telah disebutkan, bahwa yang jelas-jelas dilarang saat I'tikaf adalah berjimak. Maka para ulama sepakat bahwa berjimak membatalkan I'tikaf. Adapun bercumbu, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan jika diiringi syahwat dan keluar mani. Adapun jika tidak diiringi syahwat dan tidak mengeluarkan mani, tidak membatalkan.

Termasuk yang dianggap membatalkan adalah keluar dari masjid tanpa keperluan pribadi yang mendesak. Begitu pula dianggap membatalkan jika seseorang niat dengan azam kuat untuk keluar dari I'tikaf, walaupun dia masih berdiam di masjid.

Seseorang dibolehkan membatalkan I'tikafnya dan tidak ada konsekwensi apa-apa baginya. Namun jika tidak ada alasan mendesak, hal tersebut dimakruhkan, karena ibadah yang sudah dimulai hendaknya diselesaikan kecuali ada alasan yang kuat untuk menghentikannya.

Yang dianjurkan, dibolehkan dan dilarang

Dianjurkan untuk fokus dan konsentrasi dalam ibadah, khususnya shalat fardhu, dan memperbanyak ibadah sunah, seperti tilawatul quran , berdoa, berzikir, muhasabah, tholabul ilmi, membaca bacaan bermanfaat, dll. Namun tetap dibolehkan berbicara atau ngobrol seperlunya asal tidak menjadi bagian utama kegiatan i'tikaf, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah dikunjungi Shofiyah binti Huyay, isterinya, saat beliau I'tikaf dan berbicara dengannya beberapa saat. Dibolehkan pula membersihkan diri dan merapikan penampilan sebagaimana Rasulullah  disisirkan Aisyah ra, saat beliau I'tikaf.

Dilarang saat I'tikaf menyibukkan diri dalam urusan dunia, apalagi melakukan perbuatan yang haram seperti ghibah, namimah atau memandang pandangan yang haram baik secara langsung atau melalui perangkat hp dan semacamnya.

Hindari perkara-perkara yang berlebihan walau dibolehkan, seperti makan, minum, tidur, ngobrol, dll.

Wallahua'lam bishshaawab

❄ ngaji-fiqh.blogspot.com

Seri Fiqh Ramadhan - 8 : نُزُوْلُ القُرْآن (Nuzulul Qur'an)



Memperingati Nuzulul Qur'an bertujuan untuk membahas seputar bagaimana Al-Qur'an diturunkan kepada kita, dan mengkaji ayat serta hadits yang menerangkan tentangnya. Tentu saja hukumnya dianjurkan.

Nuzulul Qur'an, datang dalam Al-Qur'an dengan ungkapan :

وَبِالحَقِّ أَنْزَلْنٰهُ وَبِالحَقِّ نَزَل

“Dan Kami turunkan AlQur'an itu dengan sebenarnya dan AlQur'an itu turun dengan membawa kebenaran”. (QS. Al-Israa [17]: 105)

Dan dalam hadits, Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya AlQur'an ini diturunkan dengan tujuh huruf”. (HR. Ahmad No. 7749, Al-Bayhaqi [2/145], 'Abdurrazzaq No. 20369)

Makna “nuzul” sendiri berarti “penempatan sesuatu pada suatu tempat dan sesuatu itu mendiaminya”.

Bisa juga berarti “penurunan sesuatu dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah”. (Manaahil Al-Irfan, 1/35)

Kedua makna "nuzul" ini tidak layak bagi AlQur'an, karena kedua makna tersebut memposisikan AlQur'an layaknya makhluk, menempati ruang dan berbentuk.

Karena itulah, kita memerlukan tajawwuz, yakni mengembalikan makna "nuzulul Qur'an" ke makna majazi, yang dibimbing oleh nash Qur'an dan hadits sendiri.

Makna "inzal" yang tepat ini ialah,

الإعلام في جميع إطلاقاته

“Penginformasian dengan seluruh kemutlakannya”.  (Manaahil Al 'Irfan, 1/36)

Syaikh Bakr Isma'il mengatakan,

و معنى إنزاله في اللوح المحفوظ مجرد إثباته فيه، من غير نظر إلى علو و سفل.

"Dan makna turunnya AlQur'an ke Lawh Mahfudz adalah sebatas pengisbatan saja, tidak berarti bermakna 'turun dari atas ke bawah'  (Dirosat Fi 'Ulum AlQur'an, 1/24)


Proses - proses Turunnya Al Qur'an (Tanazzulaat Al-Qur'aan)

1. Turunnya AlQur'an ke Lauhul Mahfudz

Dalilnya :

بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيْدٌ . فِيْ لَوْحٍ مَّحْفُوْظٍ.

“Bahkan yang [didustakan] itu ialah Qur'an yang mulia. Yang tersimpan dalam tempat yang terjaga (Lauhul Mahfudz)”. (QS. Al Buruj[85]: 21-22)

Dan keberadaannya di Lauhul Mahfudz tidak diketahui waktu dan bentuknya [ghaib], dan hanya Allaah yang Mengetahui.

Pada fase pertama ini, turunnya AlQur'an ini langsung secara keseluruhan tanpa terbagi-bagi, berdasarkan lafadz nash-nya sendiri secara mutlak menunjukkan demikian.

Hikmah dari Nuzul yang Pertama, bahwasanya kita mengetahui adanya Lauhul Mahfudz, dan bagaimana ia merupakan tempat tercatatnya segala qadha dan qadar Allah , serta apa yang akan terjadi dan yang tidak terjadi di alam dunia ini.  Dan hal tersebut merupakan tanda kebesaran serta kekuasaan Allaah

(مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ)

“Setiap bencana yang menimpa di Bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab [Lauhul Mahfudz] sebelum kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allaah”. (QS. Al Hadid [57]:22)

2. Turunnya AlQur'an ke Baitul 'Izza di Langit Dunia.

(إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ)

(QS. Ad-Dukhan[44]:3)

(بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ)

(QS. Al Qadar[97]:1)

 شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ

(QS. Al Baqarah[2]:185)

Dari ketiga ayat ini kita mengetahui bahwasanya fase kedua AlQur'an turun ke langit dunia, adalah pada malam yang disebut laylatul mubaarokah (QS. Ad-Dukhan : 3), atau laylatul qodar (QS. Al Qodar : 1), dan malam diantara malam malam Ramadhan (QS. Al Baqarah [2] : 185). AlQur'an pada saat itu turun secara keseluruhan [jumlatan wahidatan]

Terdapat hadits yang menerangkan hal ini. Dari 'Ikrimah rahimahullah, dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata :

أنزل القرآن جملة واحدة إلى سماء الدنيا ليلة القدر، ثم أنزل بعد ذلك في عشرين سنة.

“AlQur'an diturunkan secara keseluruhan ke langit dunia pada malam laylatul qadar, kemudian diturunkan [berangsur angsur] setelah itu selama dua puluh tahun”. (HR. Al-Hakim, 7/131)

Setelah itu, kata Ibn Abbas, barulah Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur kepada Nabi dalam hari-hari Nabi.

Hikmah dari informasi ini tiada lain adalah bahwasanya kita mengetahui bahwa urusan AlQur'an ini adalah urusan besar, hingga diturunkan pada penduduk langit yang tujuh secara keseluruhan, dan akhirnya diturunkan berangsur-angsur ke bumi.

(وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا)

“Dan AlQur'an kami turunkan berangsur-angsur agar engkau [Muhammad] membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap.” (QS. Al-Isra [17]:106)

3. Turunnya AlQur'an kepada Nabi Muhammad shallallaahu 'alayhi wasallam.

Inilah fase terakhir turunnya Al-Qur'an. Dengan nya bumi terterangi, dan manusia terbimbing dengan cahaya hidayah. Wahyu turun dengan beragam cara dan keadaan, kepada hati Nabi.

Allaah Taala berfirman,

(نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ)(بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ) (عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ)

“Yang dibawa turun oleh Ruhul Amin [Jibril]. Ke dalam hatimu [Muhammad] agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan. dengan bahasa Arab yang jelas” (QS. As-Syu'ara [26]:193-195)

Masa fase turunnya AlQur'an ini kepada Nabi, pada saat Nabi tinggal di Makkah selama 13 tahun, dan Madinah 10 tahun.

Di Makkah Nabi memulai dakwahnya dari 17 Ramadhan, saat usia Nabi 41 tahun [awal turunnya ayat, surat Al Alaq ayat 1-5], hingga Rabi'ul Awwal [usia Nabi 54 tahun]. Kurang lebih fase itu selama 12 tahun, lebih 5 bulan 13 hari.

Kemudian risalah dilanjutkan ke Madinah, setelah hijrah pada awal Rabi'ul Awwal tahun 1 H hingga 9 Dzulhijjah [usia Nabi 63 tahun]. Fase tersebut lamanya 9 tahun, lebih 9 bulan 9 hari. (Hasan Muhammad Ayyub, Al-Hadits Fi 'Ulum Al-Qur'an wa Al-Hadits, 1/33)

In Sya Allaah akan kita bahas lebih lanjut..
✍🏻 Muhammad Rivaldy Abdullah
🌸🍃 Yuk Sebarkan! Amal Dakwah kita..

Instagram : www.instagram.com/ngaji_fiqh

Blog : www.ngaji-fiqh.blogspot.com

Telegram : Ngaji FIQH
https://telegram.me/ngajifiqh

Monday, May 11, 2020

Shaum Bagi Pekerja Berat



Ustadz.
Apakh ada penjelasan dalil rukhshoh/keringanan bagi pekerja berat/ buruh/kuli bangunan untk tdk berpuasa ? Jazaakallah khoiir

🍃 Jawaban :

Tidak ada dalil yang menunjukkan keringanan/rukhshah atas pekerja berat. Mereka tetap wajib shaum; tetap wajib niat di malam hari untuk shaum dan tidak menyengaja makan di pagi harinya.

Itu semua karena yang diberikan rukhshah/keringanan oleh syara' hanyalah orang-orang yang sakit berat, yang bepergian, perempuan hamil dan menyusui, serta orang tua sepuh yang sudah tidak sanggup lagi shaum. (Al-Mughni, 4/403; Al-Minhaj, 7/186; Bidayatul Mujtahid, 1/300)

Bagi mereka yang berbuka secara sengaja di siang hari Ramadhan tanpa ada udzur, maka Allaah Ta'ala telah mengancam mereka dengan siksaan.

من أفطر يومًا من رمضان من غير رخصة لقي الله به وإن صام الدهر كله، إن شاء غفر له، وإن شاء عذبه

“Barangsiapa yang berbuka secara sengaja pada hari di bulan Ramadhan tanpa rukhshah, maka ia akan bertemu Allaah dengan [dosa]nya tersebut, walaupun ia ganti dengan shaum setahun penuh. Jika Allaah mau, Allaah mengampuni. Dan jika Allaah mau, Allaah mengadzabnya.” (HR. At-Thabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Kabir [9/9575])

Selayaknya bagi pemerintah maupun pihak terkait [atasan para pekerja tersebut] melihat permasalahan ini dengan lebih arif. Para atasan semestinya peka bahwa pekerjaan yang dikerjakan anak buah mereka dapat menyebabkan anak buah mereka berat dalam menjalani shaum. Tentu harus dicari solusinya agar para pekerja berat tersebut tetap mampu untuk shaum dan menjalani Ramadhan dengan baik. 

Kalau lah memang kasus ini tidak dapat dicarikan solusi lain —dan para pekerja berat tersebut tetap dituntut untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan nafkah— maka tidak mengapa bagi mereka jika tidak sanggup shaum secara sempurna untuk membatalkan shaumnya. Dengan catatan, mereka tetap shaum dari sejak terbit matahari dan baru berbuka jika memang sudah tidak sanggup lagi menahan lapar dan haus.

Imam An-Nawawi berkata :

قَالَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ : مَنْ غَلَبَهُ الجُوْع وَالعَطْش فَخَافَ الهَلَاك، لَزِمَهُ الفِطْرُ وَإِنْ كَانَ صَحِيْحًا مُقِيْمًا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ} : وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى : {وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ} : وَ يَلزمه القَضَاءُ كَالمَرِيْض. وَالله أَعْلَم.

“Berkata para Ulama Madzhab kami juga Ulama Madzhab lain : Siapa saja yang tidak sanggup lagi menahan lapar dan haus serta dikhawatirkan akan jatuh sakit/binasa, maka mesti baginya untuk berbuka walaupun ia dalam kondisi sehat [pada asalnya] serta mukim [tidak sedang bepergian]. Hal itu sebab firman Allaah Ta'ala :

 وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ

Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri (QS. An Nisa [4] : 29)

Dan firman Allaah :

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian sendiri kedalam kebinasaan (QS. Al-Baqarah [2] : 195)

Maka wajib baginya qadha sebagaimana orang yang sakit [di luar bulan Ramadhan]. Wallaahu a'lam.” (Al-Majmu', 6/258)

Para pekerja berat itu wajib mengqadha shaumnya di waktu lain, dan ia wajib mengusahakannya karena waktu qadha adalah waktu yang lapang.

Ya Allaah.. Permudahlah seluruh kaum muslimin dalam menjalankan ibadah Ramadhan dimana pun mereka berada..

✍🏻 Muhammad Rivaldy Abdullah
🌸🍃 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar..

Instagram : www.instagram.com/ngaji_fiqh

Facebook : www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

Telegram : Ngaji FIQH
https://telegram.me/ngajifiqh