Monday, May 25, 2020

SEPUTAR SHAUM SYAWWAL



Soal :

Assalammu'alaikum, ustadz mau nanya tentang shaum 6hari dibulan syawwal. Apakah shaumnya itu dilakukan pada tanggal ke 2 atau tgl. 3 syawwal? Dan apakah shaum syawwalnya itu boleh dipertengahan atau boleh juga di selang hari seperti shaumnya nabi daud?

Mohon jawabannya...

Jazakallaah khoiron katsiir

Jawab :

Waalaykumussalaam. Warahmatullah Wabarakatuh.

Saya paparkan jawaban terkait ini, dari soal jawab dengan Syaikh Ali Jum'ah (Ulama Mesir). Berikut jawabannya :

• Hukum shaum enam hari pada bulan syawwal ini adalah sunah menurut mayoritas ulama.
Telah diriwayatkan dari Abu Ayub al-Anshari radhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda:

من صام رمضان ثم أتْبَعَه ستا من شوال كان كصيام الدهر

Barang siapa yang shaum Ramadan dan melanjutkannya dengan shaum enam hari pada bulan Syawwal maka ia seolah-olah shaum setahun penuh.  (HR. Muslim).

• Keutamaan shaum Syawwal:

Orang yang shaum Ramadan dan dilanjutkan dengan shaum enam hari di bulan Syawwal seakan-akan shaum satu tahun, karena secara umum shaum 30 hari Ramadan ditambah dengan 6 hari Syawal, dikali 10 [karena setiap satu kebaikan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali lipat] sama dengan 360, dan ini adalah jumlah hari dalam satu tahun Hijriah.

Ini menunjukkan pada tiga hal:

1. Shaum Syawwal dapat menutupi kekurangan dalam menjalani shaum Ramadhan.
Para ulama memperhatikan bahwa shaum sunah Syawal bagi shaum wajib Ramadhan bagaikan shalat sunah badiyah [yang dilakukan setelah shalat wajib]. Begitu juga shaum sunah bulan Syaban sebelum shaum wajib Ramadhan seperti halnya shalat sunah qabliyah [yang dilakukan sebelum shalat wajib]. Ini semua berguna untuk menyempurnakan segala kekurangan dalam melaksanakan ibadah yang wajib.

2. Shaum Syawwal adalah tanda diterimanya shaum Ramadan.
Hal ini karena ibadah yang diterima adalah ibadah yang melahirkan ibadah selanjutnya. Insya Allah shaum Syawwal adalah ketaatan yang dilahirkan oleh ketaatan shaum Ramadhan. Semoga ini tanda diterimanya Ramadhan.

3. Shaum Syawwal adalah tanda bahwa seorang yang telah shaum Ramadhan tidaklah pernah lelah atau bosan shaum.

•  Shaum enam hari bulan Syawwal tidak harus enam hari secara beruntun, namun waktunya terbuka selama bulan Syawal. Maka kita boleh shaum Syawwal sekaligus shaum sunah lainnya, seperti shaum senin dan kamis atau shaum ayyam bidh [pertengahan bulan], yaitu shaum tanggal 13, 14 dan 15. Namun lebih baiknya shaum secara langsung dan berurutan [dari tanggal 2 hingga 7 Syawwal].

Mari kita segera shaum Syawwal setelah selesainya hari raya Idul Fitri. (Al-Fatawa Al-Ramadhaniyah, hal: 78-79)

Memang, ada pendapat yang mengatakan bahwa shaum syawwal hukumnya makruh/kurang disukai. Pendapat itu ialah pendapat Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Imam Malik. (Fathul-Qadir, 2/349; Al-Muwaththa’, 1/330.)

 Imam Abu Yusuf berkata :

كانوا يكرهون أن يتبعوا رمضان صوما خوفا أن يلحق ذلك بالفرضية

“Para ulama kalangan Hanafiyyah memandang makruh mengiringi shaum Ramadlan dengan shaum lain [shaum enam hari bulan Syawwal] karena dikhawatirkan akan disamakan dengan shaum wajib”. (Bada’I As-Shana’I, 2/78).

Imam Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah saat mengomentari pendapat Malik berkata :

لم يبلغ مالكا حديث أبي أيوب على أنه حديث مدني والإحاطة بعلم الخاصة لا سبيل إليه والذي كرهه له مالك أمر قد بينه وأوضحه وذلك خشية أن يضاف إلى فرض رمضان وأن يستبين ذلك إلى العامة وكان - رحمه الله - متحفظا كثير الاحتياط للدين
وأما صيام الستة الأيام من شوال على طلب الفضل وعلى التأويل الذي جاء به ثوبان - رضي الله عنه - فإن مالكا لا يكره ذلك إن شاء الله لأن الصوم جنة وفضله معلوم لمن رد طعامه وشرابه وشهوته لله تعالى وهو عمل بر وخير وقد قال الله عز وجل وافعلوا الخير الحج 77 ومالك لا يجهل شيئا من هذا.

ولم يكره من ذلك إلا ما خافه على أهل الجهالة والجفاء إذا استمر ذلك وخشي أن يعدوه من فرائض الصيام مضافا إلى رمضان وما أظن مالكا جهل الحديث والله أعلم لأنه حديث مدني انفرد به عمر بن ثابت وقد قيل إنه روى عنه مالك ولو لا علمه به ما أنكره وأظن الشيخ عمر بن ثابت لم يكن عنده ممن يعتمد عليه وقد ترك مالك الاحتجاج ببعض ما رواه عن بعض شيوخه إذا لم يثق بحفظه ببعض ما رواه وقد يمكن أن يكون جهل الحديث ولو علمه لقال به والله أعلم

“Malik tidak mengetahui hadits Abu Ayyub sebagai salah satu hadits penduduk Madinah. Sebab mengetahui secara mendalam terhadap ilmu tertentu tidak mungkin dilakukan. Apa yang dimakruhkan Malik telah ia jelaskan, yaitu ditakutkan shaum itu akan disamakan dengan shaum wajib Ramadhan oleh orang awam. Malik rahimahullah termasuk orang yang sangat berhati-hati dalam masalah agama.

Sedangkan shaum enam hari bulan Syawal untuk mendapatkan keutamaannya dan seperti apa yang dijelaskan dalam hadits Tsauban radliyallaahu ‘anhu, maka itu tidak dimakruhkan Malik insya Allah. Sebab shaum adalah perisai dan keutamaannya diketahui oleh orang yang menahan makan, minum, dan nafsunya karena Allaah. Ia juga sebuah amal kebajikan, sedang Allaah telah berfirman : “Dan kerjakanlah kebajikan” (QS. Al-Hajj : 77). Malik tentu mengetahui itu.

Malik tidak memakruhkan shaum Syawwal melainkan karena kekhawatirannya bila itu dilakukan langsung [setelah Ramadhan] orang awam akan menganggapnya termasuk shaum wajib Ramadhan. Aku berpikiran Malik tidaklah jahil tentang hadits ini, wallaahu a’lam, karena itu adalah hadits penduduk Madinah yang diriwayatkan sendiri oleh ‘Umar bin Tsabit. Bahkan dikatakan Malik meriwayatkan darinya. Jadi, jika Malik tidak mengetahui hadits itu, tentu ia tidak mengingkarinya. Dan aku mengira juga bahwa Syaikh ‘Umar bin Tsabit termasuk orang yang tidak diterima Malik. Apalagi Malik tidak menerima hadits yang diriwayatkannya dari sebagian gurunya karena ia tidak percaya dengan hafalannya pada sebagian riwayatnya. Atau mungkin juga Malik memang tidak tahu hadits tersebut. Sebab jika ia tahu, tentu ia tidak mengatakan demikian [mengingkari shaum Syawwal]. Wallaahu a’lam”. (Al-Istidzkar, 3/379).

Yang rajih adalah yang mensunnahkan. Wallaahu a’lam.

*Apa boleh mendahulukan shaum syawwal dari pada shaum qadha?*

Madzhab Syafi'I memandang bahwa keutamaan Shaum Syawwal ini bagi siapa saja yang Muslim, entah ia sempurna shaum Ramadhannya atau ia yang harus qadha. Tetap disunnahkan shaum syawwal. (Al-Mawsu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 28/93)

Namun, afdholnya mendahulukan qadha Ramadhan yang telah lalu ketimbang menunaikan shaum syawwal [jika punya hutang shaum].

Bahkan madzab Hanbali dalam hal ini mengharamkan shaum syawwal, sebelum ditunaikannya qadha terlebih dahulu. Karena yang wajib di dahulukan daripada yang sunnah. (Al-Mawsu'ah, 28/100)

*Kemudian, apakah boleh menggabungkan niat shaum qadha dengan shaum syawwal?*

Madzhab Syafi'i memandang boleh menggabungkan niat antara shaum qadha dengan shaum Syawwal; meskipun pada dasarnya lebih afdhol masing masing niat dipisahkan sendiri-sendiri(lihat, Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, 3/235).

Adapun pendapat lain mengatakan, bahwa kebolehannya jika shaum tersebut kedua duanya sunnah. Misal, niat shaum syawwal dengan shaum senin kamis.

Kedua pendapat itu berdalil berdasarkan hadits riwayat Umar. Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

إنما الأعمال بالنيات. و إنما لكل امرىء ما نوى..

"Sesungguhnya amal tergantung niat-niatnya. Dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang diniatkannya.." (HR. Al-Bukhari No. 54, 2329, 3685)

Dan niat di dalam hadits ini tidak dibatasi serta tidak ditentukan modelnya harus seperti apa.

Di dalam kitab Al-Mawsu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah (12/24), diterangkan pembahasan seputar tasyrik an-niyah [penggabungan niat]. Pemaparannya sebagai berikut :

إِنْ أَشْرَكَ عِبَادَتَيْنِ فِي النِّيَّةِ، فَإِِنْ كَانَ مَبْنَاهُمَا عَلَى التَّدَاخُل كَغُسْلَيِ الْجُمُعَةِ وَالْجَنَابَةِ، أَوِ الْجَنَابَةِ وَالْحَيْضِ، أَوْ غُسْل الْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ، أَوْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا غَيْرَ مَقْصُودَةٍ كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ مَعَ فَرْضٍ أَوْ سُنَّةٍ أُخْرَى، فَلاَ يَقْدَحُ ذَلِكَ فِي الْعِبَادَةِ؛ لأَِنَّ مَبْنَى الطَّهَارَةِ عَلَى التَّدَاخُل، وَالتَّحِيَّةُ وَأَمْثَالُهَا غَيْرُ مَقْصُودَةٍ بِذَاتِهَا، بَل الْمَقْصُودُ شَغْل الْمَكَانِ بِالصَّلاَةِ، فَيَنْدَرِجُ فِي غَيْرِهِ.
أَمَّا التَّشْرِيكُ بَيْنَ عِبَادَتَيْنِ مَقْصُودَتَيْنِ بِذَاتِهَا كَالظُّهْرِ وَرَاتِبَتِهِ، فَلاَ يَصِحُّ تَشْرِيكُهُمَا فِي نِيَّةٍ وَاحِدَةٍ؛ لأَِنَّهُمَا عِبَادَتَانِ مُسْتَقِلَّتَانِ لاَ تَنْدَرِجُ إِحْدَاهُمَا فِي الأُْخْرَى

“Seandainya seseorang melakukan dua ibadah sekaligus dengan satu niat, maka apabila dua ibadah tersebut bisa saling menyatu seperti mandi Jumat dengan mandi junub, mandi junub dengan mandi haid, mandi Jumat dengan mandi Ied; atau *salah satu ibadah* tersebut bukan ibadah ‘maqshudah [terjadi karena ada alasan tertentu]’ seperti shalat tahiyatul masjid dengan shalat fardhu atau shalat sunnah lainnya, maka semua itu tidak mencederai ibadah tersebut.

Akan tetapi apabila kedua ibadah itu adalah ibadah ‘maqshudah’ seperti shalat dzuhur dengan sunnah rawatibnya, maka tidak sah digabung di dalam satu niat karena masing-masing dari keduanya adalah ibadah independen/tersendiri yang tidak bisa saling menyatu.” (keterangan ini dapat juga dilihat di dalam kitab Al Iqna, 2/6; Nihayatul Muhtaaj, 4/106; dan Al Mughni 1/221)

Jadi, hukum asalnya boleh digabungkan antara shaum qadha dengan shaum sunnah syawwal, dan pendapat yang mengatakan hanya menggabungkan niat dalam shaum yang terkategori sunnah [misal, shaum syawwal dengan senin kamis] adalah pendapat yang benar. In Sya Allaah hal ini adalah perkara yang luas. Wallaahu a'lam.


✍🏻 Muhammad Rivaldy Abdullah
🌸🍃 Yuk Sebarkan..

Instagram : www.instagram.com/ngaji_fiqh

Facebook : www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

Telegram : Ngaji FIQH
https://telegram.me/ngajifiqh

No comments:

Post a Comment