Wednesday, July 29, 2020

Shalat 'Ied di Hari Jum’at : Tetap Wajib Shalat Jum’at




  Oleh : Muhammad Rivaldy Abdullah (Mudir Ma’had Nashirus Sunnah-Mesir)

Bismillaahi wasshalaatu wassalaam ala rasulillaah..
Pertanyaan berkenaan dengan masalah ini banyak diajukan kepada kami dan kami in sya Allaah akan memberi sedikit komentar berdasarkan apa yang kami pahami.

Kami tegaskan bahwa :   “Shalat Jum’at tetap wajib dilaksanakan dan kewajibannya tidak gugur dengan adanya pelaksanaan shalat ‘ied.”

Pendapat ini merupakan pendapat yang dipegang oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ibn Hazm dan ta’wil atas pendapat Imam Syafi’I yang memandang bahwa rukhshah [keringanan] untuk tidak shalat jum’at hanya ditujukan bagi penduduk kampung [ahlul bawadi], dan bukan penduduk kota [ahlul amshar].
Bisa dikatakan ini merupakan pendapat mayoritas ulama. (At-Tamhid, 10/277; Bidayatul Mujtahid, 1/219; Al Muhalla, 5/89; Subulus Salam, 2/112; Fatawa Darul Ifta' Mesir, No. 366 Tahun 2006)

Adapun pendapat yang mengatakan tidak wajib shalat jum'at, dapat dirinci sebagai berikut :

 • Menurut Imam Ahmad, jika ada seseorang telah menghadiri shalat 'ied —dan hari itu bertepatan dengan hari jum’at— maka tidak ada kewajiban baginya untuk menghadiri shalat jum’at. Yang wajib baginya sebatas shalat dzuhur. (Al Fatawa, 24/210; Al Mustau'ab, 3/69)

• Menurut Imam ‘Ali, Ibn Zubair dan Atha’ Ibn Abi Rabah, jika ada seseorang telah menghadiri shalat ‘ied yang bertepatan dengan hari jum’at; maka gugur kewajiban shalat jum’at dan shalat dzuhur atasnya. Itu artinya, dia tidak berkewajiban shalat apa pun setelah menunaikan shalat ‘ied, hingga tiba waktu ashar. (HR. Abdurrazzaq No. 5731; Subulus Salam, 2/111-112)

 Alasan mengapa pendapat mayoritas ulama merupakan pendapat terkuat disandarkan pada beberapa argumen :

[1]. Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan untuk shalat jum’at di hari jum’at bersifat umum [‘aam] tanpa adanya takhsis terkait dengan hari ied.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

“Wahai orang orang yang beriman! Jika diserukan kepada kalian seruan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kalian mengingat Allaah dan tinggalkanlah jual beli…” (QS. Al-Jumu’ah  [62] : 9)

Ayat ini bersifat qath’iy tsubut, serta qath’iy dilalah. Sedangkan hujjah bagi mereka yang menggugurkan kewajiban jum’at sebab adanya berjamaah ied, adalah hujjah yang diperselisihkan baik tsubut maupun dilalahnya.

Imam Ibn Rusyd berkata :

العيد على أنّه سنّة، والجمعة على أنّها فرض، ولا ينوب أحدهما عن الآخر..

“Shalat Ied itu tiada lain hukumnya sunnah, sedangkan shalat jum’at fardhu, dan tidak dapat mewakili satu sama lain..” (Bidayatul Mujtahid, 1/219)

Ibn Hazm berpendapat bahwa sunnah tidak dapat menghapus yang fardhu. Allaah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kewajiban shalat lima waktu beserta rukhshah yang dapat diambil. Tidak ada nash satu pun yang menggugurkan shalat lima waktu ini. (lihat, Al Muhalla, 5/89)

 [2]. Jika mereka beralasan bahwa takhsis nya datang dari As-Sunnah, maka kami katakan hujjah mereka yang memandang adanya rukhshah untuk tidak shalat jum’at adalah hujjah yang tidak shahih.
Mereka berdalil dengan hadits :

● Riwayat Abu Dawud No. 1073, Ibn Majah No. 1311, Al-Hakim (1/277), dan Al-Bayhaqi (3/318-319).

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mushaffa dan ‘Umar bin Hafsh Al-Washabiy secara makna, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Baqiyyah : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Mughirah Adl-Dlabbiy, dari ‘Abdul-‘Aziz bin Rufai’, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

“Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan [shalat id] dari shalat Jum’at, maka itu cukup baginya, tetapi kami tetap melaksanakan shalat Jum’at.”

Sanad riwayat ini lemah, karena ‘an’anah Al-Mughirah Ibn Miqsam Adl-Dlabbiy. Meskipun tsiqah, ia termasuk mudallis pada martabat ketiga (Thabaqatul-Mudallisin hal. 112 No. 107)

Syaikh Amr Abdul Mun’im Salim mengatakan, bahwa sanad hadits ini munkar. Sebab, Baqiyyah telah menyendiri [tafarrud] dalam meriwayatkan hadits ini daripada para perawi Syu’bah. Terbukti, hadits ini dianggap cacat oleh Imam Ahmad, Imam Ad-Daruquthni dan Imam Ibn Abdil Barr. (Qawa’id Haditsiyyah, hal. 95)

Al-Khatib Al-Baghdadi di dalam Tarikh-nya dengan sanad yang shahih mengutip ucapan Imam Ahmad Ibn Hanbal :

بلغني أن بقية روى عن شعبة , عن مغيرة , عن عبد العزيز بن رفيع , عن أبي صالح , عن أبي هريرة , في العيدين يجتمعان في يوم. من أين جاء بقية بهذا !!؟

Telah sampai kepadaku bahwasanya Baqiyyah meriwayatkan hadits dari Syu’bah, dari Mughirah, dari Abdul ‘Aziz Ibn Rufai’, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, berkenaan dengan adanya dua ied yang bertemu dalam satu hari. [Aku berkata] : “Darimana Baqiyyah meriwayatkan ini?!!” (Tarikh Baghdad, 4/218).

Imam Al-Khatib juga mengutip ucapan Daruquthni bahwasanya hadits ini gharib.
Imam Ibn Abdil Barr di dalam At-Tamhid (10/272) menilai bahwa riwayat Baqiyyah dari kalangan perawi Syam adalah dha’if, dan munkar.

Baqiyyah Ibnul Walid juga meriwayatkan hadits ini dengan riwayat syadz, tanpa ada mutaba’ah dari riwayat lain. Riwayat syadz itu adalah lafadz :

 أَجْزَأَهُ يَعْنِي الْعِيدَ مِنْ الْجُمُعَةِ

(telah mencukupi –yakni shalat ied- daripada shalat jum’at).

Berkata Imam At-Thahawi di dalam Musykalul Atsar (1156) : Telah menceritakan kepada kami Bakkar Ibn Qutaybah, telah menceritakan kepada kami Abu Dawud, dan Abu Amir mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdul Aziz Ibn Rufai’, dari Dzakwan ia berkata : Telah berkumpul dua ‘ied pada masa Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam kemudian Nabi bersabda :

إِنَّكُمْ قَدْ أَصَبْتُمْ خَيْرًا وَذِكْرًا، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ، وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ

“Sesungguhnya kalian telah mendapati kebaikan dan dzikir, dan sesungguhnya kami akan berkumpul [shalat jum’at]. Barangsiapa yang ingin shalat jum’at maka hendaknya shalat jum’at; dan barangsiapa yang ingin pulang maka hendaknya ia pulang.”

Telah mengeluarkan pula hadits ini Imam Abdurrazzaq di dalam Al-Mushannaf (5728), dari Sufyan As-Tsauri, dari Abdul ‘Aziz Ibn Rufai’, dari Abu Shalih Dzakwan yang serupa dengan riwayat At-Thahawi kecuali Imam Abdurrazzaq menyebutkan kalimat :

وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ

“Barangsiapa yang ingin duduk, maka hendaknya ia duduk [di rumahnya].”

Begitu juga telah mengeluarkan Ibn ‘Adiy didalam Al-Kamil (3/93), dan Imam Bayhaqi di dalam Al-Kubra (3/318), dan Ibn ‘Abdil Barr di dalam At-Tamhid (10/272), dengan jalur riwayat dari Ziyad Ibn Abdillah Al-Bakka’I, dari Abdul Aziz Ibn Rufai’, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah ia berkata : Telah berkumpul dua ‘ied pada masa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam kemudian Nabi berkata :

إِنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ عِيدُكُمْ هَذَا وَالْجُمُعَةُ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ

“Sesungguhnya telah berkumpul hari raya kalian ini dengan hari jum’at. Dan sesungguhnya kami akan berkumpul [melaksanakan shalat jum’at]. Barangsiapa hendak menunaikan shalat jum’at maka hendaknya ia shalat jum’at.” Maka tatkala beliau telah mengerjakan shalat ‘ied, di siang hari beliau shalat jum’at.

Maka kami katakan –berdasarkan dua riwayat di atas- Baqiyyah Ibn Al-Walid telah bertafarrud dengan riwayat syadz beliau yang menyebutkan :

 أَجْزَأَهُ يَعْنِي الْعِيدَ مِنْ الْجُمُعَةِ

(telah mencukupi –yakni shalat ied- daripada shalat jum’at)

Justeru yang nampak dari riwayat riwayat di atas [kalau lah shahih] bahwasanya Nabi bersabda :

«إِنَّا مُجَمِّعُونَ»

 “Sesungguhnya kami melaksanakan shalat jum’at”.

Mafhum dari hadits tersebut : Nabi beserta orang-orang yang wajib atasnya shalat jum’at, tetap mengerjakan shalat jum’at. Bisa dikatakan hadits ini menunjukkan bahwa Nabi dan para sahabat -yang tetap dibebani taklif shalat jum’at-, melaksanakan shalat jum’at. Tidak ada tersirat pemahaman bahwa Nabi mengambil rukhshah untuk tidak shalat jum’at.

Begitu juga kalimat :
 «وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ»

“Barangsiapa hendak pulang/kembali, maka hendaknya ia kembali”

merupakan informasi dari Nabi bahwasanya bagi mereka yang datang dari wilayah-wilayah jauh luar Madinah, boleh untuk tetap bersama Nabi hingga menunaikan shalat jum’at atau pulang kembali ke wilayahnya masing-masing. Ini adalah rukhshah khusus bagi mereka, karena adanya masyaqqah [kondisi berat] dalam menjalani shalat jum’at. Maka mafhum hadits ini amat jelas jika disandingkan dengan riwayat lain di dalam hadits riwayat Bukhari yang berbicara masalah ini.

Tepatlah komentar Imam Ibn Abdil Barr dalam kemusykilan ini :

فَقَدْ بَانَ فِي رِوَايَةِ الْبَكَّائِيِّ، وَالثَّوْرِيِّ لِهَذَا الْحَدِيثِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَّعَ ذَلِكَ الْيَوْمَ بِالنَّاسِ، وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ فَرْضَ الْجُمُعَةِ لازِمٌ، وَأَنَّ الرُّخْصَةَ إِنَّمَا أُرِيدَ بِهَا مَنْ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ الْجُمُعَةُ مِمَّنْ شَهِدَ الْعِيدَ مَنْ أَهْلَ الْبَوَادِي، وَهَذَا تَأْوِيلٌ تُعَضِّدُهُ الأُصُولُ، وَتَقُومُ عَلَيْهِ الدَّلائِلُ، وَمَنْ خَالَفَهُ فَلا دَلِيلَ مَعَهُ، وَلا حُجَّةَ لَهُ

“Sungguh telah terang dari riwayat Al Bakka’I dan Sufyan As-Tsauri berkenaan dengan hadits ini, yakni bahwasanya Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam menunaikan shalat jum’at bersama para sahabat pada hari itu. Dan dalam hadits tersebut dalil bahwasanya kewajiban jum’at lazim [tidak gugur], dan bahwasanya rukhshah sesungguhnya bagi mereka yang tidak wajib jum’at atasnya, yang telah menghadiri ied dari kalangan penduduk kampung [ahlul bawaadi]. Pemahaman inilah yang telah dikuatkan oleh nash. Tegak diatasnya dilalah-dilalah yang jelas. Siapa saja yang menyelisihi ketentuan ini maka tidak ada dalil serta hujjah bagi mereka sama sekali.” (At-Tamhid, 10/274)

●  Kalangan ini juga berdalil dengan hadits riwayat An-Nasa’I No. 1590, juga di dalam Al-Kubra (1/552) dengan nomor hadits 1793. Hadits serupa dikeluarkan juga oleh Abu Dawud No. 1070, Ibn Majah No. 1310, dan yang lainnya.

Dari Iyas Ibn Abi Ramlah As-Syami ia berkata,

شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ، قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟، قَالَ: صَلَّى الْعِيدَ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ: «مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ».

Aku menyaksikan Muawiyyah Ibn Abi Sufyan, bertanya kepada Zaid Ibn Arqam. Ia bertanya, “Apakah engkau pernah menyaksikan dua hari raya [jum’at dan ied] saling berkumpul dalam satu hari?”. Zaid menjawab :“Iya”. Muawiyyah bertanya lebih lanjut, “Apa yang Rasulullah perbuat?”. Zaid menjawab : “Ia menunaikan shalat ied, kemudian memberikan keringanan dalam pelaksanaan shalat jum’at dengan berkata, ‘Siapa ingin mengerjakan shalat, maka shalatlah’.”

Sanad hadits ini dha’if karena status Iyas Ibn Abi Ramlah merupakan seorang yang majhul al-hal. (Taqrib At-Tahdzib, hal. 156).

Berkata Abu Bakr Ibn Khuzaimah : “Seandainya hadits ini shahih, maka aku tidak mengetahui status Iyas Ibn Abi Ramlah baik ‘adalah maupun jarh-nya.”

Berkata Imam Adz-Dzahabi di dalam Mizan Al-I’tidal (1052) :

قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: لا يَثْبُتُ هَذَا، فَإِنَّ إِيَاسًا مَجْهُولٌ

“Ibnul Mundzir berkomentar atas hadits ini : Hadits ini tidak tsabit, sebab status Iyas yang majhul.”

Kalau pun kita mengikuti langkah Imam Adz-Dzahabi dalam menerima hadits ini [talaqqa bil qabul] sebab husnuddzan, akan tetapi hadits ini memuat banyak instrument yang kedhaifannya tidak terselamatkan : Pertama. Matan hadits ini munkar. Kedua. Matan hadits ini menyelisihi sumber primer (Al-Qur’an) yang qath’iy tsubut dan qath’iy dilalah. Ketiga. Hadits ini menyelisihi riwayat yang lebih shahih sebagaiman nanti akan dipaparkan.

Imam As-Shan’ani di dalam Subulus Salam menyebutkan bahwa Ibn Khuzaimah men-shahihkan hadits ini. Padahal, Imam Ibn Khuzaimah tidak betul betul memastikan bahwa hadits tersebut shahih.

Terbukti dengan apa yang ditulis oleh Imam Ibn Khuzaimah sendiri di dalam Shahih Ibn Khuzaimah :

بَابُ الرُّخْصَةِ لِبَعْضِ الرَّعِيَّةِ فِي التَّخَلُّفِ عَنِ الْجُمُعَةِ إِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، إِنْ صَحَّ الْخَبَرُ فَإِنِّي لَا أَعْرِفُ إِيَاسَ بْنَ أَبِي رَمْلَةَ بِعَدَالَةٍ وَلَا جَرْحٍ

“Bab tentang Rukhshah bagi SEBAGIAN PENDUDUK untuk tidak menghadiri Shalat Jum’at jika berkumpul shalat ‘ied dengan shalat jum’at dalam satu hari, jika memang haditsnya shahih karena aku tidak mengetahui Iyas Ibn Abi Ramlah berkenaan dengan ‘adalah dan jarh-nya.”

Komentar Imam Abu Ja’far At-Thahawi berkenaan dengan hadits di atas :

أَنَّ الْمُرَادِينَ بِالرُّخْصَةِ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ هُمْ أَهْلُ الْعَوَالِي الَّذِينَ مَنَازِلُهُمْ خَارِجَةٌ عَنِ الْمَدِينَةِ، مِمَّنْ لَيْسَتِ الْجُمُعَةُ عَلَيْهِمْ وَاجِبَةً ; لأَنَّهُمْ فِي غَيْرِ مِصْرٍ مِنَ الأَمْصَارِ , وَالْجُمُعَةُ فَإِنَّمَا تَجِبُ عَلَى أَهْلِ الأَمْصَارِ.

“Sesungguhnya orang-orang yang dimaksud dalam hadits ini –yang mendapat rukhshah untuk meninggalkan shalat jum’at- adalah para penduduk ‘aliyah yang tempat-tempat tinggal mereka berada jauh diluar Madinah. Dimana kewajiban jum’at pun tidak dibebankan atas mereka. Mereka berada di wilayah yang jauh dari pemukiman, padahal ibadah jum’at itu wajib atas mereka yang berada di pemukiman.” (Syarh Musykal Al Atsar, No. 1153)

Juga komentar Imam Ibn Abdil Barr :

وَلَيْسَ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى سُقُوطِ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّمَا فِيهِ دَلِيلٌ أَنَّهُ رَخَّصَ فِي شُهُودِهَا، وَأَحْسَنُ مَا يُتَأَوَّلُ فِي ذَلِكَ أَنَّهُ رُخِّصَ بِهِ لِمَنْ لَمْ تَجِبِ الْجُمُعَةُ عَلَيْهِ مِمَّنْ شَهِدَ ذَلِكَ الْعِيدَ.

“Dan didalamnya tidak terdapat dalil atas gugurnya jum’at. Sesungguhnya yang ada hanyalah dalil bahwasanya Nabi memberikan rukhshah [keringanan] dalam mengahdirinya. Dan sebaik-baik penafsiran atas masalah rukhshah ini ialah : Nabi hanya memberikan rukhshah bagi mereka yang tidak wajib shalat [yang telah datang ke Madinah dari wilayah jauh].” (At-Tamhid, 10/277)

Pernyataan para Ulama Hadits ini sejalan dengan pendapat Imam Syafi’I :

ولا يجوز لأحد من أهل الأمصر أن يدعوا أن يجمعوا, إلا من عذر يجوز لهم به ترك الجمعة, وإن كان يوم عيد

“Maka tidak boleh bagi siapa pun dari penduduk kota untuk meninggalkan shalat jum’at. Dikecualikan bagi mereka yang udzur, maka boleh bagi mereka untuk meninggalkan shalat jum’at, jika bertepatan dengan ‘ied.” (Al-Umm, 1/366).

● Hadits selanjutnya yang dijadikan sebagai dalil adalah hadits riwayat Ibn Majah No. 1312.

حَدَّثَنَا جُبَارَةُ بْنُ الْمُغَلِّسِ قَالَ: حَدَّثَنَا مِنْدَلُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ، ثُمَّ قَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا، وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ

 Telah menceritakan kepada kami Jubarah Ibn Mughallis, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Mindal Ibn Ali, dari Abdil Aziz Ibn Umar, dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar, ia berkata : “Telah berkumpul dua ‘ied pada masa Rasulullaah, maka Nabi mengimami manusia, kemudian berkata : Barangsiapa yang ingin menghadiri shalat jum’at maka hendaknya hadir. Dan barangsiapa yang ingin meninggalkan maka silahkan tidak hadir.”

Syaikh ‘Ali Halawah mengomentari hadits ini :
إسناده ضعيف جدا

“Sanad hadits ini dha’if jiddan [sangat lemah].” (Al-Jaami’ Al-‘Aam fi Fiqh As-Shiyam, hal. 534)

Kami katakan benar, sanad hadits ini dha’if. Sesungguhnya Mindal dan Jubarah [kedua perawi hadits diatas], terkategori dha’if. Bahkan Yahya Ibn Ma’in men-jarh Jubarah dengan tuduhan “pernah berdusta”.  (Al-Jarh wa At-Ta’dil, 4/435; Mizan Al-I’tidal, 4/180; Tahdzib At-Tahdzib, 10/299; Ad-Dhu’afaa, 1/155)

Hadits ini juga dikeluarkan oleh At-Thabrani di dalam Al-Kabir (12/435/13591), dari jalur Sa’id Ibn Rasyid As-Sammak : Telah menceritakan kepada kami Atha Ibn Abi Rabah, dari Ibn ‘Umar ia berkata :

اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمُ فِطْرٍ، وَجُمْعَهٌ، فَصَلَّى بِهِمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِيدِ , ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ قَدْ أَصَبْتُمْ خَيْرًا وَأَجْرًا، وَإِنَّا مُجْمِعُونَ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُجْمِعَ مَعَنَا فَلْيُجْمِعْ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ فَلْيَرْجِعْ

“Telah berkumpul dua ‘ied pada masa Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam pada hari Idul Fithri dan Jum’at. Maka Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam menunaikan shalat ‘ied. Setelah itu beliau menghadap wajah jamaah, dan berkata : Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya kalian telah mendapati kebaikan dan pahala. Dan kami sungguh akan melaksanakan jum’at. Maka barangsiapa yang hendak shalat jum’at maka hendaknya ia shalat jum’at. Dan barangsiapa yang hendak pulang maka hendaklah ia pulang.”

Dan Sa’id Ibn Rasyid As-Sammak, menurut Ibn Ma’in : Haditsnya tidak dianggap. Menurut Imam Bukhari dan Abu Hatim : Munkarul hadits. Menurut An-Nasa’I : haditsnya matruk. (Al-Lum’ah, 1/6)

[3]. Istidlal mereka yang beranggapan bahwa kewajiban shalat jum’at gugur, menurut kami perlu ditinjau. Sebab, di satu sisi mereka mengatakan bahwa lafadz “man” dalam hadits-hadits diatas bersifat umum, mencakup penduduk kota maupun penduduk kampung. Namun, pada kenyataannya mereka sendiri membatasi bahwa lafadz “man” disini sendiri dibatasi hanya bagi mereka yang menghadiri shalat ‘ied. Bagi mereka yang tidak menghadiri ‘ied, menurut mereka, tetap wajib shalat jum’at.

Begitu juga mereka berselisih dalam riwayat Ibnuz Zubair, yang berisi seolah-olah Ibnuz Zubair tidak melaksanakan shalat dzuhur. Sesungguhnya ihtimal-ihtimal tersebut melahirkan ta’wil yang beragam, dan melahirkan kesimpulan yang tidak memuaskan.

Disisi lain, riwayat Ibnuz Zubair sendiri mengandung kecacatan. Riwayat tersebut sebagai berikut :

● Hadits riwayat An-Nasa’I No. 1592, Al-Hakim (1/296), Ibn Khuzaimah No. 1465, dan lainnya.

اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارُ، ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ، ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ

“Telah berkumpul dua hari raya di masa Ibn Zubair. Kemudian ia mengakhirkan keluar [untuk mengimami orang-orang] hingga siang meninggi. Lalu ia keluar dan berkhutbah dengan khutbah yang panjang. Setelah itu ia turun dari mimbar, dan tidak shalat bersama orang-orang pada saat itu shalat jum’at. Kemudian hal ini diceritakan kepada Ibn ‘Abbas dan berkata : Ia telah menunaikan sunnah.”

Hadits ini memiliki dua jalur dari Ibn Zubair :

Pertama, dari Wahb Ibn Kaysan.  Kedua, dari Atha Ibn Abi Rabah. Ibn Abdil Barr menilai hadits ini idhtirab sebab di riwayat Abu Dawud No. 1071 dan 1572 tidak disebutkan ucapan “telah sesuai sunnah”. (At-Tamhid, 1/274).

[4]. Fakta yang ada, bahwasanya Rasulullaah dan Para Sahabat tatkala hari ‘ied bertepatan dengan hari jum’at, mereka tetap melaksanakan shalat jum’at walau telah melaksanakan shalat ‘ied. Tidak ada riwayat yang pasti bahwa Rasulullah meninggalkan shalat jum’at. Riwayat yang pasti justeru menunjukkan bahwa Rasulullaah dan para sahabat tetap shalat jum’at.

Dari An-Nu’man Ibn Basyir radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata :

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ، وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ، قَالَ: وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ، فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلَاتَيْنِ

“Dahulu Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam membaca surat di dalam dua shalat ied dan shalat jum’at dengan ‘sabbihismarabbikal a’la’ dan ‘hal ataaka hadiitsul ghasiyah’. Kemudian An-Nu’man berkata kembali : “Dan jika berkumpul antara ied dan jum’at, di dalam satu hari, Rasulullah membaca kedua surat tersebut di kedua shalat tersebut [ied dan jum’at].” (HR. Muslim No. 878)

[5]. Seandainya pun ada rukhshah, sesungguhnya rukhshah yang ada hanyalah bagi mereka yang tinggal di kampung-kampung yang tidak terdapat jum’at di dalamnya. Fakta tersebut untuk hari ini agak sulit karena masjid-masjid yang ditegakkan jum’at di dalamnya dapat ditemui dimana mana. Hadits yang menerangkan hukum ini shahih.

Hadits yang digunakan hujjah ialah hadits :

 شَهِدْتُ العِيدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الجُمُعَةِ، فَصَلَّى قَبْلَ الخُطْبَةِ، ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ العَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ

“Aku menyaksikan ‘Ied bersama Utsman Ibn Affan. Dan saat itu hari jum’at. Maka Utsman shalat sebelum khutbah, kemudian beliau berkhutbah : Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya hari ini adalah hari dimana telah berkumpul bagi kalian dua ‘ied, maka barangsiapa yang ingin untuk menunggu jum’at dari kalangan ahlul awali, maka tunggulah. Dan barangsiapa yang ingin untuk pulang ke wilayahnya, maka aku telah izinkan.” (HR. Al-Bukhari No. 5572)

Ahlul ‘awali adalah orang-orang yang tinggal di pedalaman pinggiran luar kota Madinah. (An-Nawawi, Al-Majmu’, 6/301)

Menurut Syaikh Ali Jum’ah, ketentuan rukhshah hanya bagi mereka orang-orang kampung merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Utsman dihadapan para sahabat dan para sahabat diam akan hal itu. Bisa dikatakan ini merupakan ijma’ sukuti, atas ketentuan bahwasanya rukhshah bagi kalangan ahlul awali sebagaimana telah diterangkan. Dan Ijma Sahabat [termasuk Ijma’ Sukuti] merupakan dalil syar’I yang disepakati. (Fatawa Darul Ifta’ Mesir, No. 366 Tahun 2006; As-Syakhsiyyah Al-Islamiyyah, 3/314).

[6]. Bagi anda yang mengambil pendapat gugurnya jum’at, maka kami menyarankan untuk tetap melaksanakan shalat jum’at. Itu karena hukum ‘azhimah, tetap lebih baik untuk diambil meski kita memiliki rukhshah [selama hukum azhimah tersebut masih mungkin untuk ditunaikan dan tidak memberatkan]. Dalam hal ini hukum azhimah nya ialah kewajiban shalat jum’at. Tidak ia tinggalkan [meski sudah mendapat rukhshah], sebab tidak ada masyaqqah [kesulitan] apa pun yang merintangi.

Kaidah fiqh berbunyi :

التمسك بالعزيمة أولى من الترخص بالرخصة

“Berpegang pada ‘azhimah [hukum asal] lebih utama ketimbang mengambil rukhshah yang ada.” (Al-Mabsuth, 3/92; Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, 2/471)

Inilah sedikit yang kami pahami. Bahwa kewajiban jum’at sama sekali tidak gugur sebab adanya shalat ‘ied. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahul haadi ila aqwam at-thariq.

🌸🍃 Yuk Sebarkan..

Instagram : www.instagram.com/ngaji_fiqh

Facebook : www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

Blog : www.ngaji-fiqh.blogspot.com

Saturday, July 25, 2020




Seorang ahli hikmah bertutur,

الوٙاجِبٙاتُ أٙكْثٙرُ مِنٙ الأٙوْقٙاتِ

“Kewajiban-kewajiban yang kita pikul lebih banyak dari waktu-waktu yang kita miliki”

Ya. Tanggung jawab serta beban amanah yang kita pikul banyak, sedangkan kesempatan dan waktu kita terbatas.

Karena itu, masih kah kita berpikir untuk berleha-leha dan bermain-main membuang waktu?

Allah Ta’ala berfirman,

فٙإِذٙا فٙرٙغْتٙ فٙانْصٙبْ

“Maka apabila kamu telah selesai [dari satu urusan], kerjakanlah sungguh-sungguh [urusan yang lain].” (QS. As-Syarh [94] : 7)

Al-Imam At-Thobari menafsirkan :

 إن الله تعالى ذكره ، أمر نبيه أن يجعل فراغه من كل ما كان به مشتغلا من أمر دنياه وآخرته ، مما أدى له الشغل به ، وأمره بالشغل به إلى النصب في عبادته ، والاشتغال فيما قربه إليه

“Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi Penyebutan-Nya, memerintahkan Nabi-Nya untuk menjadikan waktu luang nya ia isi dengan kesibukan berupa urusan dunia dan akhirat yang menyebabkan ia sibuk dengannya, dan Allah memerintahkannya untuk sibuk dengan itu hingga ia kemudian bersungguh-sungguh di dalam beribadah kepada-Nya, dan beraktivitas yang mendekatkan diri kepada-Nya” (Tafsir At-Thobari, 24/499)

#JanganMalas
#AyoBeramal
#DuniaSementaraAkhiratSelamanya

Tuesday, July 21, 2020

SHAUM DZULHIJJAH



Mayoritas ulama mensunnahkan shaum di awal dzulhijjah [tanggal 1 sampai 9 dzulhijjah]. Khususnya bagi yang tidak berhaji.

اتفق الفقهاء على استحباب صوم الأيام الثمانية التي من أول ذي الحجة قبل يوم عرفة .... وصرح المالكية والشافعية : بأنه يسن صوم هذه الأيام للحاج أيضا

“Para ahli fikih telah bersepakat tentang dianjurkannya shaum 8 hari pertama dzulhijjah sebelum hari Arafah... bahkan ulama Malikiyah dan Syafiiyah menegaskan kesunnahan shaum pada hari-hari itu bagi para jamaah haji juga.” (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 28/91)

Syaikh Syihabuddin Ar-Ramliy berpendapat :

ويسن صوم الثمانية أيام قبل يوم عرفة ، كما صرح به في "الروضة" سواء في ذلك الحاج وغيره , أما الحاج فلا يسن له صوم يوم عرفة بل يستحب له فطره ولو كان قويا ، اقتداءً بالرسول صلى الله عليه وسلم , وليقوى على الدعاء

“Disunnahkan shaum 8 hari sebelum hari Arafah, sebagaimana  penjelasan dalam kitab Ar-Raudhah, baik bagi jamaah haji atau selainnya. Ada pun jamaah haji maka tidak disunnahkan shaum di hari Arafah [9 Dzulhijjah], malah dianjurkan untuk tidak shaum walau dia kuat sebab dalam rangka mengikuti Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam [yang juga tidak shaum], dan agar ia lebih kuat untuk berdoa.” (Nihayatul Muhtaj, 3/207)

Dalil mereka, antara lain keumuman dalil mengenai beramal di awal dzulhijjah. Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ . فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ، إِلا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

“Tidak ada amal shalih yang lebih dicintai Allah dibandingkan amal shalih yang dilakukan pada 10 hari itu.” Mereka bertanya: “Bagaimana dibandingkan dengan jihad fi sabilillah?” Beliau bersabda: “Tidak pula jihad, kecuali dia berangkat jihad dengan jiwa dan harta lalu  pulang dari jihadnya tidak bawa apa pun dari semua itu.” (HR. At-Tirmidzi No. 757, Ibn Hibban No. 324)

🍃 Bertakbir di Awal Dzulhijjah

Bertakbir sudah boleh dilakukan sejak tanggal 1 Dzulhijjah, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi shallallahu 'alayhi wasallam.

Dalam kitab Shahih Al-Bukhari, disebutkan sebagai berikut :

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا

Dahulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah keluar menuju pasar di hari-hari yg 10 (1 -10 Zulhijjah), mereka berdua bertakbir, dan manusia pun ikut bertakbir menyusul takbir mereka berdua. (Shahih Al Bukhari, 1/39)

Ini juga menjadi pegangan Abdullah Ibn Abbas, beliau menjelaskan tentang tafsir ayat :

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

“Dan mereka mengingat nama Allah dihari-hari yang telah diketahui” (QS. Al Hajj[22]: 28)

Apakah hari-hari yang telah diketahui? Ibnu Abbas  mengatakan:

“Ayyamul ma'lumat adalah Ayyamul 'asyr (10 hari Zulhijjah), sedangkan Ayyamul ma'dudat adalah hari-hari tasyriq.” (Shahih Al Bukhari, 1/39)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alayhi wasallam :

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ، وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِن الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ ، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّحْمِيدِ

“Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah, dan tidak pula lebih dicintaiNya, untuk melakukan amal shalih, selain di 10 hari ini, maka perbanyaklah oleh kalian bertahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad No. 5446, Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman No. 3750, Hadits Shahih)

Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Asqalani, mengutip ucapan Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi :

كان مشايخنا يقولون بذلك أي بالتكبير في أيام العشر

“Dahulu guru-guru kami mengatakan hal itu, yaitu bertakbir di hari-hari sepuluh dzulhijjah tersebut.” (Fathul Bari, 2/458)

🌿 Share

Sunday, July 19, 2020

HUKUM MEMAKAN DAN MENJUAL HASIL QURBAN




Bagaimana kah ketentuan bagi pemilik qurban dalam memakan dan menjual hasil qurban?

Jawaban :

Menurut Syaikh Ali Jum'ah, jika qurban tersebut adalah qurban nadzar, seperti seseorang mengatakan :

"Tahun ini aku berniat berqurban dengan nadzar"

Maka, daging qurban wajib dibagikan seluruhnya. Tidak boleh ia ataupun keluarganya memakan bagian dari qurban tersebut sedikit pun. (Nadzar adalah semacam sumpah dan janji kepada Allaah; jika ia mendapat sesuatu, ia akan melakukan ini dan itu,-pen).

Akan tetapi jika qurban tersebut bukanlah qurban hasil nadzar, misalkan ia memang biasa memotong hewan qurban tiap tahunnya, maka tidak mengapa membaginya menjadi tiga. Sepertiga untuk fakir miskin, sepertiga untuk rekan-rekan, dan sepertiga untuk keluarganya. Seandainya seluruhnya untuk fakir miskin, maka hal itu lebih utama. (Fatawa 'Ashriyyah, hal. 386)

Dalam kitab Al-Mu'tamad fi Al-Fiqh As-Syafi'I, disebutkan bahwa daging qurban tersebut [dari nadzar qurban] beralih kepemilikannya kepada fakir miskin, dan ia terlarang untuk memakan hasil qurbannya tersebut. (Al-Mu'tamad, 2/479)

Kemudian, tidak boleh menjual bagian dari daging qurban maupun kulitnya; baik bertujuan untuk dibagikan kembali maupun tidak.

Ibarot kitabnya :

(ولا يبيع) أي يحرم على المضحي بيع شيء (من الأضحية) أي لحمها أو شعرها أو جلدها

“Dan tidak boleh menjual, maksudnya haram bagi orang yang berqurban, menjual sedikit pun dari hasil qurban, baik dagingnya, bulunya, maupun kulitnya.” (Al-Allamah Ibn Qasim, Fathul Qarib Al-Mujib, 1/314)

Dalilnya adalah, hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda :

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ

“Barangsiapa menjual kulit hasil qurbannya, maka tidak ada qurban baginya”. (Al-Mustadrak 'Ala As-Shahihayn, 2/422)

Begitu pula tidak boleh menjadikan bagian dari qurban sebagai upah bagi si penjagal/tukang sembelih. Sebab, menjadikan nya upah semakna dengan menjual belikannya. Dan menjualbelikan kulitnya [bagian dari qurban] jelas tidak boleh menurut nash. Adapun menjadikannya sebagai sedekah bagi si tukang sembelih, maka tidak mengapa. (lihat, Hasiyah Al-Baijuri, Juz 2/hal. 566-567)

Terdapat riwayat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu :

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk mengurusi penyembelihan unta-untanya dan mensedekahkan daging, kulit, dan bagian punuknya, dan aku diamanahkan untuk tidak memberikan si tukang potong dari hasil potongan itu [sebagai upah].” Ali berkata: “Kami memberikannya dari kantong kami sendiri.” (HR. Muslim No. 1317)

Imam Al-‘Aini mengatakan:

وفيه من استدل به على منع بيع الجلد قال القرطبي وفيه دليل على أن جلود الهدي وجلالها لا تباع لعطفها على اللحم وإعطائها حكمه وقد اتفقوا على أن لحمها لا يباع فكذلك الجلود والجلال

Dalam hadits ini terdapat dalil bagi pihak yang mengatakan terlarangnya menjual kulit. Berkata Al Qurthubi: “Pada hadits ini terdapat dalil  bahwa kulit hewan qurban dan jilal (daging punuk Unta) tidaklah dijual belikan, karena hukum menyedekahkannya itu satu kesatuan dengan daging. Mereka [para ulama] sepakat bahwa daging qurban tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya.” (Al-'Aini, 'Umdatul Qari, 15/254)

Pendapat ulama madzhab Maliki :

“Maka tidak diperbolehkan jual beli kulit hasil qurban akan tetapi boleh bersedekah dengannya atas kaum fakir atau yayasan-yayasan sosial, termasuk mesjid-mesjid dimana mereka lah yang nanti  mengurus jual beli kulit atau dagingnya untuk keperluan fakir miskin [dan bukan oleh si pengurban].” (Syaikh Sufyan Ibn Uwaidah, Ahkam Al-Udhhiyah 'inda Al-Malikiyyah). Wallaahu a'lam.

🍃 Share...
https://chat.whatsapp.com/KBtI3k9HUWCATgtm5hj2DM

Thursday, July 16, 2020

CINTA MESJID




Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

مَن تَطَهَّرَ في بَيْتِهِ، ثُمَّ مَشَى إلى بَيْتٍ مَن بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِن فَرَائِضِ اللهِ، كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إحْدَاهُما تَحُطُّ خَطِيئَةً، وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً.

“Barangsiapa berwudhu di rumahnya, lantas berjalan ke salah satu rumah diantara rumah Allah [mesjid], untuk menunaikan kewajiban diantara kewajiban dari Allah [shalat lima waktu], maka langkah kedua kakinya yang satu menjadi sebab penghapus dosa, dan yang satunya lagi menjadi sebab pengangkat derajat.” (HR. Muslim No. 666)

Yuk ke Mesjid!

Gambar 1 : Masjid Haghia Shopia, Turki
Gambar 2 : Masjid Agung Cianjur, Indonesia

Berhutang untuk Qurban, Bolehkah? Qurban dulu atau Aqiqah dulu?




Pertama-tama kami tegaskan bahwa hendaknya orang yang mampu berqurban, untuk menunaikan qurban.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

مَنْ وَجَدٙ سَعَةً فٙلٙمْ يُضَحِّ فٙلٙا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنٙا

“Barangsiapa memiliki kelapangan harta, namun tidak berqurban; maka janganlah ia sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad No. 8273, Ibn Majah No. 2123. Syaikh Ahmad Syakir mengatakan, “sanadnya hasan”)

Namun, hadits ini diperselisihkan kemarfu’-an nya. Yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini mauquf kepada Abu Hurairah [merupakan perkataan Abu Hurairah, dan bukan perkataan Nabi]. Sebagaimana hal itu diterangkan oleh Al-Baihaqi di dalam Sunan-nya [9/260], dan Syaikhul Islam di dalam Fathul Bari [12/98].

Meski pendapat yang terkuat adalah “qurban itu sunnah”, namun hendaknya orang-orang yang memiliki harta menunaikan ibadah qurban ini. Apalagi di masa-masa sulit seperti sekarang ini, uluran tangan para dermawan sangat dibutuhkan.

Terkait berhutang, hal itu merupakan perkara yang boleh dalam Islam. Kebolehan seorang Muslim untuk berhutang ini [dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh syara']  merupakan pendapat Ijma' serta tidak ada yang berselisih di dalamnya. (Al-Mughni, 4/346; Al-Mabsuth, 14/30). Kebolehan berhutang ini bisa dipahami dari petunjuk nash berikut.

Diriwayatkan dari Abu Rafi’ : bahwasanya Nabi pernah berhutang seekor unta muda. Kemudian dalam suatu waktu Nabi menerima beberapa unta shadaqah. Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam kemudian memerintahkan Abu Rafi’ untuk mengganti unta muda orang yang Nabi hutangi. Abu Rafi’ kemudian kembali menghadap kepada Nabi dan berkata : “Ya Rasulullah, Aku tidak menemukan dari unta unta sedekah itu kecuali unta-unta jantan yang bagus. Lantas Nabi bersabda :

أَعْطِهِ، فَإِنَّ خَيْرَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً

“Berilah ia (dengan unta tersebut). Karena sesungguhnya sebaik baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Muslim, 3/1224)

Karena itu, boleh pula berhutang dalam rangka menunaikan amal sholih, seperti qurban atau haji.

Telah diceritakan dari Imam Sufyan Ats Tsauri tentang Imam Abu Hatim [riwayat lain menyebut Imam Abu Hazim] yang berhutang untuk membeli Unta agar mampu berqurban.

وقال سفيان الثوري: كان أبو حاتم  يستدين ويسوق البُدْن، فقيل له: تستدين وتسوق البدن؟ فقال: إني سمعت الله يقول: { لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ }

Berkata Sufyan Ats Tsauri: Dahulu Abu Hatim berhutang untuk membeli Unta qurban, lalu ada yang bertanya kepadanya: “Anda berhutang untuk membeli unta? Beliau menjawab : Saya mendengar Allah Ta’ala berfirman : Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya [unta-unta kurban tersebut].” (QS. Al-Hajj:36). (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim, 5/426)

Namun yang mesti diperhatikan ialah, ketika dia berhutang dia mesti dalam keadaan yakin mampu membayarnya kelak. Jangan sampai ia terbebani dengan hutangnya ini.

Hutang tersebut juga tidak menambah beban berat hutang lama yang masih banyak dan belum dilunaskan. Sebab, semua ibadah qurban ini memang dianjurkan bagi mereka yang sedang dalam keadaan lapang rezeki dan istitha’ah (mampu).

Dalam salah satu riwayat terdapat atsar dari 'Umar :

وَإِيَّاكُمْ وَالدَّيْنَ فَإِنَّ أَوَّلَهُ هَمٌّ وَآخِرَهُ حَرْبٌ

“Dan berhati-hatilah kalian dengan hutang; sebab hutang awalnya adalah mimpi indah, sedang akhirnya adalah permusuhan.” (Al-Muwaththa’, hadits No. 1470)

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah menceritakan dari Al Harits tentang dialog antara Imam Ahmad bin Hanbal  dan Shalih [putranya] :

وقال له صالح ابنه الرجل يولد له وليس عنده ما يعق أحب إليك أن يستقرض ويعق عنه أم يؤخر ذلك حتى يوسر قال أشد ما سمعنا في العقيقة حديث الحسن عن سمرة عن النبي كل غلام رهينة بعقيقته وإني لأرجو إن استقرض أن يعجل الله الخلف لأنه أحيا سنة من سنن رسول الله واتبع ما جاء عنه انتهى

Shalih –anak laki-laki Imam Ahmad- berkata kepadanya bahwa dia kelahiran seorang anak tetapi tidak memiliki sesuatu buat aqiqah, mana yang engkau sukai berhutang untuk aqiqah ataukah menundanya sampai lapang kondisi keuangannya. Imam Ahmad menjawab : “Sejauh yang aku dengar, hadits yang paling kuat anjurannya tentang aqiqah adalah hadits Al Hasan dari Samurah, dari Nabi bahwa, “Semua bayi  tergadaikan oleh aqiqahnya,” aku berharap jika berhutang untuk aqiqah semoga Allah segera menggantinya karena dia telah menghidupkan sunah di antara sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam dan telah mengikuti apa-apa yang beliau bawa. Selesai. (Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 64)

*Qurban dulu atau Aqiqah dulu?*

Jika ada orang tua memiliki putra yang belum baligh, dan belum diaqiqahi, maka yang utama adalah aqiqah dahulu, setelah itu qurban. Karena, kedua-duanya menurut jumhur adalah sunnah dan berarti boleh mendahulukan yang mana saja. Aqiqah hanya sekali seumur hidup, sedang Qurban bisa tiap tahun. (lihat, Al Mawsu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Bab Aqiqah)

Adapun seseorang yang telah beranjak dewasa, dalam pandangan madzhab Syafi'I boleh ia memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. Pendapat As-Syasi dan Al-Qaffal : Dianjurkan untuk dikerjakan. Pendapat Al Buwaithi : Tidak usah [jika sudah beranjak dewasa]. (Al Mawsu'ah, 30/279).

Karena itu, akhirnya ini pilihan yang tidak ada keutamaan didahulukan diantara keduanya. Boleh aqiqah dulu, atau boleh qurban dahulu. Wallaahu a'lam.

💐 Sebar ilmu, Raup Pahala Besar...

https://chat.whatsapp.com/KBtI3k9HUWCATgtm5hj2DM

Monday, July 13, 2020

DIDIDIK UNTUK LAPAR



TAMAN-TAMAN SUFI #51

Syekh Yusri dalam pengajian Shahih Bukhari-nya menjelaskan, bahwa baginda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mendidik para sahabatnya dengan lapar. Yang dimaksudkan adalah bukan tanpa makan sama sekali, akan tetapi menyudahi makan sebelum kenyang.

Hal ini merupakan sunnah baginda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam sebagaimana hal itu diterapkan kepada ahli baitnya serta para sahabatnya ridhwanullah ‘alayhim. Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :

“قَالَتْ وَلَمَّا فُتِحَتْ خَيْبَرُ قُلْنَا الآنَ نَشْبَعُ مِنَ التَّمْرِ”

Sayyidah Aisyah berkata : “Ketika Khaibar telah tertaklukkan maka kamipun berkata, barulah sekarang ini kami kenyang dari kurma” (HR. Bukhari).

Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha menyatakan hal ini, sebagai seorang istri baginda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, dan ini pula gambaran yang terjadi pada istri-istri baginda Nabi yang lain. Oleh karena itu, sayyyidah Aisyah berkata “ kami”, yaitu para ummahatul mu’minin.

Ternyata hal ini juga diikuti oleh para sahabat, sebagaimana Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata

مَا شَبِعْنَا حَتَّى فَتَحْنَا خَيْبَرَ

“Kita tidak pernah merasakan kenyang hingga kita kalahkan Khaibar” (HR. Bukhari).

Inilah tarbiyah baginda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam untuk para keluarga dan sahabatnya, sehingga mereka menjadi orang-orang yang Allah kehendaki untuk menyebarkan agama Islam di seluruh belahan dunia.

Syekh Yusri menambahkan, bahwa berdasarkan tarbiyyah baginda inilah para mursyid thariqah mendidik murid-muridnya, yaitu dengan menyedikitkan makan. Syekh Yusri juga menambahkan, bahwa diantara tarbiyyah ahli tashawwuf kepada muridnya adalah menyedikitkan makan, tidur, berbicara, dan bergaul.

Baginda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

مَا مَلأَ آدَمِىٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ حَسْبُ الآدَمِىِّ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ غَلَبَتِ الآدَمِىَّ نَفْسُهُ فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ

“Tidaklah anak Adam itu memenuhi wadah yang lebih jelek dari pada perutnya, cukuplah bagi anak Adam beberapa suapan untuk meluruskan tulang punggungnya, maka apabila terpaksa maka sepertiga untuk makannya, sepertiga lagi untuk minumnya, dan yang sepertiga lagi untuk bernafasnya” (HR. Ibnu Majah)

Hal ini juga sebagaimana baginda Nabi katakan kepada seorang dokter yang telah dikirim oleh Al Muqauqis pembesar Mesir pada waktu itu sebagai hadiah kepada baginda atas dakwahnya untuk masuk islam, bahwa:

نَحْنُ قَوْمٌ لَا نَأْكُلْ إِلَا إِذَا جُعْنَا وَإِذَا اَكَلْنَا لَا نَشْبَعْ

“Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali ketika lapar, dan ketika makan tidaklah kenyang “(Kitab Sirah).

Dengan hikmah inilah akhirnya sang dokter pun masuk islam, karena hikmah ini tidaklah keluar kecuali dari lisan seorang Nabi.

Syekh Yusri menambahkan pada pengajian yang lain, bahwa kita sekarang ini berada di alam hikmah, yaitu alam yang berhukum sabab musabbab, dimana Allah menjadikan sesuatu sebagai sebab dari sesuatu yang lain, seperti halnya makan adalah sebab seseorang merasa kenyang, obat sebagai wasilah mendapatkan kesembuhan, dan lain sebagainya.

Dimana orang yang meninggalkan sebab di alam hikmah ini, maka dia adalah orang yang bodoh, dan orang yang mengambil sabab tanpa bersandar kepadanya adalah orang yang berhakekat. Wallahu A’lam

[Diambil dari Telegram Ahbab Syekh Yusri]

Saturday, July 11, 2020

BADAL HAJI




Ustadz Rivaldy.. Badal haji itu mengganti org tua kita dalam haji ya? Bagaimana hukumnya?

Jawaban :

Badal haji disini maksudnya menggantikan seseorang/mewakili seseorang dalam melaksanakan ibadah haji. Syaikh Wahbah Zuhaily menulis dalam Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu (3/2094-2095) :

العبادات أنواع ثلاثة :

أـ عبادة مالية محضة كالزكاة والكفارة وتوزيع الأضاحي: يجوز النيابة فيها بالاتفاق في حالتي الاختيار والضرورة؛ لأن المقصود انتفاع أهلها بها، وذلك حاصل بأي شخص، أصيل أو نائب.
ب ـ عبادة بدنية محضة كالصلاة والصوم: لا تجوز النيابة فيها؛ لأن المقصود وهو إتعاب النفس لا يحصل بالإنابة.
جـ ـ عبادة مركبة ـ بدنية ومالية معاً ـ كالحج: يجوز فيها عند الجمهور (غير المالكية) النيابة عند العجز أو الضرورة؛ لأن المشقة المقصودة تحصل بفعل النفس، وتحصل أيضاً بفعل الغير إذا كان بماله، فهذه العبادة تختلف عن الصلاة باشتمالها على القربة المالية غالباً بالإنفاق في الأسفار.

"Ibadah itu terbagi ke dalam tiga jenis :

a. Ibadah maaliyyah mahdhah [ibadah yang menggunakan harta], seperti zakat, bayar kaffarat, dan pembagian qurban : boleh dilakukan niyabah [perwakilan/badal] untuk jenis ibadah ini sesuai kesepakatan ulama baik dalam keadaan lapang/ikhtiyar maupun darurat.

Sebab, maksud dari ibadah ini adalah tercapainya pemanfaatan orang yang berhak menerima harta dengan harta tersebut [zakat atau lainnya], dan itu bisa dicapai oleh siapapun. Baik oleh dirinya sendiri [bayar sendiri] maupun oleh yang mewakili [dibayarkan].

b. Ibadah badaniyyah mahdhah [ibadah yang menggunakan fisik], seperti shalat dan shaum : tidak boleh diwakilkan/di badal oleh orang lain. Sebab, maksud ibadah ini adalah pembebanan atas gerak diri sendiri. Tidak bisa dicapai dengan perwakilan/badal.

c. Ibadah murakkabah [ibadah gabungan yang menggunakan fisik dan harta], seperti haji : menurut mayoritas ulama [selain ulama madzhab Maliki] boleh di dalamnya dilakukan perwakilan/badal tatkala orang yang diwakili tersebut tidak mampu secara fisik atau tatkala darurat. Sebab, kesulitan yang hendak dicapai [dalam memenuhi ibadah haji ini] bisa di tunaikan oleh dirinya sendiri, atau ditunaikan oleh orang lain dengan biaya dari dirinya sendiri.

Ibadah ini berbeda dengan ibadah shalat, sebab ibadah haji ini mencakup penggunaan harta lebih besar [daripada secara fisik] dalam hal pemenuhan tuntunan syari'at/qurbah. Terutama dalam pemberangkatannya."

Sudah maklum bahwa di antara syarat wajib haji adalah istitha’ah [memiliki kemampuan]. Istitha'ah dalam haji -sebagaimana difatwakan oleh mayoritas shahabat Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam dan para ulama salaf- adalah kemampuan badan dan bekal selama persiapan, keberangkatan, pelaksanaan haji dan kepulangan (Al-Jami Li Ahkam Al-Qur'an, 4/147).

Allah Ta'ala berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا  وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". (QS. Ali Imran [3] : 97).

Hal senada ditegaskan oleh hadits riwayat Ibn 'Umar radhiyallaahu 'anhuma :

قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يُوجِبُ الْحَجَّ؟ قَالَ: «الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ»

Berdiri seorang laki-laki dihadapan Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam, lantas berkata : "Wahai Rasulullah! Apa yang mewajibkan haji?" Rasulullah menjawab : "Bekal dan kendaraan". (HR. Ibn Majah No. 2896)

Ada yang mampu haji secara fisik dan biaya. Maka baginya wajib untuk segera menunaikan ibadah haji. Ada pula yang mampu secara fisik, tapi tidak punya biaya. Maka baginya untuk senantiasa berikhtiar agar Allaah segera memanggil ke Tanah Suci. Tidak boleh dibadal/diwakilkan oleh orang lain selama ia masih mampu secara fisik.

Ada pula yang mampu secara harta, tidak mampu secara fisik. Atau tidak mampu kedua-duanya [baik harta maupun fisik]. Maka untuk orang-orang seperti inilah diperbolehkan mencari badal/wakil untuk memenuhi kewajiban haji nya. Atau sederhananya, mewakilinya dalam ibadah haji agar kewajiban nya berhaji gugur.

Dalam kitab Al-Mu'tamad fi Al-Fiqh As-Syafi'I [2/274-277], dan Syarh Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah [hal. 419-420] tertulis ketentuan-ketentuan dalam badal haji kurang lebih sebagai berikut :

1. Orang yang melakukan badal haji/perwakilan haji ini mesti orang yang telah menunaikan haji [dia sudah haji sebelumnya]. Jika tidak, pelaksanaan haji nya tersebut hanya akan memenuhi kewajiban haji dirinya sendiri, bukan kewajiban haji orang yang dibadali/diwakili.

2. Orang yang melakukan badal haji ini tidak mesti anak kandung, saudara kandung, atau kerabatnya. Orang lain pun boleh membadal haji untuknya, baik dia laki-laki maupun perempuan.

3. Orang yang melakukan badal haji berniat ihram atas nama orang yang dibadali/diwakili.

4. Orang yang dibadal/diwakilkan haji memang secara fisik lemah karena sudah berusia lanjut dan sudah tidak sanggup lagi bepergian [ma'dhub]. Atau, bisa jadi lemah karena punya penyakit kronis dan sudah tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya. Termasuk mereka yang punya penyakit kelumpuhan sehingga tidak bisa bergerak/bepergian dengan kendaraan.

5. Dalil untuk hal ini adalah hadits riwayat Abu Razin Al-'Uqaily radhiyallaahu 'anhu :

أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ الحَجَّ، وَلَا العُمْرَةَ، وَلَا الظَّعْنَ، قَالَ: «حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ»

Bahwasanya ia mendatangi Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam, dan berkata : "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ayahku sudah berusia lanjut dan tidak mampu lagi berhaji, umrah, atau bepergian", Maka Nabi berkata: "Haji dan umrahlah atas nama ayahmu!" (HR. At-Tirmidzi No. 930. Hadits shahih)

6. Orang yang tidak mampu haji secara fisik, namun mampu menyewa jasa seseorang agar menggantikannya naik haji, maka ia wajib menyewa jasa orang tersebut. Jika tidak ada biaya untuk menyewa jasa nya, atau biaya sewa jasa nya melebihi batas kewajaran upah [ujrah mitsl], maka tidak wajib bagi nya haji.

7. Jika ada orang yang mau menjadi badal seseorang dalam haji tanpa biaya, maka orang tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada orang yang dibadali sebelum membadal haji. Termasuk anak terhadap orang tua. Jika sang anak ingin membadal haji orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka terlebih dahulu ia meminta izin terhadap orang tuanya. Sebab, haji memerlukan niat, dan itu ada dalam pemberian izin.

Bahkan jika sang anak merupakan anak yang patuh [al-walad al-muthi'], maka wajib bagi orang tua untuk memerintahkan anaknya menjadi badal haji untuknya. Dengan catatan, sang anak telah memenuhi syarat wajib haji dan sudah pernah berhaji.

8. Jika kemudian orang yang sakit parah ini ternyata sembuh, padahal sudah di badal kan haji, menurut pendapat terpilih badal haji nya batal. Ia wajib berhaji untuk dirinya sendiri. (Lihat, Al-Muhadzdzab, 1/199)

9. Jika ada orang tua sudah berkemampuan berhaji, atau sudah bernadzar untuk haji [haji yang kedua kali ini hukumnya menjadi wajib], namun di dahului wafat, maka ahli warisnya wajib berhaji atas namanya dari harta peninggalannya. Jika tidak ada harta peninggalan, berarti tidak wajib dibadal oleh ahli warisnya. Berbeda dengan pendapat Ibn Hazm, bahwa nadzar wajib ditunaikan oleh ahli waris nya. Baik terdapat harta peninggalan maupun tidak. (lihat, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, 11/585)

Bagaimana jika ada harta peninggalan, namun orang yang wafat tersebut juga memiliki utang terhadap orang lain, padahal sudah mampu untuk haji/bernadzar untuk haji? Menurut pendapat terpilih, di dahulukan badal haji atas namanya ketimbang bayar utang kepada yang lain. Utang terhadap Allah lebih wajib ditunaikan daripada utang kepada yang lain. (lihat, Al-Muhadzdzab, 1/199; Al-Majmu', 7/89)

10. Dalil untuk ini adalah hadits:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اِقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

Dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhuma, bahwasanya seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam, lalu berkata: “Sesungguhnya ibu saya bernadzar untuk berhaji, tetapi ia tidak berhaji sampai meninggalnya. Apakah saya dapat berhaji atas namanya?” Beliau menjawab: “Ya, berhajilah kamu menunaikan nadzar ibumu. Apa pandanganmu jika ibumu mempunyai utang, apakah engkau akan membayarnya? Bayarkanlah (utang) kepada Allah, karena (utang) kepada Allah lebih berhak untuk dipenuhi.” (HR. Al-Bukhari No. 1852).

Demikian. Wallaahu a'lam.

https://chat.whatsapp.com/KBtI3k9HUWCATgtm5hj2DM

Thursday, July 9, 2020

MAHAR TERBAIK



Assalamualaikum ustadz.
Ana mau tanya dalam islam mengucapkan ijab kabul baiknya dilafadz mahar ya apa2 atau seperti orang2 yg bilang yg tersebut tunai.

Dalam khitbah apakah seorang lelaki menyebut uang yg mereka berikan ke pihak kluarga perempuan/hanya kedua calon lelaki/wanita saja yg tau brapa ya.
Dan mahar apa ustadz yg baik dalam islam berupa apa

Syukron ustadz mohon penjelasannya ustadz.

Jawaban :

Waalaykumussalaam warahmatullah wabarakaatuh..

Pertama. Menyebutkan mahar di dalam ijab qabul nikah hukumnya mustahab [dianjurkan].  Di dalam Kifayatul Akhyar, Imam Taqiyuddin Al-Hishni menyebutkan,

وَيسْتَحب تَسْمِيَة الْمهْر فِي النِّكَاح فَإِن لم يسم صَحَّ العقد

“Dan dianjurkan untuk menyebutkan mahar di dalam pernikahan. Kalau pun tidak disebutkan, akad nikahnya tetap sah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 367).

Ini pula yang disebutkan Imam An-Nawawi di dalam Raudhatut Thalibin (7/249).

Di dalam Al-Fiqh Al-Manhaji disebutkan :

يسنّ تسمية المهر ـ أي تحديد مقداره ـ في عقد الزواج، لأن النبي - صلى الله عليه وسلم - لم يُخلِ نكاحاً من تسمية المهر فيه، ولأن في تسميه دفعاً للخصومة بين الزوجين.
وإنما لم يحملوا فعله - صلى الله عليه وسلم - على الوجوب، للاجتماع على جواز إخلاء عقد الزواج من تسمية المهر، وإن كان مع الكراهة، لمخالفة فعل النبي - صلى الله عليه وسلم -.

“Disunnahkan menyebut kan mahar –yakni menggamblangkan berapa kadar mahar dari si mempelai pria- di dalam akad nikah. Sebab, Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam tidak pernah meninggalkan dalam menyebut mahar saat melangsungkan pernikahan. Sebab lainnya : kadang kala penyebutan berapa kadar mahar merupakan cara untuk mencegah munculnya konflik yang mungkin muncul dari kedua mempelai [atau keluarganya].”

Dan bahwa perbuatan Nabi –yang senantiasa menyebutkan mahar- tidak dipahami para ulama sebagai wajib, semata-mata karena menggabungkan dalil dengan dalil bolehnya tidak menyebut mahar. Tentu hal tersebut [tidak menyebutkan mahar] adalah perbuatan makruh, karena menyelisihi apa yang dikerjakan oleh Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam.” (Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imaam As-Syaafi’I, 4/76-77).

Kedua. Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan dan tidak memberatkan [bagi calon suami]. Di dalam kitab Bulughul Marom disebutkan hadits:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم: «خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهُ». أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ

Dari ‘Uqbah Ibn ‘Amir, ia berkata : Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda : “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan” [Khayru as-shadaq aysaruhu]. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, dan di shahihkan oleh Al-Hakim)(Bulughul Marom, 1/317)

Hadits ini menunjukkan bahwa mahar terbaik adalah yang paling ringan. Tentu, setiap orang memiliki kemampuan berbeda-beda dalam memberi mahar. Yang terbaik adalah mahar yang tidak membuat berat dan susah calon suami.

Terkait dengan mahar sendal, terdapat hadits yang menunjukkan demikian.

روى عامر بن ربيعة - رضي الله عنه - عن أبيه أن امرأةً من بني فزارة تزوَّجَت على نعلين، فجيء بها إلى النبيِّ - صلى الله عليه وسلم - فقال لها: ((أرضيتِ من نفسك ومالك بنعلينِ؟))، فقالت: نعم، فأجازه النبيُ - صلى الله عليه وسلم

‘Amir Ibn Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari bapaknya, bahwa seorang perempuan dari Bani Fazarah telah menikah dengan mahar sepasang sendal. Maka ia didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam. Nabi berkata kepadanya, “Apakah engkau ridha menyerahkan diri dan hartamu hanya dengan mahar sepasang sendal?”. Lantas perempuan itu menjawab, “Iya.” Maka Nabi pun menyetujui pernikahan itu. (HR. At-Tirmidzi No. 1113. Imam At-Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan shahih”)

Tidak ada batasan minimal atau maksimal bagi mahar, dan ini adalah pendapat terkuat. Meski, madzhab Hanafi memandang bahwa kadar minimal mahar adalah 10 dirham. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Bab Miqdaar Al-Mahr).

Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam sendiri memberi mahar pada istri-istri nya sebanyak 400 dirham (HR. Ahmad dan An-Nasa’i). Di riwayat yang lain : 500 dirham (HR. Muslim).

1 dirham sama dengan 3,4 gram perak. Berarti, mahar Rasulullaah terhadap istri-istri nya adalah sekitar 1,3 kg perak. Dan mengikuti Rasulullaah dalam hal ini itu lebih utama.

Wallaahu a’lam bisshawab.

🌸🍃 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar..

https://chat.whatsapp.com/KBtI3k9HUWCATgtm5hj2DM

ngaji-fiqh.blogspot.com

HUKUM MENIKAH DENGAN PENGANUT AHMADIYAH




Asw. Ustad yg dimuliakan Allah... Sy bbrp wkt lalu mencoba melamar seorg perempuan. Niatnya menyempurnakan setengah agama.. tapi tiba-tiba sy kaget mendengar dia bilang, “kita ini beda madzhab”. Belakangan sy tahu dia penganut ahmadiyyah. Dalam hal ini sy ingin bertanya, apa hukumnya menikahi perempuan ahmadiyyah?

Jawaban :

Wa’alaykumussalaam warahmatullah wabarakaatuh

Dewan Ulama di berbagai belahan dunia telah menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah-Qodianiyah merupakan aliran sesat dan pengikutnya dinyatakan telah murtad/keluar dari agama Islam. Majma’ Al-Fiqh Al-Islami OKI menyatakan bahwa pengikut aliran Ahmadiyah telah keluar dari agama Islam karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam. Mereka mengingkari keyakinan Islam yang qath’i dan disepakati oleh ulama Islam dari masa ke masa, yakni keyakinan bahwa tiada lagi Nabi setelah kenabian Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam.

Dalam Al-Qur’an disebutkan :

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang diantara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu” (QS. Al-Ahzab [33] : 40)

Allah Ta’ala telah menutup risalah samawiyyah dengan diutusnya Baginda Muhammad. Maka tiada lagi Nabi setelah beliau. Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan,

يريد : لو لم أختم به النبيّين لجعلتُ له ولدًا يكون بعده نبيًّا

“Allah hendak mengatakan : Seandainya aku tidak menutup kenabian dengan diutusnya Muhammad, tentu aku akan jadikan ia memiliki putra laki-laki, sebagai Nabi setelahnya” (lihat, Shafwatut Tafasir, 12/64. Cet. Darul Qur’anil Karim, Beirut)

Dalam hadits juga dinyatakan tiada lagi kenabian setelah kenabian Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam.

... وٙإِنّٙهُ لٙا نٙبِيّٙ بٙعْدِيْ...

“... Dan sesungguhnya tiada lagi Nabi setelahku...” (HR. Al-Bukhari No. 3455)

Ahmadiyah-Qodiyaniyah adalah sebuah kelompok yang namanya dinisbatkan kepada seorang laki-laki bernama Ghulam Ahmad. Ia berasal dari sebuah wilayah di daerah Punjab-India bernama Qodiyan. Ia merupakan seorang keturunan Persia atau Moghul. Dikatakan bahwa kedua orang tua nya berasal dari Samarqand.

Ghulam Ahmad lahir pada tahun 1839 M di Qodiyan. Ia tumbuh dalam keluarga yang sangat loyal terhadap penjajah Inggris, yang memang kala itu menjajah negeri India. Ayah Ghulam Ahmad, yakni Ghulam Murtadho, adalah seseorang yang memiliki hubungan erat dengan penjajah. Tahun 1851 M Ghulam Murtadho [Ayah Ghulam Ahmad] bergabung dengan pasukan Inggris dalam sebuah pertempuran, melawan masyarakat negerinya sendiri. Kelak, pengkhianatan Ghulam Murtadho ini diikuti jejak nya oleh anaknya sendiri, Ghulam Ahmad.

Setelah Ghulam Ahmad beranjak dewasa [dimana ia telah mempelajari banyak buku dalam bahasa Urdu dan Arab, termasuk buku tentang perundang-undangan], ia lantas memperoleh pekerjaan sebagai pegawai negeri di wilayah Silakot. Masa-masa itulah dimana ia menyebarkan buku yang ia karang sendiri : “Barohin Ahmadiyah” yang terdiri dari beberapa jilid. Ia juga mulai menyebarkan ajarannya yang menyimpang pada tahun 1877 M.

Tahun 1885 M ia secara terang-terangan menyatakan diri sebagai pembaharu Islam, kemudian tahun 1891 M ia menyatakan sendiri sebagai Imam Mahdi dan Nabi Isa yang dijanjikan. Ia berkata : “Saya lah Isa Al-Masih, Saya adalah orang yang berbicara dengan Allah, dan Saya adalah Muhammad sekaligus Ahmad”. Dia meyakini bahwa dirinya lebih utama dari seluruh Nabi.

Ghulam Ahmad meninggal dunia pada tanggal 2 Mei 1908 M di kota Lahore, Pakistan dan dimakamkan di wilayah Qodiyan.

Ghulam Ahmad menikam Islam dari dalam, dengan cara pertama-tama menyatakan diri sebagai pembaharu. Kemudian berlanjut dengan pengakuannya sebagai Imam Mahdi dan berakhir dengan pengakuan sebagai seorang Nabi. Ia banyak menyampaikan ajaran yang melemahkan Islam, diantaranya ajaran bahwa jihad telah dihapus di dalam Islam, dan bahwa penjajah Inggris tidak boleh diperangi karena mereka merupakan khalifatullah di muka bumi.

Setelah kematiannya, kesesatan aliran Ahmadiyah-Qodiyaniyah semakin menjadi-jadi melalui ajaran anak Ghulam Ahmad yang juga merupakan khalifah/pengganti ayahnya -bernama Mahmud-, yang menyatakan bahwa diluar pengikut Qodiyaniyah adalah sesat/kafir karena tidak mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Menurut mereka, mengingkari Nabi dan Utusan Allah -sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an- adalah kesesatan. Ahmadiyah-Qodiyaniyah menyatakan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan yang mengingkarinya terkategori sebagai kafir.

Sebetulnya pandangan takfir [mengkafirkan siapa saja yang tidak beriman dengan kenabian Ghulam Ahmad] adalah ajaran Ahmadiyah aliran Qodiyani. Adapun Ahmadiyah aliran Lahore menyatakan bahwa Ghulam Ahmad adalah seorang Al-Mahdi dan mereka yang tidak percaya kepadanya tidak dikatakan sebagai kafir. Persamaan mereka [antara aliran Qodiyani dan Lahore] ialah sama-sama meyakini Ghulam Ahmad menerima wahyu. Dan keyakinan ini telah mengeluarkan mereka, baik aliran Qodiyani maupun Lahore, dari Islam.

Dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 Tentang Aliran Ahmadiyah, ditetapkan bahwa :

1. Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya dinyatakan murtad [keluar dari Islam]

2. Mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah diminta untuk segera kembali ke jalan yang benar [ar-ruju’ ilal haq], kembali ke ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits

3. Pemerintah berkewajiban melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia, melarang seluruh kegiatan mereka dan menutup tempat-tempat kegiatannya.

Fatwa tersebut begitu jelas menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan kelompok yang telah murtad/keluar dari millah Islam. Mereka bukan madzhab atau aliran pemikiran dalam agama Islam, sekalipun lisan-lisan mereka mengatakan bahwa mereka bagian dari Islam.

Jika telah jelas bahwa mereka murtad/keluar dari Islam, maka hukum menikahi laki-laki dan perempuan mereka adalah terlarang dan tidak sah.

Syaikh Wahbah Zuhaily rahimahullah tatkala menjelaskan tentang keharaman menikahi perempuan musyrik, di dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu beliau menjelaskan :

وألحق الحنفية والشافعية وغيرهم المرأة المرتدة بالمشركة، فلا يجوز لأحد أصلًا مسلم أو كافر أن يتزوجها؛ لأنها تركت ملة الإسلام، ولا تقر على الردة، فإما أن تموت أو تسلم، فكانت الردة في معنى الموت، لكونها سببا مفضيا إليه، والميت لا يكون محلًّا للزواج

“Ulama Madzhab Hanafi dan Syafi’I, serta ulama selain mereka memasukkan perempuan murtad [yang keluar dari agama Islam] ke dalam kategori perempuan musyrik. Maka tidak boleh bagi seorang pun pada asalnya -baik muslim maupun bukan muslim- menikahi mereka [yang murtad], sebab ia keluar dari millah Islam, dan itu berarti ia tidak akan dibiarkan dalam kemurtadannya. Pilihannya ia mati [dihukum mati] atau kembali memeluk agama Islam. Oleh karena nya bisa dikatakan kemurtadan itu bermakna ‘kematian’, sebab kemurtadan memang bisa menjadi alasan seseorang dihilangkan nyawanya [dihukum mati]. [Karena ia seharusnya dihukum mati] maka calon mayat itu tidak bisa diikat dalam sebuah pernikahan.” (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 7/151. Cet. Darul Fikr)

Selaras dengan pendapat mereka adalah pendapat Imam Ibn Qudamah Al-Hanbali :

والمرتدة يحرّم نكاحها على أيّ دينٍ كانت؛ لأنّه لم يثبت لها حكم أهل الدين الذي انتقلت إليه في إقرارها عليه، ففي حلِّها أولى

“Perempuan murtad diharamkan untuk dinikahi, ke agama apa pun ia berpindah. Sebab, ia tidak pasti statusnya masuk kategori sebagai pemeluk agama yang ia berpindah kepadanya [statusnya kafir murtad, bukan kafir yang memeluk agama luar Islam dari sejak lahir]. Karena status agamanya ‘tidak jelas/pasti’, tentu lebih-lebih tidak pasti lagi [status kebolehan menikahinya].” (Al-Mughni, 9/548. Cet. Dar Alam Al-Kutub, Riyadh)

Komentar-komentar diatas berkenaan dengan keharaman menikahi perempuan murtad, dan tidak disinggung laki-laki murtad, sebab hukum keharaman menikahkan muslimah dengan non muslim [baik kalangan musyrik, ahlul kitab, maupun murtad] telah jelas disepakati oleh para ulama berdasarkan dalil yang pasti. (Lihat, Tafsir Ibn Katsir, 1/559)

Demikian jawaban ringkas kami. Wallahu a’lam.

https://chat.whatsapp.com/AOMk1cE2xqJJ5fteg2GBbs

Saturday, July 4, 2020



TAMAN-TAMAN SUFI #49

Ibrohim Ibn Adham berkata,

من أراد الراحة فليخرج الخلق من قلبه حتى يستريح

“Siapa saja yang ingin ketenangan jiwa, maka hendaknya ia mengeluarkan makhluk [selain Allah] dari hatinya agar ia merasa tentram” (Siyar As-Salaf As-Shalihin, hal. 477)

Inilah kunci penghilang stress dan rumus kebahagiaan hidup...