Thursday, July 16, 2020

Berhutang untuk Qurban, Bolehkah? Qurban dulu atau Aqiqah dulu?




Pertama-tama kami tegaskan bahwa hendaknya orang yang mampu berqurban, untuk menunaikan qurban.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

مَنْ وَجَدٙ سَعَةً فٙلٙمْ يُضَحِّ فٙلٙا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنٙا

“Barangsiapa memiliki kelapangan harta, namun tidak berqurban; maka janganlah ia sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad No. 8273, Ibn Majah No. 2123. Syaikh Ahmad Syakir mengatakan, “sanadnya hasan”)

Namun, hadits ini diperselisihkan kemarfu’-an nya. Yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini mauquf kepada Abu Hurairah [merupakan perkataan Abu Hurairah, dan bukan perkataan Nabi]. Sebagaimana hal itu diterangkan oleh Al-Baihaqi di dalam Sunan-nya [9/260], dan Syaikhul Islam di dalam Fathul Bari [12/98].

Meski pendapat yang terkuat adalah “qurban itu sunnah”, namun hendaknya orang-orang yang memiliki harta menunaikan ibadah qurban ini. Apalagi di masa-masa sulit seperti sekarang ini, uluran tangan para dermawan sangat dibutuhkan.

Terkait berhutang, hal itu merupakan perkara yang boleh dalam Islam. Kebolehan seorang Muslim untuk berhutang ini [dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh syara']  merupakan pendapat Ijma' serta tidak ada yang berselisih di dalamnya. (Al-Mughni, 4/346; Al-Mabsuth, 14/30). Kebolehan berhutang ini bisa dipahami dari petunjuk nash berikut.

Diriwayatkan dari Abu Rafi’ : bahwasanya Nabi pernah berhutang seekor unta muda. Kemudian dalam suatu waktu Nabi menerima beberapa unta shadaqah. Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam kemudian memerintahkan Abu Rafi’ untuk mengganti unta muda orang yang Nabi hutangi. Abu Rafi’ kemudian kembali menghadap kepada Nabi dan berkata : “Ya Rasulullah, Aku tidak menemukan dari unta unta sedekah itu kecuali unta-unta jantan yang bagus. Lantas Nabi bersabda :

أَعْطِهِ، فَإِنَّ خَيْرَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً

“Berilah ia (dengan unta tersebut). Karena sesungguhnya sebaik baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Muslim, 3/1224)

Karena itu, boleh pula berhutang dalam rangka menunaikan amal sholih, seperti qurban atau haji.

Telah diceritakan dari Imam Sufyan Ats Tsauri tentang Imam Abu Hatim [riwayat lain menyebut Imam Abu Hazim] yang berhutang untuk membeli Unta agar mampu berqurban.

وقال سفيان الثوري: كان أبو حاتم  يستدين ويسوق البُدْن، فقيل له: تستدين وتسوق البدن؟ فقال: إني سمعت الله يقول: { لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ }

Berkata Sufyan Ats Tsauri: Dahulu Abu Hatim berhutang untuk membeli Unta qurban, lalu ada yang bertanya kepadanya: “Anda berhutang untuk membeli unta? Beliau menjawab : Saya mendengar Allah Ta’ala berfirman : Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya [unta-unta kurban tersebut].” (QS. Al-Hajj:36). (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim, 5/426)

Namun yang mesti diperhatikan ialah, ketika dia berhutang dia mesti dalam keadaan yakin mampu membayarnya kelak. Jangan sampai ia terbebani dengan hutangnya ini.

Hutang tersebut juga tidak menambah beban berat hutang lama yang masih banyak dan belum dilunaskan. Sebab, semua ibadah qurban ini memang dianjurkan bagi mereka yang sedang dalam keadaan lapang rezeki dan istitha’ah (mampu).

Dalam salah satu riwayat terdapat atsar dari 'Umar :

وَإِيَّاكُمْ وَالدَّيْنَ فَإِنَّ أَوَّلَهُ هَمٌّ وَآخِرَهُ حَرْبٌ

“Dan berhati-hatilah kalian dengan hutang; sebab hutang awalnya adalah mimpi indah, sedang akhirnya adalah permusuhan.” (Al-Muwaththa’, hadits No. 1470)

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah menceritakan dari Al Harits tentang dialog antara Imam Ahmad bin Hanbal  dan Shalih [putranya] :

وقال له صالح ابنه الرجل يولد له وليس عنده ما يعق أحب إليك أن يستقرض ويعق عنه أم يؤخر ذلك حتى يوسر قال أشد ما سمعنا في العقيقة حديث الحسن عن سمرة عن النبي كل غلام رهينة بعقيقته وإني لأرجو إن استقرض أن يعجل الله الخلف لأنه أحيا سنة من سنن رسول الله واتبع ما جاء عنه انتهى

Shalih –anak laki-laki Imam Ahmad- berkata kepadanya bahwa dia kelahiran seorang anak tetapi tidak memiliki sesuatu buat aqiqah, mana yang engkau sukai berhutang untuk aqiqah ataukah menundanya sampai lapang kondisi keuangannya. Imam Ahmad menjawab : “Sejauh yang aku dengar, hadits yang paling kuat anjurannya tentang aqiqah adalah hadits Al Hasan dari Samurah, dari Nabi bahwa, “Semua bayi  tergadaikan oleh aqiqahnya,” aku berharap jika berhutang untuk aqiqah semoga Allah segera menggantinya karena dia telah menghidupkan sunah di antara sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam dan telah mengikuti apa-apa yang beliau bawa. Selesai. (Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 64)

*Qurban dulu atau Aqiqah dulu?*

Jika ada orang tua memiliki putra yang belum baligh, dan belum diaqiqahi, maka yang utama adalah aqiqah dahulu, setelah itu qurban. Karena, kedua-duanya menurut jumhur adalah sunnah dan berarti boleh mendahulukan yang mana saja. Aqiqah hanya sekali seumur hidup, sedang Qurban bisa tiap tahun. (lihat, Al Mawsu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Bab Aqiqah)

Adapun seseorang yang telah beranjak dewasa, dalam pandangan madzhab Syafi'I boleh ia memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. Pendapat As-Syasi dan Al-Qaffal : Dianjurkan untuk dikerjakan. Pendapat Al Buwaithi : Tidak usah [jika sudah beranjak dewasa]. (Al Mawsu'ah, 30/279).

Karena itu, akhirnya ini pilihan yang tidak ada keutamaan didahulukan diantara keduanya. Boleh aqiqah dulu, atau boleh qurban dahulu. Wallaahu a'lam.

💐 Sebar ilmu, Raup Pahala Besar...

https://chat.whatsapp.com/KBtI3k9HUWCATgtm5hj2DM

No comments:

Post a Comment