Saturday, July 11, 2020

BADAL HAJI




Ustadz Rivaldy.. Badal haji itu mengganti org tua kita dalam haji ya? Bagaimana hukumnya?

Jawaban :

Badal haji disini maksudnya menggantikan seseorang/mewakili seseorang dalam melaksanakan ibadah haji. Syaikh Wahbah Zuhaily menulis dalam Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu (3/2094-2095) :

العبادات أنواع ثلاثة :

أـ عبادة مالية محضة كالزكاة والكفارة وتوزيع الأضاحي: يجوز النيابة فيها بالاتفاق في حالتي الاختيار والضرورة؛ لأن المقصود انتفاع أهلها بها، وذلك حاصل بأي شخص، أصيل أو نائب.
ب ـ عبادة بدنية محضة كالصلاة والصوم: لا تجوز النيابة فيها؛ لأن المقصود وهو إتعاب النفس لا يحصل بالإنابة.
جـ ـ عبادة مركبة ـ بدنية ومالية معاً ـ كالحج: يجوز فيها عند الجمهور (غير المالكية) النيابة عند العجز أو الضرورة؛ لأن المشقة المقصودة تحصل بفعل النفس، وتحصل أيضاً بفعل الغير إذا كان بماله، فهذه العبادة تختلف عن الصلاة باشتمالها على القربة المالية غالباً بالإنفاق في الأسفار.

"Ibadah itu terbagi ke dalam tiga jenis :

a. Ibadah maaliyyah mahdhah [ibadah yang menggunakan harta], seperti zakat, bayar kaffarat, dan pembagian qurban : boleh dilakukan niyabah [perwakilan/badal] untuk jenis ibadah ini sesuai kesepakatan ulama baik dalam keadaan lapang/ikhtiyar maupun darurat.

Sebab, maksud dari ibadah ini adalah tercapainya pemanfaatan orang yang berhak menerima harta dengan harta tersebut [zakat atau lainnya], dan itu bisa dicapai oleh siapapun. Baik oleh dirinya sendiri [bayar sendiri] maupun oleh yang mewakili [dibayarkan].

b. Ibadah badaniyyah mahdhah [ibadah yang menggunakan fisik], seperti shalat dan shaum : tidak boleh diwakilkan/di badal oleh orang lain. Sebab, maksud ibadah ini adalah pembebanan atas gerak diri sendiri. Tidak bisa dicapai dengan perwakilan/badal.

c. Ibadah murakkabah [ibadah gabungan yang menggunakan fisik dan harta], seperti haji : menurut mayoritas ulama [selain ulama madzhab Maliki] boleh di dalamnya dilakukan perwakilan/badal tatkala orang yang diwakili tersebut tidak mampu secara fisik atau tatkala darurat. Sebab, kesulitan yang hendak dicapai [dalam memenuhi ibadah haji ini] bisa di tunaikan oleh dirinya sendiri, atau ditunaikan oleh orang lain dengan biaya dari dirinya sendiri.

Ibadah ini berbeda dengan ibadah shalat, sebab ibadah haji ini mencakup penggunaan harta lebih besar [daripada secara fisik] dalam hal pemenuhan tuntunan syari'at/qurbah. Terutama dalam pemberangkatannya."

Sudah maklum bahwa di antara syarat wajib haji adalah istitha’ah [memiliki kemampuan]. Istitha'ah dalam haji -sebagaimana difatwakan oleh mayoritas shahabat Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam dan para ulama salaf- adalah kemampuan badan dan bekal selama persiapan, keberangkatan, pelaksanaan haji dan kepulangan (Al-Jami Li Ahkam Al-Qur'an, 4/147).

Allah Ta'ala berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا  وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". (QS. Ali Imran [3] : 97).

Hal senada ditegaskan oleh hadits riwayat Ibn 'Umar radhiyallaahu 'anhuma :

قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يُوجِبُ الْحَجَّ؟ قَالَ: «الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ»

Berdiri seorang laki-laki dihadapan Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam, lantas berkata : "Wahai Rasulullah! Apa yang mewajibkan haji?" Rasulullah menjawab : "Bekal dan kendaraan". (HR. Ibn Majah No. 2896)

Ada yang mampu haji secara fisik dan biaya. Maka baginya wajib untuk segera menunaikan ibadah haji. Ada pula yang mampu secara fisik, tapi tidak punya biaya. Maka baginya untuk senantiasa berikhtiar agar Allaah segera memanggil ke Tanah Suci. Tidak boleh dibadal/diwakilkan oleh orang lain selama ia masih mampu secara fisik.

Ada pula yang mampu secara harta, tidak mampu secara fisik. Atau tidak mampu kedua-duanya [baik harta maupun fisik]. Maka untuk orang-orang seperti inilah diperbolehkan mencari badal/wakil untuk memenuhi kewajiban haji nya. Atau sederhananya, mewakilinya dalam ibadah haji agar kewajiban nya berhaji gugur.

Dalam kitab Al-Mu'tamad fi Al-Fiqh As-Syafi'I [2/274-277], dan Syarh Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah [hal. 419-420] tertulis ketentuan-ketentuan dalam badal haji kurang lebih sebagai berikut :

1. Orang yang melakukan badal haji/perwakilan haji ini mesti orang yang telah menunaikan haji [dia sudah haji sebelumnya]. Jika tidak, pelaksanaan haji nya tersebut hanya akan memenuhi kewajiban haji dirinya sendiri, bukan kewajiban haji orang yang dibadali/diwakili.

2. Orang yang melakukan badal haji ini tidak mesti anak kandung, saudara kandung, atau kerabatnya. Orang lain pun boleh membadal haji untuknya, baik dia laki-laki maupun perempuan.

3. Orang yang melakukan badal haji berniat ihram atas nama orang yang dibadali/diwakili.

4. Orang yang dibadal/diwakilkan haji memang secara fisik lemah karena sudah berusia lanjut dan sudah tidak sanggup lagi bepergian [ma'dhub]. Atau, bisa jadi lemah karena punya penyakit kronis dan sudah tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya. Termasuk mereka yang punya penyakit kelumpuhan sehingga tidak bisa bergerak/bepergian dengan kendaraan.

5. Dalil untuk hal ini adalah hadits riwayat Abu Razin Al-'Uqaily radhiyallaahu 'anhu :

أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ الحَجَّ، وَلَا العُمْرَةَ، وَلَا الظَّعْنَ، قَالَ: «حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ»

Bahwasanya ia mendatangi Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam, dan berkata : "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ayahku sudah berusia lanjut dan tidak mampu lagi berhaji, umrah, atau bepergian", Maka Nabi berkata: "Haji dan umrahlah atas nama ayahmu!" (HR. At-Tirmidzi No. 930. Hadits shahih)

6. Orang yang tidak mampu haji secara fisik, namun mampu menyewa jasa seseorang agar menggantikannya naik haji, maka ia wajib menyewa jasa orang tersebut. Jika tidak ada biaya untuk menyewa jasa nya, atau biaya sewa jasa nya melebihi batas kewajaran upah [ujrah mitsl], maka tidak wajib bagi nya haji.

7. Jika ada orang yang mau menjadi badal seseorang dalam haji tanpa biaya, maka orang tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada orang yang dibadali sebelum membadal haji. Termasuk anak terhadap orang tua. Jika sang anak ingin membadal haji orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka terlebih dahulu ia meminta izin terhadap orang tuanya. Sebab, haji memerlukan niat, dan itu ada dalam pemberian izin.

Bahkan jika sang anak merupakan anak yang patuh [al-walad al-muthi'], maka wajib bagi orang tua untuk memerintahkan anaknya menjadi badal haji untuknya. Dengan catatan, sang anak telah memenuhi syarat wajib haji dan sudah pernah berhaji.

8. Jika kemudian orang yang sakit parah ini ternyata sembuh, padahal sudah di badal kan haji, menurut pendapat terpilih badal haji nya batal. Ia wajib berhaji untuk dirinya sendiri. (Lihat, Al-Muhadzdzab, 1/199)

9. Jika ada orang tua sudah berkemampuan berhaji, atau sudah bernadzar untuk haji [haji yang kedua kali ini hukumnya menjadi wajib], namun di dahului wafat, maka ahli warisnya wajib berhaji atas namanya dari harta peninggalannya. Jika tidak ada harta peninggalan, berarti tidak wajib dibadal oleh ahli warisnya. Berbeda dengan pendapat Ibn Hazm, bahwa nadzar wajib ditunaikan oleh ahli waris nya. Baik terdapat harta peninggalan maupun tidak. (lihat, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, 11/585)

Bagaimana jika ada harta peninggalan, namun orang yang wafat tersebut juga memiliki utang terhadap orang lain, padahal sudah mampu untuk haji/bernadzar untuk haji? Menurut pendapat terpilih, di dahulukan badal haji atas namanya ketimbang bayar utang kepada yang lain. Utang terhadap Allah lebih wajib ditunaikan daripada utang kepada yang lain. (lihat, Al-Muhadzdzab, 1/199; Al-Majmu', 7/89)

10. Dalil untuk ini adalah hadits:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اِقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

Dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhuma, bahwasanya seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam, lalu berkata: “Sesungguhnya ibu saya bernadzar untuk berhaji, tetapi ia tidak berhaji sampai meninggalnya. Apakah saya dapat berhaji atas namanya?” Beliau menjawab: “Ya, berhajilah kamu menunaikan nadzar ibumu. Apa pandanganmu jika ibumu mempunyai utang, apakah engkau akan membayarnya? Bayarkanlah (utang) kepada Allah, karena (utang) kepada Allah lebih berhak untuk dipenuhi.” (HR. Al-Bukhari No. 1852).

Demikian. Wallaahu a'lam.

https://chat.whatsapp.com/KBtI3k9HUWCATgtm5hj2DM

No comments:

Post a Comment