Thursday, July 9, 2020

HUKUM MENIKAH DENGAN PENGANUT AHMADIYAH




Asw. Ustad yg dimuliakan Allah... Sy bbrp wkt lalu mencoba melamar seorg perempuan. Niatnya menyempurnakan setengah agama.. tapi tiba-tiba sy kaget mendengar dia bilang, “kita ini beda madzhab”. Belakangan sy tahu dia penganut ahmadiyyah. Dalam hal ini sy ingin bertanya, apa hukumnya menikahi perempuan ahmadiyyah?

Jawaban :

Wa’alaykumussalaam warahmatullah wabarakaatuh

Dewan Ulama di berbagai belahan dunia telah menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah-Qodianiyah merupakan aliran sesat dan pengikutnya dinyatakan telah murtad/keluar dari agama Islam. Majma’ Al-Fiqh Al-Islami OKI menyatakan bahwa pengikut aliran Ahmadiyah telah keluar dari agama Islam karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam. Mereka mengingkari keyakinan Islam yang qath’i dan disepakati oleh ulama Islam dari masa ke masa, yakni keyakinan bahwa tiada lagi Nabi setelah kenabian Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam.

Dalam Al-Qur’an disebutkan :

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang diantara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu” (QS. Al-Ahzab [33] : 40)

Allah Ta’ala telah menutup risalah samawiyyah dengan diutusnya Baginda Muhammad. Maka tiada lagi Nabi setelah beliau. Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan,

يريد : لو لم أختم به النبيّين لجعلتُ له ولدًا يكون بعده نبيًّا

“Allah hendak mengatakan : Seandainya aku tidak menutup kenabian dengan diutusnya Muhammad, tentu aku akan jadikan ia memiliki putra laki-laki, sebagai Nabi setelahnya” (lihat, Shafwatut Tafasir, 12/64. Cet. Darul Qur’anil Karim, Beirut)

Dalam hadits juga dinyatakan tiada lagi kenabian setelah kenabian Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam.

... وٙإِنّٙهُ لٙا نٙبِيّٙ بٙعْدِيْ...

“... Dan sesungguhnya tiada lagi Nabi setelahku...” (HR. Al-Bukhari No. 3455)

Ahmadiyah-Qodiyaniyah adalah sebuah kelompok yang namanya dinisbatkan kepada seorang laki-laki bernama Ghulam Ahmad. Ia berasal dari sebuah wilayah di daerah Punjab-India bernama Qodiyan. Ia merupakan seorang keturunan Persia atau Moghul. Dikatakan bahwa kedua orang tua nya berasal dari Samarqand.

Ghulam Ahmad lahir pada tahun 1839 M di Qodiyan. Ia tumbuh dalam keluarga yang sangat loyal terhadap penjajah Inggris, yang memang kala itu menjajah negeri India. Ayah Ghulam Ahmad, yakni Ghulam Murtadho, adalah seseorang yang memiliki hubungan erat dengan penjajah. Tahun 1851 M Ghulam Murtadho [Ayah Ghulam Ahmad] bergabung dengan pasukan Inggris dalam sebuah pertempuran, melawan masyarakat negerinya sendiri. Kelak, pengkhianatan Ghulam Murtadho ini diikuti jejak nya oleh anaknya sendiri, Ghulam Ahmad.

Setelah Ghulam Ahmad beranjak dewasa [dimana ia telah mempelajari banyak buku dalam bahasa Urdu dan Arab, termasuk buku tentang perundang-undangan], ia lantas memperoleh pekerjaan sebagai pegawai negeri di wilayah Silakot. Masa-masa itulah dimana ia menyebarkan buku yang ia karang sendiri : “Barohin Ahmadiyah” yang terdiri dari beberapa jilid. Ia juga mulai menyebarkan ajarannya yang menyimpang pada tahun 1877 M.

Tahun 1885 M ia secara terang-terangan menyatakan diri sebagai pembaharu Islam, kemudian tahun 1891 M ia menyatakan sendiri sebagai Imam Mahdi dan Nabi Isa yang dijanjikan. Ia berkata : “Saya lah Isa Al-Masih, Saya adalah orang yang berbicara dengan Allah, dan Saya adalah Muhammad sekaligus Ahmad”. Dia meyakini bahwa dirinya lebih utama dari seluruh Nabi.

Ghulam Ahmad meninggal dunia pada tanggal 2 Mei 1908 M di kota Lahore, Pakistan dan dimakamkan di wilayah Qodiyan.

Ghulam Ahmad menikam Islam dari dalam, dengan cara pertama-tama menyatakan diri sebagai pembaharu. Kemudian berlanjut dengan pengakuannya sebagai Imam Mahdi dan berakhir dengan pengakuan sebagai seorang Nabi. Ia banyak menyampaikan ajaran yang melemahkan Islam, diantaranya ajaran bahwa jihad telah dihapus di dalam Islam, dan bahwa penjajah Inggris tidak boleh diperangi karena mereka merupakan khalifatullah di muka bumi.

Setelah kematiannya, kesesatan aliran Ahmadiyah-Qodiyaniyah semakin menjadi-jadi melalui ajaran anak Ghulam Ahmad yang juga merupakan khalifah/pengganti ayahnya -bernama Mahmud-, yang menyatakan bahwa diluar pengikut Qodiyaniyah adalah sesat/kafir karena tidak mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Menurut mereka, mengingkari Nabi dan Utusan Allah -sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an- adalah kesesatan. Ahmadiyah-Qodiyaniyah menyatakan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan yang mengingkarinya terkategori sebagai kafir.

Sebetulnya pandangan takfir [mengkafirkan siapa saja yang tidak beriman dengan kenabian Ghulam Ahmad] adalah ajaran Ahmadiyah aliran Qodiyani. Adapun Ahmadiyah aliran Lahore menyatakan bahwa Ghulam Ahmad adalah seorang Al-Mahdi dan mereka yang tidak percaya kepadanya tidak dikatakan sebagai kafir. Persamaan mereka [antara aliran Qodiyani dan Lahore] ialah sama-sama meyakini Ghulam Ahmad menerima wahyu. Dan keyakinan ini telah mengeluarkan mereka, baik aliran Qodiyani maupun Lahore, dari Islam.

Dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 Tentang Aliran Ahmadiyah, ditetapkan bahwa :

1. Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya dinyatakan murtad [keluar dari Islam]

2. Mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah diminta untuk segera kembali ke jalan yang benar [ar-ruju’ ilal haq], kembali ke ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits

3. Pemerintah berkewajiban melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia, melarang seluruh kegiatan mereka dan menutup tempat-tempat kegiatannya.

Fatwa tersebut begitu jelas menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan kelompok yang telah murtad/keluar dari millah Islam. Mereka bukan madzhab atau aliran pemikiran dalam agama Islam, sekalipun lisan-lisan mereka mengatakan bahwa mereka bagian dari Islam.

Jika telah jelas bahwa mereka murtad/keluar dari Islam, maka hukum menikahi laki-laki dan perempuan mereka adalah terlarang dan tidak sah.

Syaikh Wahbah Zuhaily rahimahullah tatkala menjelaskan tentang keharaman menikahi perempuan musyrik, di dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu beliau menjelaskan :

وألحق الحنفية والشافعية وغيرهم المرأة المرتدة بالمشركة، فلا يجوز لأحد أصلًا مسلم أو كافر أن يتزوجها؛ لأنها تركت ملة الإسلام، ولا تقر على الردة، فإما أن تموت أو تسلم، فكانت الردة في معنى الموت، لكونها سببا مفضيا إليه، والميت لا يكون محلًّا للزواج

“Ulama Madzhab Hanafi dan Syafi’I, serta ulama selain mereka memasukkan perempuan murtad [yang keluar dari agama Islam] ke dalam kategori perempuan musyrik. Maka tidak boleh bagi seorang pun pada asalnya -baik muslim maupun bukan muslim- menikahi mereka [yang murtad], sebab ia keluar dari millah Islam, dan itu berarti ia tidak akan dibiarkan dalam kemurtadannya. Pilihannya ia mati [dihukum mati] atau kembali memeluk agama Islam. Oleh karena nya bisa dikatakan kemurtadan itu bermakna ‘kematian’, sebab kemurtadan memang bisa menjadi alasan seseorang dihilangkan nyawanya [dihukum mati]. [Karena ia seharusnya dihukum mati] maka calon mayat itu tidak bisa diikat dalam sebuah pernikahan.” (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 7/151. Cet. Darul Fikr)

Selaras dengan pendapat mereka adalah pendapat Imam Ibn Qudamah Al-Hanbali :

والمرتدة يحرّم نكاحها على أيّ دينٍ كانت؛ لأنّه لم يثبت لها حكم أهل الدين الذي انتقلت إليه في إقرارها عليه، ففي حلِّها أولى

“Perempuan murtad diharamkan untuk dinikahi, ke agama apa pun ia berpindah. Sebab, ia tidak pasti statusnya masuk kategori sebagai pemeluk agama yang ia berpindah kepadanya [statusnya kafir murtad, bukan kafir yang memeluk agama luar Islam dari sejak lahir]. Karena status agamanya ‘tidak jelas/pasti’, tentu lebih-lebih tidak pasti lagi [status kebolehan menikahinya].” (Al-Mughni, 9/548. Cet. Dar Alam Al-Kutub, Riyadh)

Komentar-komentar diatas berkenaan dengan keharaman menikahi perempuan murtad, dan tidak disinggung laki-laki murtad, sebab hukum keharaman menikahkan muslimah dengan non muslim [baik kalangan musyrik, ahlul kitab, maupun murtad] telah jelas disepakati oleh para ulama berdasarkan dalil yang pasti. (Lihat, Tafsir Ibn Katsir, 1/559)

Demikian jawaban ringkas kami. Wallahu a’lam.

https://chat.whatsapp.com/AOMk1cE2xqJJ5fteg2GBbs

No comments:

Post a Comment