Tuesday, April 28, 2020

Seri Fiqh Ramadhan - 5 : SEPUTAR SAHUR




☘ Makan Sahur

Ada yang mesti diluruskan dalam pengistilahannya. Sahur [السَّحُوْر], dengan huruf sa - berarti makanan yang dimakan di waktu sahar [akhir sepertiga malam].

Adapun aktivitas makan nya, disebut Suhur [السُّحُوْر]. Waktunya, disebut waktu sahar [السَّحَر]

Di dalam Al-Fiqh Al-Manhaji 'Ala Madzhab Al-Imam As-Syafi'I (2/88) disebutkan,

والسحور يفتح السين ما يؤكل في السحر، وبضم السين: الأكل

“Dan sahur, dengan huruf sin yang di fathah [sa], makna nya adalah apa yang dimakan di waktu sahar. Dan dengan sin yang di dhommah [su], makna nya aktivitas makan.”

Dalil disukainya makan sahur [makanan saat suhur], adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1823) dan Muslim (1095) bahwasanya Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Bersuhurlah, karena di dalam makanan sahur ada keberkahan”

Bahkan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Hibban di dalam Shahih-nya :

“Bersuhurlah kalian, walau dengan seteguk air.” (Mawarid Ad-Dzom'an, 884)

Makan sahur adalah aktivitas sunnah yang tidak dikerjakan Ahlul Kitab. Mereka shaum tanpa suhur.

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الكِتَابِ، أَكْلَةُ السَّحَرِ

“Pembeda antara shaum kita dengan shaum Ahli Kitab adalah makan sahur” (HR. Muslim No. 1096, Dari Amr Ibn Al-Ash)

Dalam hadits juga disebutkan,

عٙلٙيْكُمْ بِغٙدٙاءِ السَّحُوْرِ ، فإنَّه هُوٙ الغَدٙاءُ المُبٙارَكُ

“Hendaknya kalian [menyantap] makanan sahur, karena sesungguhnya ia adalah santapan yang diberkahi/al-ghoda al-mubaarak” (HR. An-Nasa’i No. 2164. Hadits Shahih)

🍁 Ta'khir As-Suhur [Mengakhirkan Waktu Makan Sahur]

Hal itu dengan cara makan di akhir waktu suhur, sebelum terbit fajar. Boleh mengerjakan Tahajjud [menurut sebagian pendapat], atau mengerjakan sholat lain sebagai bentuk taqorrub ilallaah [mendekatkan diri kepada Allaah].

Dalam istilah kita ada Imsak, maka hal itu dapat menjadi tolok ukur sebagai kesiapan kita kapan terakhir harus selesai. Walaupun, batas akhirnya sampai selesai adalah adzan shubuh.

Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

لَا تَزَال أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الإِفْطَار وَ أَخَّرُوْا السُّحُور

“Ummatku akan senantiasa dalam kebaikan, selama menyegerakan berbuka, dan mengakhirkan suhur” (HR. Ahmad [5/147])

Dari Anas Ibn Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam dan Zaid Ibn Tsabit makan sahur. Tatkala selesai dari suhurnya, Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam berdiri dan menegakkan sholat. Kami bertanya pada Anas :

“Berapa lamakah antara selesainya suhur mereka berdua, dengan masuk sholat shubuh?”. Anas menjawab : “Waktunya kira-kira seperti seorang laki laki membaca 50 ayat AlQur'an”. (HR. Al-Bukhari No. 556)

Inilah mungkin, yang disebut sebagai waktu imsak [waktu jeda sebelum fajar], dan menjadi dalil bolehnya sholat tahajjud atau sholat malam yang lain, di waktu suhur.

🍁 Perbanyak Doa dan Istighfar di waktu suhur

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb kita Tabaroka wa Ta’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Dia berfirman, “Siapa saja yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR. Al-Bukhari No. 1145, Muslim No. 758).

Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan hadits di atas dengan berkata, “Doa dan istighfar di waktu sahar adalah  diijabahi [dikabulkan]” (Fathul Bari, 3/32).

Hal di atas dikuatkan dengan firman Allah Ta’alaa,

وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

“Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahar.” (QS. Ali Imran: 17).

Wallaahu a'lam.

🌸🍃 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar..

Instagram : www.instagram.com/ngaji_fiqh

Sunday, April 26, 2020

Seri Fiqh Ramadlan - 4 : Hal-Hal yang Membatalkan Shaum



🌱 1. Makan dan Minum dengan sengaja

Jika seseorang makan karena lupa, khilaf atau terpaksa; maka tidak wajib baginya qodlo dan kifarat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

مَنْ نَسِيَ ، وَهُوَ صَائِمٌ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ؛ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللّٰه وَ سَقَاهُ

"Barangsiapa lupa, padahal ia shaum, kemudian makan dan minum, maka hendaklah ia tetap sempurnakan shaumnya. Sesungguhnya Allaah telah memberinya makan dan minum". (HR. Bukhari [3/40], Muslim No. 171, At-Tirmidzi No. 721, dan ia berkata, "hadits hasan shohih")

Rasulullaah juga bersabda,

مَنْ أَفْطَرَ فِيْ رَمَضَان نَاسِيًا، فَلَا قَضَاء عَلَيْهِ، وَ لَا كَفَّارَة

"Barangsiapa yang berbuka karena lupa, maka tidak wajib baginya qodlo, atau kifarat". (HR. Al-Bayhaqi No. 8074. Ibn Hajar berkata : sanadnya shohih)

Madzhab Hanafi dan Maliki memandang, seseorang yang makan dan minum di bulan Ramadhan tanpa udzur dan dengan sengaja, wajib baginya qodlo dan kifarat. Double. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 60/28)

🌱 2. Muntah dengan sengaja [al qoy-u 'amdan/القَيْءُ عَمْدًا ]

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, Rasullullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

مَنْ ذَرَعَهُ القَيْءُ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاء، وَمَنْ اسْتَقَاءَ عَمْدًا، فَلْيَقْضِ.

“Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya qodlo [jika sedang shaum]; namun yang muntah dengan sengaja, maka wajib baginya qodlo.” (HR. Ahmad No.10463, At-Tirmidzi No. 720. Dishahihkan oleh Al Hakim)

🌱 3. Haidl dan Nifas

Dari Mu'adzah, ia berkata : Aku bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

“Mengapa haidl mengharuskan seorang perempuan meng-qodlo shaumnya, tapi tidak meng-qodlo sholatnya?.”

Ibunda ‘Aisyah menjawab,

كَانَ يُصِيْبُنَا ذلك مع رسول الله، فنؤمر بقضاء الصوم، و لا نؤمر بقضاء الصلاة.

“Hal itu [haidl] pernah  menghinggapi kami tatkala bersama Rasulullaah, dan kami diperintahkan untuk meng-qodlo shaum, tetapi tidak diperintahkan untuk meng-qodlo sholat.” (HR. Al-Bukhari [1/88], Muslim No. 69, At-Tirmidzi No. 130)

🌱 4. Berlezat-lezat hingga keluar mani [al Istimna/الإستمناء]

Maksudnya, jika keluar mani disebabkan suami mencium istrinya, atau memeluk serta merabanya, maka batal shaumnya dan wajib qodlo.

Termasuk dalam hal ini onani/masturbasi; dengan tangan sendiri, tangan istrinya atau dengan alat-alat. Itu semua membatalkan shaum dan mewajibkannya qodlo. (lihat, Kifayatul Akhyar, Kitab As-Shiyam, Hal. 202)

Menurut madzhab Maliki, tidak hanya wajib qodlo, namun juga wajib kifarat. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 28/32)

Adapun keluar mani sebab khayalan atau sekedar memandang, maka tidak membatalkan shaum. Tapi tentu akan merusak pahala shaum, jika sengaja.

🌱 5. Memasukkan barang apapun ke dalam bagian lubang dalam tubuh, seperti telinga, hidung, dubur dan qubul.

Termasuk diantaranya merokok, atau ihtiqon [berobat dengan memasukkan sesuatu ke dalam dubur] menurut mayoritas 'ulama membatalkan shaum. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 38/28)

Maksudnya membatalkan shaum, jika memasukkan benda [cair/padat/uap] melalui hidung, telinga, qubul atau dubur; hingga masuk ke dalam perut, otak atau kerongkongan.

Adapun memasukkan benda ke bagian luar/permukaan dari lubang-lubang tadi, maka tidak termasuk hal yang membatalkan shaum [seperti menggunakan obat kumur
-kumur, pembersih telinga, pembersih hidung, dll].

🌱 6. Niat membatalkan shaum

Meski tidak makan dan minum, namun jika ia berniat membatalkan shaumnya, maka batallah shaumnya. Sebab, niat adalah rukun shaum. (Fiqh As-Sunnah, Hal. 527); dan niat bagian dari amal, sebagaimana hadits riwayat 'Umar “Sesungguhnya amal tergantung niatnya.” (lihat, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 61/28)

🌱 7. Jima' [berhubungan badan] dengan sengaja. Tidak hanya wajib qodlo, namun juga wajib kifarat

Adapun mereka yang berhubungan badan karena lupa [sahwan], maka shaumnya batal dan hanya wajib qodlo. Baik suami atau istrinya.

Untuk mereka yang berjima' dengan sengaja, qodlo dan kifarat. Baik laki laki [suami] maupun perempuan [istri]. Hal ini berdasarkan hadits, Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

"Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka !” Beliau menjawab,”Ada apa denganmu?” Dia berkata, “Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.” [Dalam riwayat lain berbunyi : aku berhubungan dengan istriku di bulan Ramadlan]. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam berkata, “Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?” Dia menjawab, “Tidak!” Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab, “Tidak.” Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi : “Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab, “Tidak.” Lalu Rasulullah diam sebentar.

Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam diberi satu ‘aroq berisi kurma –Al aroq adalah alat takaran- (maka) Beliau berkata: “Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab, “Saya orangnya.” Beliau berkata lagi: “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata: “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian [Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam] berkata “Berilah makan keluargamu!”. (Muttafaq 'Alayhi).

🌱 8. Murtad [Keluar dari agama Islam]. Baik dengan ucapan maupun tindakan.

Al-Imam Ibn Qudamah rahimahullah menulis :

 لَا نَعْلَمُ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ خِلَافًا فِي أَنَّ مِنْ ارْتَدَّ عَنْ الْإِسْلَامِ فِي أَثْنَاءِ الصَّوْمِ، أَنَّهُ يَفْسُدُ صَوْمُهُ، وَعَلَيْهِ قَضَاءُ ذَلِكَ الْيَوْمِ، إذَا عَادَ إلَى الْإِسْلَامِ. سَوَاءٌ أَسْلَمَ فِي أَثْنَاءِ الْيَوْمِ، أَوْ بَعْدَ انْقِضَائِهِ، وَسَوَاءٌ كَانَتْ رِدَّتُهُ بِاعْتِقَادِهِ مَا يَكْفُرُ بِهِ، أَوْ شَكِّهِ فِيمَا يَكْفُرُ بِالشَّكِّ فِيهِ، أَوْ بِالنُّطْقِ بِكَلِمَةِ الْكُفْرِ، مُسْتَهْزِئًا أَوْ غَيْرَ مُسْتَهْزِئٍ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ} [التوبة: 65] {لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ} [التوبة: 66] . وَذَلِكَ لِأَنَّ الصَّوْمَ عِبَادَةٌ مِنْ شَرْطِهَا النِّيَّةُ، فَأَبْطَلَتْهَا الرِّدَّةُ، كَالصَّلَاةِ وَالْحَجَّ، وَلِأَنَّهُ عِبَادَةٌ مَحْضَةٌ، فَنَافَاهَا الْكُفْرُ، كَالصَّلَاةِ

“Kami tidak mengetahui ada khilaf/perselisihan di kalangan ahli ilmu bahwasanya orang yang murtad [keluar dari agama Islam] di waktu ketika ia shaum, maka shaumnya fasad [rusak]. Dan wajib baginya untuk mengqodlo shaum tersebut jika ia kembali memeluk agama Islam. Baik dia kembali menjadi muslim pada hari itu juga atau setelah hari itu. Kemurtadannya ini baik berupa keyakinannya yang dapat menyebabkan kekufuran, atau karena keragu-raguannya yang keragu-raguan nya itu merupakan sebab kekufuran. Atau ia mengucapkan suatu ucapan yang menghantarkan pada kekafiran, baik itu guyonan atau bukan guyonan. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

‘Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ (QS. At-Taubah [9]:65)

لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman... (QS. At-Taubah [9] : 66)

Hal itu [kemurtadan dapat membatalkan shaum] karena shaum merupakan ibadah yang salah satu syaratnya adalah niat. Kemurtadan membatalkan niatnya tersebut, seperti shalat dan haji.

Dan juga karena shaum merupakan ibadah mahdhoh, maka akan ternafikan dengan wujudnya kekufuran dalam hati, sebagaimana sholat.” (Al-Mughni, 3/133)

🌸🍃 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar...

ngaji-fiqh.blogspot.com

Saturday, April 25, 2020

Seri Fiqh Ramadhan - 3: Betapa Istimewanya Ramadhan



 Anas Ibn Malik radhiyallaahu 'anhu telah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda : "Sesungguhnya dinamakan Ramadhan karena dia memanaskan  dosa-dosa, yaitu membakarnya dan menghapuskannya.” (Al Hawi Al Kabir, 3/854)

🍂 Shaum Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

"Barangsiapa yang shaum Ramadhan karena iman dan berharap ridla dari Allaah,  maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu." (HR. Bukhari No. 38, 1910, 1802. Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 3459)

Makna ‘diampuninya dosa-dosa yang lalu’ adalah dosa-dosa kecil, sebab dosa-dosa besar –seperti membunuh, berzina, mabuk, durhaka kepada orang tua, sumpah palsu, dan lainnya- hanya bisa dihilangkan dengan taubat nasuha, yakni dengan menyesali perbuatan itu, membencinya, dan tidak mengulanginya sama sekali.

🍂 Diampuni dosa di antara Ramadhan ke Ramadhan

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda :

الصلوات الخمس. والجمعة إلى الجمعة. ورمضان إلى رمضان. مكفرات ما بينهن. إذا اجتنب الكبائر

“Shalat yang lima waktu, dari jumat ke jumat, dan ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus dosa di antara mereka, jika dia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim No. 233. Ahmad No. 9198)

🍂 Dibuka Pintu Surga, Dibuka pintu Rahmat, Dibuka pintu langit,  Ditutup Pintu Neraka, dan Syetan dibelenggu

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

إِذَا جَاءَ رَمَضَان فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِين
         
 "Jika datang Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu syurga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dibelenggu." (HR. Bukhari No. 1800. Muslim No. 1079.  Malik No. 684. An Nasa’I No. 2097)

🍂 Untuk Orang yang Shaum akan dimasukkan ke dalam syurga melalui pintu Ar Rayyan

Dari Sahl radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda :

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di syurga ada pintu yang disebut Ar Rayyan, darinyalah orang-orang yang shaum masuk syurga pada hari kiamat. Tak seorang pun selain mereka  masuk lewat pintu itu. Akan ditanya: “Mana orang-orang yang shaum? Maka mereka berdiri, dan tidak akan ada yang memasukinya kecuali  mereka. Jika mereka sudah masuk, maka pintu itu ditutup dan tak ada yang memasukinya seorang pun.” (HR. Bukhari No. 1797, 3084. Muslim No. 1152. An Nasa’I No. 2273)

🍂 Sedekah di Bulan Ramadhan

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

“Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah orang yang paling gemar bersedekah. Semangat beliau dalam bersedekah lebih membara lagi ketika bulan Ramadhan tatkala itu Jibril menemui beliau. Jibril menemui beliau setiap malamnya di bulan Ramadhan. Jibril mengajarkan Al-Qur’an kala itu. Dan Rasul shallallahu ‘alayhi wasallam adalah yang paling semangat dalam melakukan kebaikan bagai angin yang bertiup.” (HR. Bukhari No. 3554, Muslim No. 2307)

🍂 Banyak peristiwa penting terjadi di Bulan Ramadhan

Tercatatlah sejumlah peristiwa penting pada bulan Ramadhan. Tujuh belas bulan setelah Hijrah, Nabi mengirim detasemen Hamzah yang membawa bendera pertama yang diserahkan oleh Rasulullaah. Detasemen ini dikirim untuk menghadang rombongan kaum Quraisy yang datang dari Syam menuju ke Makkah.

Perang Badar Kubra yang disebut dalam Al Qur’an sebagai Yaum Al-Furqan [Hari Pembeda] meletus pada Hari Jum’at, 17 Ramadhan 2 H. Jumlah pasukan kaum Muslim saat itu hanya 313, terdiri dari 1 menunggang kuda, sisanya jalan kaki. Tercatat 14 di antara mereka sebagai syuhada’ Badr. Sementara pasukan kaum Kafir Quraisy berjumlah 1000 orang; 80 orang pasukan berkuda, sisanya jalan kaki; 70 orang gugur, 70 lainnya menjadi tawanan perang. Dalam peristiwa ini, pasukan kaum Muslim dibantu oleh 5000 malaikat (QS. Ali ‘Imran [03]: 125).

Di bulan suci ini pula, Rasulullah dan para sahabat berhasil menaklukkan kota Makkah, tepatnya pada bulan Ramadhan 8 H. Penaklukan kota Makkah ini juga disebut penaklukan agung (al-fath al-a’dzam). Kaum Kafir Quraisy pun berbondong-bondong masuk Islam, termasuk Abu Sufyan dan para pemuka Kafir Quraisy.

Pada saat itulah, turun perintah untuk menghancurkan berhala dari sekitar Ka’bah. Karena itu, bulan Ramadhan juga dikenal sebagai syahru al-jihad wa al-intishar [bulan Jihad dan Kemenangan].

🌸🍃 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar..

https://chat.whatsapp.com/ICMH2s3kgAk77Z0IhCN24F

SUDAH ADZAN SHUBUH KOK MASIH MAKAN MINUM?




Sebagaimana diketahui bahwasanya aktivitas makan sahur adalah sunnah yang membedakan shaum kita dengan shaumnya orang yahudi. Tentu saja selain karena memenuhi sunnah Sayyiduna Rasulullah, makan sahur ini mengandung faidah yang banyak, terutama terkait ketahanan fisik dalam menjalani shaum.

Bisa jadi itulah alasan mengapa Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam memerintahkan kita untuk mengakhirkan makan sahur. Agar waktu shaum kita lebih pendek. Akhir batas sahur ini yang perlu kita bahas karena banyak manusia keliru dalam memahaminya.

*Batas Akhir Waktu Makan Sahur Adalah Adzan Shubuh, dan Imsak Sebagai Peringatan Bahwa Shubuh Akan Segera Menjelang*

Allaah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَـكُمُ الْخَـيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَـيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“..dan makan minumlah hingga nyata bagimu benang putih dari benang hitam berupa fajar” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)


Ayat ini menunjukkan larangan atas makan minum jika telah terbit fajar, dengan penampakan "benang putih dari benang hitam" yang ada di angkasa.

Syaikh Sayyid Thantawi rahimahullah menafsirkan :

والمقصود من الخيط الأبيض: أول ما يبدو من الفجر الصادق المعترض في الأفق قبل انتشاره. والمقصود من الخيط الأسود: ما يمتد مع بياض الفجر من ظلمة الليل

“Dan maksud dari benang putih: Penampakan awal dari cahaya fajar shodiq/shubuh yang memanjang sepanjang ufuk sebelum benar-benar memancar luas di angkasa. Dan adapun maksud benang hitam: apa-apa yang menyelimuti langit beserta semburat cahaya fajar berupa gelapnya malam.” (At-Tafsir Al-Wasith, 1/396)

Ketentuan tersebut dikuatkan dengan riwayat hadits : Dari 'Aisyah, bahwasanya Bilal dahulu senantiasa adzan ketika malam, maka berkata Rasulullaah,

« كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الفَجْرُ »

“Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan Adzan. Karena sesungguhnya dia tidak mengumandangkan adzan hingga fajar terbit [waktu shubuh].” (HR. Al-Bukhari No. 1918, 1919)

Ummat Islam pada saat itu tidak diperbolehkan makan minum ketika Ibnu Ummi Maktum telah mengumandangkan adzan. Perlu diketahui bahwa di masa Nabi, terdapat dua adzan di waktu akhir malam. Adzan awal dikumandangkan oleh Bilal, dan adzan kedua dikumandangkan oleh Ibnu Ummi Maktum. Adzan Bilal hanya berfungsi sebagai peringatan [tanbih] untuk mengerjakan qiyamul layl; sedangkan adzan nya Ibnu Ummi Maktum menjadi pertanda masuk waktu shubuh. Adzan nya Bilal saat fajar kadzib, dan adzan nya Ibnu Ummi Maktum saat fajar shodiq. Dari Ibn 'Umar, bahwasanya Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

إنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ

“Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari [adzan pertama], maka kalian masih boleh makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum adzan [adzan kedua atau adzan untuk shalat Subuh]”. (Muttafaq ‘Alayh)

Berkata Imam An-Nawawi rahimahullaah dalam masalah ini :

“Berkata para ulama madzhab kami : Fajar itu ada dua, yang pertama disebut Fajar Awwal [fajar pertama], atau Fajar Kadzib. Dan yang kedua disebut Fajar Tsani [fajar kedua], atau Fajar Shodiq. Maka fajar awwal itu muncul membentuk panjang garis di angkasa seperti ekor serigala. Kemudian menghilang selama beberapa saat dan setelah itu muncul fajar tsani /fajar shodiq yang sinarnya merata, yakni menyebar secara merata di ufuk.

Berkata ulama madzhab kami : Dan hukum-hukum seluruhnya berkaitan dengan fajar tsani [fajar kedua]. Di dalamnya masuk waktu shalat shubuh; keluarnya dari waktu shalat Isya; masuknya awal shaum; mulai terlarangnya makan minum bagi orang yang shaum; dan dengan nya berakhir malam serta bermulainya siang. Tidak ada kaitan sama sekali antara fajar awwal dengan hukum apa pun berdasarkan ijma' kaum muslimin.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3/44)

Kesimpulannya, makan dan minum saat adzan shubuh [fajar tsani/fajar shodiq] berkumandang, bagi yang berniat shaum hukumnya haram. Karena waktu itu adalah waktu dimana makan dan minum sudah terlarang.

Muncul pertanyaan, bagaimana dengan hadits riwayat Abu Dawud yang memperbolehkan makan dan minum, meski adzan berkumandang?

Haditsnya :

«إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ»

“Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dalam kondisi bejana [air minum] masih berada di tangannya, jangan diletakkan sampai dia menunaikan hajatnya darinya [meminumnya]”. (HR. Abu Dawud No. 2350, Ahmad No. [2/423])

Seolah-olah pada saat adzan berkumandang, orang yang shaum masih boleh untuk makan dan minum.

Jawaban bagi kemusykilan ini ialah :

(1).  Hadits ini dianggap mengandung ‘illah (kecacatan). Atau, oleh para ulama pemahaman nya di giring dan diselaraskan dengan ayat Al-Qur’an dan hadits shahih yang lain. Sebagaimana hadits tersebut, beberapa riwayat serta atsar sahabat yang menggambarkan seolah-olah para sahabat mengabaikan adzan shubuh dan mengambil tindakan yang bertolak belakang dengan ayat: “makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam berupa fajar” (QS. 2: 187), juga di selaraskan dengan dalil lain agar tidak rancu.

Para ‘ulama tidak sembarangan dalam menghasilkan sebuah kesimpulan hukum. Semua dalil dan nash yang ada diakomodir untuk kemudian di gali dan dipahami secara mendalam.

Syaikh Muqbil Ibn Hadi Al-Wadi’iy memasukkan hadits tersebut ke dalam kitab nya, Ahaadits Mu’allah Dzahiruha As-Shihhah [Hadits-hadits yang mengandung ‘illah/cacat yang penampakan dzahirnya shahih] (hal. 437, No. Hadits 468).

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya; dari Hammad, dari Muhammad Ibn Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan lafadz sebagaimana di atas.

Hadits ini dianggap cacat oleh Ibnul Qaththan karena ketersambungan sanadnya diragukan. Imam Ahmad mengeluarkan hadits ini di dalam Musnad-nya (2/510), dan Hakim di dalam Al-Mustadrak (1/203), serta Al Bayhaqi di dalam Al-Kubra (4/218), dari jalur Hammad, dari 'Ammar, dari Abu Hurairah secara mauquf.

Berkata Ibn Abi Hatim di dalam Al-'Ilal (1/123) : “Aku bertanya pada Ayahku (Abu Hatim) tentang hadits mengenai hadits riwayat Rauh Ibn 'Ubadah, dari Hammad, dari Muhammad Ibn Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan lafadz di atas. Diriwayatkan pula oleh Rauh, dari Hammad, dari Ammar, dari Abu Hurairah, dari Nabi dengan lafadz persis hadits diatas namun terdapat tambahan : “dan muadzin mengumandangkan adzan jika terbit fajar.” Berkata Ayahku : Kedua hadits ini tidak shahih.

At-Thahawi memandang bahwa hadits tersebut [beserta dengan hadits-hadits serupa yang dijadikan syawahid], kalau lah shahih, maka kedudukannya ter-nasakh [terhapus]. Sebab, bertentangan dengan nash ayat dan hadits yang melarang makan minum tatkala terbit fajar [adzan berkumandang]. (Syarh Ma'ani Al-Atsar, 2/52)

(2). Imam An-Nawawi mengutip dari Imam Al-Bayhaqi :

“Hadits ini –kalau pun shahih- [seolah Imam Al-Bayhaqi mengetahui bahwa hadits ini mengandung ‘illah.-penj], maka menurut mayoritas ulama’ dibawa kepada kemungkinan : Bahwa Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam mengetahui adzan shubuh diserukan beberapa saat sebelum fajar tsani muncul [tidak pas saat shubuh], dimana otomatis minum nya seseorang [saat berkumandang adzan itu] terjadi sebelum muncul nya fajar tsani...

Kemudian Imam Al-Bayhaqi berkata kembali : Ucapan yang disebutkan dalam hadits tersebut, “dan muadzin mengumandangkan adzan jika terbit fajar” kemungkinan merupakan ucapan yang bukan berasal dari Abu Hurairah [periwayat hadits ini].

Atau, bisa juga dimaksudkan untuk adzan kedua sehingga yang dimaksud di dalam hadits : “Jika salah seorang kamu mendengar adzan dan minuman masih ditangannya dst” itu maksudnya adalah adzan pertama [adzan-nya Bilal], sehingga pemahaman ini sejalan dengan hadits riwayat Ibn ‘Umar dan ‘Aisyah [yang memerintahkan untuk berhenti makan minum saat terbit fajar]”. (Al Majmu’, 6/311-312. Lihat juga As-Sunan Al-Kubra lil Bayhaqi, 4/218)

Kemungkinan bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut merupakan adzan pertama, dikuatkan dengan riwayat At-Tirmidzi :

«لَا يَمْنَعَنَّكُمْ مِنْ سُحُورِكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ، وَلَا الفَجْرُ المُسْتَطِيلُ، وَلَكِنِ الفَجْرُ المُسْتَطِيرُ فِي الأُفُقِ»

“Janganlah adzan Bilal menahan/membuat kalian berat dalam bersahur, termasuk cahaya fajar yang memanjang di angkasa; akan tetapi yang menahan kalian adalah cahaya fajar yang memanjang di ufuk” (HR. At-Tirmidzi No. 706)

Meski cahaya fajar nampak dan adzan dikumandangkan, ketahuilah bahwa adzan tersebut menandakan fajar kadzib [dalam bahasa Indonesia disebut ‘fajar yang menipu’], sehingga tetap boleh minum dan menunaikan hajatnya. Adapun jika sudah dikumandangkan adzan kedua [saat fajar shodiq], maka sudah tidak boleh menunaikan hajat makan minum.

(3). Di sini lah penting nya keberadaan waktu imsak bagi mereka yang makan sahur. Sebagian orang tidak tahu bahwa adanya konsep “imsak” [berhenti makan beberapa saat sebelum fajar], itu dicontohkan oleh Rasulullah.

Dari Anas Ibn Malik, dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

«تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ»، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ؟ " قَالَ: «قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً»

Kami makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam lantas beliau berdiri untuk shalat. Aku [Anas Ibn Malik] bertanya : “Berapa kadar waktu antara adzan dan [selesai] makan sahur?” Zaid menjawab : “Sekitar lima puluh ayat.” (HR. Al-Bukhari No. 1921).

Al-Imam As-Syafi’I rahimahullah berkata:

وَاسْتُحِبَّ التَّأَنِّي بِالسُّحُورِ مَا لَمْ يَكُنْ فِي وَقْتٍ مُقَارِبٍ يَخَافُ أَنْ يَكُونَ الْفَجْرُ طَلَعَ فَإِنِّي أُحِبُّ قَطْعَهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ

“Dan dianjurkan untuk santai dalam menyantap sahur [tidak tergesa-gesa], selama tidak masuk dalam waktu yang hampir berdekatan [dengan waktu shubuh] sehingga dikhawatirkan jika makan di waktu itu tiba-tiba fajar terbit/adzan shubuh. Maka aku sungguh suka jika makan dihentikan di waktu itu [maksudnya : beberapa saat sebelum adzan shubuh sudah berhenti makan].” (Al-Umm, 2/105)

Jadi, tidak boleh seseorang mengabaikan adzan shubuh dengan tetap makan dan minum, padahal fajar telah diyakini terbit. Seandainya begitu [makan minum saat adzan shubuh], maka ia wajib mengqadha shaumnya sehabis Ramadhan. Dalam hal ini menggunakan waktu imsak sebagai kehati-hatian [ihtiyath] adalah salah satu usaha terbaik agar tidak terjatuh dalam kelalaian ini. Wallaahu a’lam.

✍🏻 Muhammad Rivaldy Abdullah
🌸🍃 Yuk Bantu Sebarkan! Bagian dari Amal Dakwah kita...

Blog : ngaji-fiqh.blogspot.com

Thursday, April 23, 2020

Seri Fiqh Ramadhan - 2 : Niat Shaum dan Qiyamullayl di bulan Ramadhan




❄ Niat Shaum

Para fuqoha sepakat, bahwa berniat merupakan hal yang wajib bagi setiap jenis shaum, termasuk shaum Ramadlan.

Niat, adalah al Qoshdu [bermaksud], yakni keyakinan hati dalam mengerjakan sesuatu serta memiliki kesadaran dan keteguhan atasnya. (Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 3/1670)

Dalam hal ini, wajib berniat shaum di bulan Ramadlan, pada malam hari. Hal ini berdasarkan hadits dari Hafshoh radhiyallaahu 'anha, Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda:

ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳُﺒَﻴِّﺖْ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡَ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ ﻓَﻠَﺎ ﺻِﻴَﺎﻡَ ﻟَﻪُ

“Siapa saja yang tidak berniat shaum sebelum fajar, maka tiada shaum baginya.” (HR. An-Nasa'i No. 2652, Ad-Darimi 1740, Al-Bayhaqi No. 7988).

Waktu sahur termasuk waktu yang masih boleh untuk berniat shaum, meski ghalibnya di Indonesia dikerjakan setelah Tarowih.

Madzhab Syafi'I dan Hanbali mengharuskan niat pada malam hari khusus untuk shaum fardhu (Ramadlan). Shaum seseorang tidak sah bila tidak ada niat pada malam hari (As-Syawkani, Naylul-Awthar , 4/574).

Orang yang baru berniat shaum Ramadlan pada siang hari karena lupa, ia wajib segera berniat ketika ingat, wajib menahan diri layaknya orang yang sedang shaum. Namun, shaumnya dihukumi batal dan harus diganti pada hari lain.

Imam Syafi'I dan Ibnu Mundzir berpendapat bahwa niat harus dilakukan setiap malam bulan Ramadhan. Namun, menurut Imam Malik, Ishaq, dan Imam Ahmad niat shaum sah untuk shaum selama satu bulan. Pendapat Imam Syafi'I dalam hal ini lebih kuat. Sebab, shaum merupakan ibadah khusus yang waktunya dibatasi (Naylul-Awthar , hal. 257).

Lafadz niat boleh dengan redaksi :

"Nawaytu shouma ghodin 'an adaa-i fardli syahri romadlooni hadzihissanati fardhon lillaahi ta'aala"

(Niat saya shaum pagi besok, untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadhan, fardhu karena Allaah ta'ala)

❄ Qiyamul Layl

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anha Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berdiri pada malam hari [shalat] di bulan Ramadhan karena iman dan berharap ridha Allaah, diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari [3/58], Muslim [1/523])

Terkait apakah ada Tahajjud di bulan Ramadlan? Di dalam al Majmu', Imam Nawawi menyebutkan :

“Apabila ada orang yang telah mengerjakan witir (di awal malam) dan dia hendak shalat sunah atau shalat lainnya di akhir malam, hukumnya boleh dan tidak makruh. Dan dia tidak perlu mengulangi witirnya. Dalilnya adalah hadis Aisyah radhiyallahu ‘anhu , ketika beliau ditanya tentang
witir yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadhan...” (Al-Majmu’, 4/16).

Jadi, masih tetap boleh shalat malam, meski telah ditutup witir. Dan yang afdhal adalah menjadikan shalat witir di akhir malam. Wallaahu a'lam.

🌸🍃 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar..

Instagram : www.instagram.com/ngaji_fiqh

Facebook : www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

WhatsApp : +201019133695 (Nomor Mesir)

Telegram : Ngaji FIQH
https://telegram.me/ngajifiqh

Blog : ngaji-fiqh.blogspot.com

Monday, April 20, 2020

Seri Fiqh Ramadlan - 1 : Larangan Shaum pada Tanggal 29 dan 30 Sya'ban




Dalam menentukan awal-akhir Ramadhan, Islam telah menetapkan dengan metode ru'yatul hilal [melihat penampakan hilal/bulan sabit awal, pertanda masuk awal baru]. Karena itulah penentuan tanggal 1 Ramadhan terkadang belum pasti. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam melarang shaum pada tanggal 29 atau 30 Sya'ban [yang disebut yaumusy syak/hari meragukan], karena hari itu orang bisa saja berniat shaum sunnah, padahal sudah masuk bulan Ramadhan.

Dalilnya, dari ‘Ammar ia berkata :

مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barang siapa yang shaum pada yaumus syak, maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim [Nabi Muhammad] shallallahu ‘alayhi wasallam.” (HR. Bayhaqi No. 1305. Hakim mengatakan hadits ini hasan shahih menurut syarat Bukhari-Muslim)

Larangan ini adalah bagi orang yang kebetulan ingin shaum pada  yaumusy syak saja. Tetapi bagi orang yang memang terbiasa shaum, misal shaum senin kamis, atau shaum Nabi Daud, atau shaum sunnah lainnya, lalu ketika dia melakukan kebiasaannya itu  bertepatan pada yaumusy syak , maka hal ini tidak dilarang. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam ia bersabda :

 لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

"Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan shaum sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan shaum kebiasaannya, maka shaumlah pada hari itu." (HR. Bukhari No. 1815, Muslim No. 1082)

Karena itu, kita masih tetap boleh shaum setelah tanggal 15 Sya'ban, jika memang terbiasa shaum sunnah. Wallaahu a'lam.

🌸🍃 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar..

Instagram : www.instagram.com/ngaji_fiqh

Blog : www.ngaji-fiqh.blogspot.com

Ngaji FIQH
https://t.me/ngajifiqh

Friday, April 17, 2020

SHAUM SETELAH NISHFU SYA’BAN, HUKUMNYA HARAM?




Asslmkm.... pak ustad, mau tanya. Apakah boleh setelah nisfu syaban kita melaksanakan puasa? Ada yg bilang tdk boleh


Jawaban :

Wa’alaykumussalaam warahmatullah wabarakaatuh...

Dalam masalah ini terdapat hadits yang memang melarang shaum setelah nishfu sya’ban [pertengahan bulan sya’ban, yakni tanggal 16 sampai 30 sya’ban]. Hadits tersebut ialah hadits berikut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda :

إِذٙا انْتٙصٙفٙ شٙعْبٙانُ، فٙلٙا تٙصُوْمُوْا

“Jika telah masuk pertengahan sya’ban, maka janganlah kalian shaum” (HR. Abu Dawud No. 2337, Misykatul Mashobih No. 1974)

Di redaksi yang lain :

إِذٙا بٙقِيٙ نِصْف مِنْ شٙعْبٙان فٙلٙا تٙصُوْمُوْا

“Jika tersisa pertengahan kedua dari bulan Sya’ban, maka janganlah kalian shaum” (HR. At-Tirmidzi No. 738)

Syaikh Al-Mubarakfuri menyebutkan dalam Syarh Sunan At-Tirmidzi :

وقد قطع كثير من الشافعية بأن ابتداء المنع من أول السادس عشر من شعبان بحديث أبي هريرة مرفوعا إذا انتصف شعبان فلا تصوموا أخرجه أصحاب السنن وصححه بن حبان وغيره

“Banyak dari kalangan ulama madzhab Syafi’I telah menetapkan bahwasanya mulainya larangan tersebut [shaum di bulan sya’ban] itu dimulai dari tanggal 16 sya’ban, sebab adanya hadits riwayat Abu Hurairah secara marfu’ : “Jika telah masuk pertengahan sya’ban, maka janganlah kalian shaum”. Hadits ini dikeluarkan oleh para pemilik sunan, dan dishahihkan oleh Imam Ibn Hibban dan selain beliau.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/296)

Sebagian ulama memandang hadits ini mardud [tertolak] dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum. Alasan mereka :

1. Al-‘Ala Ibn Abdirrahman bertafarrud [menyendiri] dalam riwayat hadits ini, daripada ayahnya Abdurrahman Ibn Ya’qub. Menurut mereka aneh jika hadits ini tidak diriwayatkan oleh ashab [murid-murid] Abu Hurairah yang lain padahal tema dalam hadits ini begitu penting.

Murid-murid [ashab] Abu Hurairah, seperti : Al-Muharrar Ibn Abi Hurairah [putra Abu Hurairah sendiri], Marwan Ibn Al-Hakam, Qabishah Ibn Dzu’aib, Abdullah Ibn Tsa’labah, Sa’id Ibn Al-Musayyib, ‘Urwah Ibn Az-Zubair, Sulayman Ibn Yasar, dll tidak didapati riwayat hadits seperti demikian dari mereka.

2. Mereka menganggap hadits ini menyelisihi riwayat hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah yang menyebutkan justeru Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam banyak melakukan shaum di bulan sya’ban, bahkan hampir-hampir dikatakan beliau shaum sebulan penuh.

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata :

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam tidak pernah shaum sebulan penuh lebih sering dari bulan Sya’ban. Karena sesungguhnya beliau shaum di bulan sya’ban sebulan penuh” (Muttafaq ‘Alayh)

Dan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :

لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ

“Tidak pernah beliau -Baginda Nabi- shaum dalam setahun sebulan penuh kecuali di bulan Sya’ban yang disambung dengan bulan Ramadhan” (HR. Abu Dawud No. 2336, An-Nasa’i No. 2353)

Maksud perkataan Aisyah dan Ummu Salamah : “Rasulullah shaum sebulan penuh di bulan Sya’ban” ialah kebanyakannya. Tidak benar-benar satu bulan penuh sebagaimana Ramadhan.

Sayyidatuna Aisyah mengatakan,

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

“Aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam menyempurnakan shaum sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Dan aku tidak melihat Rasulullah banyak melakukan shaum [lebih banyak] daripada bulan sya’ban.” (Muttafaq ‘Alayh)

Penolakan atas hadits ini dijawab oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah [dalam Tahdzib As-Sunan]:

1. Tafarrud [menyendiri] nya Al-‘Ala dalam riwayat hadits ini tidak dapat dijadikan ‘illah [kecacatan] sehingga hadits ini ditolak.

Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim, dimana Imam Muslim banyak meriwayatkan hadits Al-‘Ala Ibn Abdirrahman dari ayahnya di kitab Shahih beliau.

Tafarrud nya Al-‘Ala Ibn Abdirrahman adalah tafarrud nya seorang periwayat tsiqah [terpercaya, kuat]. Tafarrud yang bisa dijadikan sebagai ‘illah adalah tafarrud dimana seorang periwayat menyebutkan sebuah hadits secara muttashil, sedang yang lain menyebutkan secara mursal. Atau seorang periwayat menyebutkan sebuah hadits sebagai marfu’, sedang yang lain menyebutkan hadits itu secara mauquf. Atau seorang periwayat hadits menambahkan lafadz dari sebuah hadits yang mana periwayat lain tidak menyebutkan tambahan redaksi tersebut dan tambahan tersebut tidak dapat dikompromikan.

Tafarrud nya seorang tsiqah dalam sebuah hadits banyak terdapat di dalam kitab-kitab sunnah dan para ulama Islam mengamalkan hadits-hadits tersebut.

2. Adapun sangkaan bahwa hadits ini menyelisihi riwayat hadits yang menyebutkan shaum nya Nabi sebulan penuh di bulan Sya’ban, maka bisa dijawab dengan : bahwasanya hadits tentang larangan shaum di pertengahan sya’ban adalah bagi mereka yang menyengaja shaum dari tanggal 16 sya’ban.

Sedangkan Rasulullah melaksanakan shaum di bulan Sya’ban sejak awal bulan Sya’ban, sehingga larangan beliau atas shaum di tengah Sya’ban adalah bagi mereka yang memang tidak terbiasa shaum atau tidak melaksanakan shaum dari sejak awal sya’ban.

Pemahaman ini diambil dari hadits Nabi sendiri :

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam ia bersabda :

 لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

"Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan shaum sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan shaum kebiasaannya, maka shaumlah pada hari itu." (HR. Bukhari No. 1815, Muslim No. 1082)

Perkataan Nabi, “kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan shaum kebiasaannya, maka shaumlah pada hari itu” menjadi qarinah sharifah [indikasi yang memalingkan] dari tadinya shaum di pertengahan bulan sya’ban sebagai hal terlarang, menjadi boleh jika orang tersebut memang terbiasa menjalankan shaum.

Maka, bisa dikatakan bahwa hadits larangan shaum sejak pertengahan bulan Sya’ban ini tidak bertentangan dengan hadits yang menunjukkan banyaknya Nabi melakukan shaum di bulan Sya’ban.

Larangan shaum ini juga tidak berlaku jika seseorang masih memiliki utang shaum berupa qadha Ramadhan tahun lalu maupun nadzar. Sebab, kewajiban memenuhi shaum keduanya merupakan perkara qath’iy, sedangkan larangan shaum setelah pertengahan Sya’ban ini dzanniy [diperselisihkan]. (Lihat, Naylul Authar, 4/309)

Oleh karena nya jelas, bahwa shaum di pertengahan bulan Sya’ban tidak terlarang bagi seseorang yang terbiasa melaksanakan shaum sunnah, atau bagi ia yang telah melaksanakan shaum sejak awal Sya’ban. Juga bagi orang yang memiliki utang qadha dan nadzar shaum, wajib segera menyelesaikan utang tersebut walaupun di pertengahan bulan Sya’ban.

Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam As-Syafi’i tertulis :

لكن تنتفي حرمة صوم يوم الشك، والنصف الثاني من شعبان إذا وافق عادة للصائم، أو وصل صيامه بما قبل النصف الثاني من شعبان.
روى البخاري (١٨١٥) ومسلم (١٠٨٢) واللفظ له عن أبي هريرة - رضي الله عنه - عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال: "لا تقدموا رمضان بصوم يوم أو يومين، إلا رجل كان يصوم صوما فليصمه

“Akan tetapi tiada larangan melaksanakan shaum pada hari syak [yakni sehari atau dua hari sebelum Ramadhan] dan shaum di pertengahan kedua bulan Sya’ban, jika memang berbarengan dengan kebiasaan nya untuk shaum atau ia melanjutkan shaum yang telah ia jalani sebelum pertengahan kedua bulan Sya’ban.

Telah meriwayatkan Imam Bukhari [No. 1815] dan Imam Muslim [No. 1082] dan lafadz bagi Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam ia berkata :

Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan shaum sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan shaum kebiasaannya, maka shaumlah pada hari itu.” (Al-Fiqh Al-Manhaji, 2/104).

Demikian jawaban kami, wallahu a’lam.

www.ngaji-fiqh.blogspot.com

Sunday, April 12, 2020

PAHALA BAGI IBU MELAHIRKAN

 

Tanya:
1. jk meninggal pas melahirkan, yg didapat ini [penanya menunjukkan hadits berkenaan pahala melahirkan] walaupun selama hidupnya dia melakukan kemaksiatan?
2. Dosa terhapus ktk melahirkan, maksudnya smua btk dosa baik bsr/kecil?

Jawaban :

Dalam tulisan yang ukhti sebar, tertulis [yang katanya] hadits :

Nasihat Rasul kepada Fathimah radhiyallahu ‘anha : “Ketika wanita merasa sakit saat akan melahirkan, Allah menetapkan pahala baginya sama dengan pahala para Mujahidin di jalan Allah. Jika dia melahirkan, maka bersihlah dosa-dosanya seperti ketika dia dilahirkan dari kandungan ibunya. Bila dia meninggal saat melahirkan, dia tidak akan membawa dosa sedikit pun. Di dalam kubur akan mendapat taman indah yang merupakan bagian dari taman surga. Allah akan memberikan pahala kepadanya sama dengan pahala seribu orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga hari kiamat.”

Pertama, kami belum menemukan riwayat hadits dengan matan [teks] demikian. Bahkan kami mencurigainya sebagai hadits maudhu’ [palsu]. Hati-hati dalam menyebarkan tulisan tersebut.

Di dalam penelaahan kami, teks hadits palsu yang serupa dengan teks diatas dalam versi bahasa Arab sebagai berikut :

إذا حملت المرأة تستغفر لها الملائكة في السماء والحيتان في البحر ، وكتب الله لها في كل يوم ألف حسنة ، ومحا عنه ألف سئية .

فإذا أخذها الطلق كتب الله لها ثواب المجاهدين وثواب الشهداء والصالحين ، وغسلت من ذنوبها كيوم ولدتها أمها ، وكتب الله لها ثواب سبعين حجة

فإن أرضعت ولدها كتب لها بكل قطرة من لبنها حسنة ، وكفر عنها سيئة ، واستغفر لها الحور العين في جنات النعيم.

“Jika seorang perempuan hamil, maka akan memintakan ampunan baginya para malaikat yang ada di langit dan ikan-ikan di lautan. Dan Allah mencatatkan baginya di setiap hari seribu kebaikan. Dan menghapus darinya seribu kesalahan.

Jika ia mendapatkan rasa sakit saat melahirkan, maka Allah akan mencatat baginya pahala orang-orang yang berjihad dan pahala orang-orang yang mati syahid dari kalangan orang shalih. Ia pun akan dibersihkan dari dosa seperti dihari ketika ia dilahirkan oleh ibunya. Allah juga akan mencatatkan baginya pahala 70 haji.

Jika ia menyusui anaknya, dicatat baginya di setiap tetes air susunya satu kebaikan. Dan dihapus darinya satu kesalahan. Para bidadari di syurga akan memintakan ampun baginya.”

Kesimpulannya, tidak ada hadits dengan teks demikian. Yang semakna dengan teks hadits tersebut ada dalam kitab-kitab yang memuat hadits-hadits palsu, seperti kitab Al-Maudhu’at karya Imam Ibnul Jauzi [Juz 2/Hal. 274], dan kitab Al-La’ali Al-Mashnu’ah karya Imam As-Suyuthi [Juz 2/Hal. 148].

Menyebarkan hadits palsu hukumnya haram. Al-Imam As-Suyuthi menjelaskan di dalam Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi [hal. 239]:

(وتحرم روايته مع العلم به) أي بوضعه (في أي معنًى كان) سواء الأحكام والقصص والترغيب، وغيرها

“Dan haram hukumnya meriwayatkan hadits palsu jika ia telah mengetahui kepalsuannya, dalam makna apa pun, baik berupa pernyataan hukum, kisah-kisah, maupun hadits-hadits tentang motivasi beramal, dan yang lainnya...”

Kedua, apa yang menjadi pahala bagi ibu hamil dan melahirkan terdapat dalam hadits :

الشَّهَادَةُ سبعٌ سوى القتلِ في سبيل الله: المَطْعونُ شهيدٌ، والغَرِقُ شهيدٌ، وصاحبُ ذاتِ الجَنْبِ شهيدٌ، والمَبطُونُ شهيدٌ، وصاحِبُ الحريق شهيدٌ، والذي يموت تحت الهَدْمِ شهيدٌ، والمرأةُ تموت بجُمْعٍ شهيدٌ

“Kesyahidan itu ada pada tujuh perkara, selain dalam perang di jalan Allah: Orang yang terkena penyakit tha’un merupakan syahid, orang yang tenggelam syahid, orang yang terkena penyakit rusuk syahid, orang yang terkena penyakit dalam perut syahid, orang yang wafat terkena reruntuhan syahid, dan perempuan yang wafat karena melahirkan syahid.” (HR. Abu Dawud No. 311. Di shahihkan oleh Ibn Hibban dan Al-Hakim)

Apakah berarti, perempuan yang wafat karena melahirkan itu diampuni dosa-dosanya baik besar maupun kecil, karena ia terkategori syahid?

Syaikhul Islam Ibn Hajar Al-Asqalani menulis :

 أن الشهداء قسمان شهيد الدنيا وشهيد الآخرة وهو من يقتل في حرب الكفار مقبلا غير مدبر مخلصا وشهيد الآخرة وهو من ذكر بمعنى أنهم يعطون من جنس أجر الشهداء ولا تجري عليهم أحكامهم في الدنيا

“bahwasanya orang yang syahid terbagi dua kategori. Syahid di dunia, dan syahid di akhirat. Dan dia [syahid di dunia] adalah orang yang terbunuh di dalam perang melawan pasukan kafir tanpa kabur dan ikhlas karena Allah; dan syahid di akhirat adalah dia yang disebutkan dalam hadits yang makna nya mereka adalah orang-orang yang mendapat jenis pahala seperti orang syahid [karena perang] namun tidak diberlakukan bagi mereka hukum dan ketentuan orang yang syahid di dunia” (Fathul Bari, 6/44)

Maksudnya ialah, mereka memang mendapat pahala seperti orang yang mati syahid tapi tidak diperlakukan seperti orang yang mati syahid di medan perang [mereka tetap wajib dimandikan, dikafani dan dishalatkan seperti orang pada umumnya].

Dan yang nampak bagi kami -dari penjelasan para ulama- bahwa mereka yang terkategori syahid di akhirat [yakni orang yang terkena tha’un, wafat karena tenggelam, dsb] jikalau hidup mereka dipenuhi dengan dosa-dosa maka mereka diampuni oleh Allah. Baik kecil maupun besar. Dengan syarat mereka muslim dan bersabar dengan keadaan mereka. Sebab, kesyahidan merupakan maghfirah ‘ammah [pengampunan Allah secara umum].

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

“Bagi orang yang syahid diampuni seluruh dosa-dosanya kecuali utang piutang” (HR. Muslim No. 1886)

Adapun perempuan yang tidak wafat karena melahirkan, ia tidak diampuni dosa-dosa besarnya hanya karena sabarnya ia dalam melahirkan. Karena pengampunan dosa-dosa besar hanya bagi mereka yang syahid/wafat dalam keadaan melahirkan. Memang terdapat pahala atas kesabaran mereka saat melahirkan, namun dosa-dosa besarnya tetap wajib ditaubati.

Bagi para ibu melahirkan ini ada pahala -in sya Allah- atas kesabaran mereka.

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar[39]: 10)

https://chat.whatsapp.com/9cZ6s0MI8FOKr0QrQcvjX9

FAIDAH TALAQQI BERSAMA SYAIKH AHMAD HAJIN


Oleh : Muhammad Rivaldy Abdullah

Banyak orang bingung membedakan antara angan-angan (al-hamm), dengan tekad ('azam). Apakah jika seseorang berangan-angan untuk berbuat dosa, terjatuh ke dalam perbuatan dosa? Dan bagaimana jika ia juga bertekad untuk melakukan dosa?

Dalam hadits disebutkan :

إنّ الهم بالحسنة، يكتب حسنة، والهم بالسّيّئة لا يكتب سيئة، وينتظر فإن تركها لله كتبت حسنة، وإن فعلها كتبت سيئة واحدة

“Sesungguhnya angan-angan untuk berbuat baik, akan dicatat sebagai pahala. Dan angan-angan untuk berbuat maksiat, tidak akan dicatat sebagai dosa. Dan ia akan diberi tangguh, jika ia tidak sampai berbuat maksiat, maka ia akan diberi pahala. Dan jika ia sampai berbuat maksiat, akan dicatat sebagai satu dosa baginya.”

Dalam kitab Al-Asybah wan Nadzo'ir karangan Imam As-Suyuthi disebutkan bahwa keinginan bermaksiat (qashdu al-ma'shiah) terbagi ke dalam lima tingkatan :

1. Al-Hajis, yaitu muncul secara sekilas dalam pikiran perbuatan maksiat

2. Al-Khotir, yakni terbersitnya pikiran untuk berbuat maksiat (lebih lama dari al-hajis)

3. Hadits An-Nafs, yakni muncul kegamangan antara ia ingin berbuat maksiat atau tidak

4. Al-Hamm, yakni angan-angan ia dalam keinginan berbuat dosa

5. Al-'Azm, yakni yakinnya ia untuk berbuat maksiat dan mengambil langkah untuk itu.

Untuk tingkatan Al-Hajis, ia tidak dibebani dosa menurut ijma'. Begitu pula tingkatan al-khotir dan hadits an-nafs menurut hadits yang shahih (Al-Asybah wan Nadzo'ir, 1/33-34)

Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa tiga tingkatan ini jika dalam hal kebaikan juga tidak dicatat sebagai pahala. Sebagai contoh, jika muncul tiba-tiba secara sekilas dalam benak seseorang untuk bersedekah, maka ia tidak diberi pahala untuk itu. Dalam dunia tasawwuf -Syaikh Ahmad Hajin menyampaikan demikian- hal itu disebut sebagai ilqa malaki (petunjuk malaikat).

Berbeda dengan angan-angan dan keinginan (al-hamm), maka ia dicatat sebagai pahala sebagaimana hadits di atas. Dan sebagai kemurahan Allah, jika ia memiliki angan-angan untuk berbuat maksiat justeru tidak dicatat sebagai perbuatan dosa. Tidak seperti angan-angan untuk berbuat amal shalih.

Sedangkan imajinasi seseorang, yang sampai membayangkan secara jelas perbuatan dosa hingga ia berkeinginan untuk memulai langkah, maka ini bisa masuk pada at-tashowwur dan al-'azm. Untuk seperti ini seseorang mendapatkan dosa.

Karena itulah, jika seseorang sudah bertekad (al-'azm) untuk berbuat maksiat, bahkan sampai mengambil langkah untuk menjalani maksiat tersebut, maka hal itu dicatat sebagai dosa. Seperti seseorang yang berniat untuk melakukan korupsi/suap lantas tidak tercapai sebab ditangkap polisi, maka yang seperti ini, meski tidak terjadi perbuatan maksiatnya, maka hal itu tercatat sebagai dosa. Ia wajib mentaubati 'azam nya tersebut.

Hal-hal lain serupa itu berkaitan dengan tekad banyak kita alami. Misal seseorang jatuh dalam kategori melalaikan shalat. Jika ia berkeinginan untuk tidak melakukan shalat, dengan cara mengundur pelaksanaannya (otomatis ia sudah mengambil tindakan melalaikan shalat tersebut) dan keinginannya untuk tidak shalat amat besar, maka seperti ini jatuh dalam maksiat. Meski akhirnya ia melaksanakan shalat. Yang demikian wajib ditaubati.

Masih banyak contoh kasus berkenaan dengan al-hamm dan al-'azam dalam keseharian kita. Hendaknya kita tidak terlalaikan dalam hal itu. Wallaahu a'lam.

Tuesday, April 7, 2020

HUKUM MEMBATALKAN SHALAT SUNNAH KARENA IQAMAH



Ustadz Rivaldi, bagaimana hukumnya org membatalkan shalat sunnah gara-gara sudh keburu iqamah/qomat? Jazakallah ahsanal jazaa...

Jawaban :

Al-Imam Badruddin Ibn Qadhi Syuhbah As-Syafi’I menulis dalam Syarh Al-Minhaj,

(ولا يبتدئ نفلًا بعد شروعه فيها) لما في "صحيح مسلم": "إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ .. فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ"، وفي معنى الشروع قربُ إقامتها.

[Dan seseorang tidak boleh memulai shalat sunnah tatkala muadzin telah mengumandangkan iqamah], berdasarkan hadits dalam shahih Muslim :

"إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ .. فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ"

“Jika telah dikumandangkan iqamah .. maka tidak ada shalat kecuali shalat wajib” (HR. Muslim No. 710)

Dan maksud “iqamah telah dikumandangkan oleh muadzin” termasuk di antaranya jika iqamah dalam waktu dekat.

(فإن كان فيه .. أَتَمَّه إن لم يخش فَوْتَ الجماعة، والله أعلم) لما في ذلك من إحراز الفضيلتين وعدم إبطال العبادة، فإن خشي فواتها .. اقتصر على ما أمكن من النافلة؛ ليدرك فضيلة الجماعة؛ فإنها صفة فرض، أو فرض على رأي، فكانت أولى من النفل، وظاهر كلامه: أنه متى أمكنه إدراكُ تكبيرة قبل سلام الإمام .. أتمّ النافلة، وبه صرح في "شرح المهذب" تبعًا للشيخ أبي حامد وآخرين.

[Jika terlanjur shalat dan iqamah/qomat dikumandangkan, maka shalat sunnah tersebut disempurnakan jika tidak khawatir ketinggalan berjamaah, wallahu a’lam].

Sebab, dalam hal tersebut (yakni menyelesaikan shalat sunnah meski sudah iqamah) merupakan bentuk meraih dua keutamaan/pahala (pahala shalat sunnah dan shalat berjamaah) dan cara supaya tidak masuk dalam kategori membatalkan ibadah (membatalkan shalat sunnah).

Namun jika khawatir ketinggalan shalat berjamaah, maka ia mengerjakan semampunya yang bisa ia kerjakan dari shalat sunnah tersebut, agar bisa langsung ikut shalat berjamaah.

Shalat berjamaah itu wajib, atau wajib menurut salah satu pendapat. Dan yang wajib di dahulukan daripada sunnah.

Maksud dari “ia mengerjakan semampunya yang bisa ia kerjakan dari shalat sunnah tersebut” : maksudnya sampai ia mungkin untuk ikut berjamaah sebelum imam mengucapkan salam... ibarat nya, ia selesaikan dulu shalat sunnah nya (sampai kemungkinan masih bisa ikut berjamaah sebelum salam nya imam). Begitulah kira-kira penjelasan Imam Nawawi di dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab mengikuti penjelasan Syaikh Abu Hamid dan yang lainnya. (Bidayatul Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj, 1/345)

Inti nya :

- Jika waktu iqamah/qomat diperkirakan sudah dekat, ia tidak boleh mengerjakan shalat sunnah. Apalagi jika iqamah sudah benar-benar dikumandangkan. Ia bisa membadal/mengganti shalat sunnah qabliyah setelah selesai shalat fardhu. Termasuk shalat qabliyah shubuh dan ashar, boleh dikerjakan setelah shalat fardhu dengan niat badal.

- Jika ia sudah terlanjur shalat sunnah, dan muadzin mulai iqamah/qomat, maka ia dianjurkan menyelesaikan shalat sunnah nya dengan catatan ia yakin masih bisa ikut berjamaah [batasnya sampai imam selesai salam]

- Jika ia tidak yakin bisa ikut berjamaah gara-gara menyelesaikan shalat sunnahnya, maka ia boleh membatalkan shalat sunnahnya.

- Membatalkan nya tidak perlu salam. Cukup langsung berjalan bergerak menuju jamaah.

Memang ada beberapa pertanyaan terkait “bolehkah seseorang membatalkan ibadah sunnah nya [baik shalat, shaum, dsb] tanpa ada alasan darurat?”. Ini perlu pembahasan khusus; sebab empat madzhab berselisih pendapat terkait boleh tidaknya membatalkan ibadah sunnah tanpa alasan darurat. In Sya Allah akan ditulis di lain kesempatan. Wallahu a’lam.

MASALAH CORONA



Asslamu alaykum...
Ustadz Rivaldy.. Bolehkah bertanya terkait wabah penyakit corona yg skrg sdang ramai?

Pernah sy dengar bahwa seseorg tdk boleh keluar dari suatu wilayah, jika ada wabah penyakit di wilayahnya. Benarkah ini?

Jawaban :

Waalaykumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh...

Mewabahnya penyakit yang diakibatkan dari adanya virus tersebut, merupakan peringatan dari Allah terhadap pemerintah China yang terang-terangan mendzalimi ummat Islam. Kejadian ini mirip dengan situasi mewabahnya penyakit pada masa Nabi yang disebut tha’un. Karena itu dalam hadits disebutkan :

 الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَل بِهِ أُنَاسًا مِنْ عِبَادِهِ، فَإِذَا سَمِعْتُم بِهِ فَلاَ تَدْخُلُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَافَلاَ تَفِرُّوا مِنْهُ

“Penyakit Tha’un merupakan tanda keburukan yang Allah ‘Azza Wa Jalla jadikan sebagai ujian bagi manusia diantara hamba-hamba Nya; jika kalian mendengar adanya penyakit tersebut mewabah pada suatu wilayah, maka janganlah kalian masuk pada wilayah tersebut. Dan jika mewabah pada suatu wilayah dan kalian berada di wilayah tersebut, janganlah keluar darinya.” (Muttafaq ‘Alayh)

Di riwayat lain Rasulullah menjelaskan tentang tha’un :

 هُوَ عَذَابٌ أَوْ رِجْزٌ أَرْسَلَهُ اللَّهُ عَلَى طَائِفَةٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيل أَوْ نَاسٍ كَانُوا قَبْلَكُمْ، فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا عَلَيْهِ، وَإِذَا دَخَلَهَا عَلَيْكُمْ فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا فِرَارًا

“Dia merupakan adzab atau kekotoran yang dikirim oleh Allah atas sekelompok manusia dari Bani Israil atau orang-orang sebelum kalian. Jika kalian mendengar [penyakit tersebut mewabah] di suatu wilayah, maka janganlah kalian masuk ke wilayah tersebut. Dan jika penyakit tersebut masuk ke wilayah tempat tinggal kalian, maka jangan lah kalian keluar darinya seperti orang yang kabur.” (HR. Muslim [4/1738])

Dzahir hadits melarang seseorang masuk pada wilayah yang tersebar di dalamnya wabah penyakit mematikan, juga melarang orang yang berada dalam wilayah tersebut untuk keluar darinya. Mencegah agar penularannya tidak semakin meluas.

Al-Imam An-Nawawi mengatakan,

  وَالصَّحِيحُ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ النَّهْيِ عَنِ الْقُدُومِ عَلَيْهِ وَالْفِرَارِ مِنْهُ لِظَاهِرِ الأَْحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ

“Pendapat yang benar adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan daripada larangan masuk ke wilayah tersebut dan kabur darinya, sebab [telah ditunjukkan] oleh dzahir/teks hadits yang shahih” (Syarh Shahih Muslim, 14/205-207)

Lantas, bagaimana dengan orang-orang Indonesia yang kabarnya dipulangkan dari negeri China, akibat mewabahnya virus Corona yang mematikan itu beberapa waktu lalu?

Jawaban atas soal ini dijawab oleh Imam Ibn Hajar Al-Haitami As-Syafi’I :

وَاَلَّذِي يُتَّجَهُ تَرْجِيحُهُ عَلَى قَوَاعِدِنَا أَنَّهُ إنْ خَرَجَ بِقَصْدِ التَّدَاوِي أَوْ حَاجَةٍ أُخْرَى جَازَ أَوْ بِقَصْدِ الْفِرَارِ، وَلَوْ مَعَ قَصْدِ التَّدَاوِي أَوْ غَيْرِهِ حَرُمَ كَمَا مَرَّ، وَاَلَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهُ لَوْ عَمَّ إقْلِيمًا لَمْ يَحْرُمْ الْخُرُوجُ مِنْ بَعْضِ قُرَاهُ إلَى بَعْضٍ؛ لِأَنَّهُ لَا فِرَارَ حِينَئِذٍ أَلْبَتَّةَ، وَأَنَّهُ لَوْ خَصَّ مَحَلَّةً مِنْ بَلْدَةٍ وَلَمْ يُوجَدْ مِنْهُ شَيْءٌ فِي بَقِيَّةِ مَحَلَّاتِ تِلْكَ الْبَلَدِ كَانَ حُكْمُ الْمَحَلَّةِ حِينَئِذٍ كَحُكْمِ الْبَلَدِ الْمُسْتَقِلِّ، فَيَحْرُمُ الْخُرُوجُ مِنْهَا فِرَارًا، وَالدُّخُولُ إلَيْهَا أَيْ: لِغَيْرِ حَاجَةٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ هُنَا، وَفِيمَا مَرَّ؛ لِأَنَّهُ إذَا جَازَ الْخُرُوجُ لِحَاجَةٍ جَازَ الدُّخُولُ قِيَاسًا إذْ لَا يَظْهَرُ بَيْنَهُمَا فَرْقٌ فِي ذَلِكَ فَإِنْ قُلْت: يُنَافِي هَذَا مَا مَرَّ مِنْ أَنَّهُ إذَا وَقَعَ فِي الْبَلَدِ عَمَّ جَمِيعَ مَنْ فِيهِ بِمُدَاخَلَةِ سَبَبِهِ.
قُلْت: لَا مُنَافَاةَ؛ لِأَنَّ مَا قُلْنَاهُ مِنْ أَنَّ الْمَحَلَّةَ لَيْسَتْ كَالْبَلَدِ فِيمَا إذَا تَحَقَّقْنَا اخْتِصَاصَهُ بِهَا، وَتَحَقَّقْنَا أَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ شَيْءٌ مِنْ أَسْبَابِهِ فِي بَقِيَّةِ الْبَلَدِ فَحِينَئِذٍ يَحْرُمُ لِغَيْرِ أَهْلِ تِلْكَ الْمَحَلَّةِ دُخُولُهَا لِغَيْرِ حَاجَةٍ، وَالْخُرُوجُ مِنْهَا بِقَصْدِ الْفِرَارِ، وَأَمَّا إذَا لَمْ نَتَحَقَّقْ ذَلِكَ فَحُكْمُ بَقِيَّةِ الْبَلَدِ حُكْمُ تِلْكَ الْمَحَلَّةِ؛ لِأَنَّ الْغَالِبَ أَنَّهُ إذَا وَقَعَ فِي بَلَدٍ عَمَّ جَمِيعَ مَنْ فِيهِ بِمُدَاخَلَةِ سَبَبِهِ

“Yang merupakan pendapat terkuat berdasarkan kaidah madzhab kita bahwasanya seseorang jika ia keluar dari wilayah tersebarnya penyakit tersebut dengan tujuan berobat atau kebutuhan mendesak lain, maka keluarnya ia dari wilayah tersebut tidak terlarang. Tapi jika tujuannya adalah kabur, meski diiringi dengan tujuan berobat atau lainnya, maka hal ini haram.

Yang nampak dari masalah ini bahwasanya jika negeri yang terdapat wabah tersebut merupakan negeri yang luas, tidak dikatakan haram jika keluar dari negeri tersebut sebagian daerahnya dari daerah yang lain. Sebab, tidak dikatakan kabur dari wabah itu [jika memang bukan daerahnya sendiri yang terkena wabah]. Dan karena suatu daerah jika hanya daerah itu saja yang terkena dampak dari seluruh daerah yang ada di negeri itu, maka dianggap daerah itu seperti negeri/wilayah terpisah.

Maka kondisi seperti itu haram bagi penduduknya untuk pergi keluar wilayah/daerah. Juga haram bagi penduduk luar untuk masuk ke daerah tersebut, yakni jika tidak ada kebutuhan. Sebagaimana telah jelas dalam penjelasan ini dan telah lewat. Sebab jika memang dikatakan “boleh keluar” dari daerah tersebut karena ada kebutuhan penting, maka boleh juga masuk daerah tersebut diqiyaskan dengan bolehnya keluar [tidak ada bedanya].

Jika engkau mengatakan : hal ini bertentangan dengan bahasan sebelumnya bahwa jika suatu wabah penyakit menimpa suatu negeri, maka penyakit tersebut mewabah ke seluruh penduduk negeri sebab virus bisa masuk mengenai mereka.

Maka jawabanku : Tidak ada pertentangan. Sebab apa yang kami katakan bahwa suatu daerah tidak bisa dianggap seperti satu negeri [alias tidak boleh dianggap satu negara terdapat virus mematikan], jika terdapat penelitian yang menyatakan bahwa hanya daerah tertentu saja yang terkena wabah itu. Dan telah terbukti bahwa tidak terdapat wabah/virus seperti itu di daerah lain di negara itu. Maka kondisi ini menjadikan penduduk luar daerah wabah tersebut [meski satu negara], tidak boleh masuk ke daerah itu jika tidak ada kepentingan mendesak. Juga penduduk daerah tersebut tidak boleh keluar dari daerah tadi dengan alasan kabur.

Jika tidak bisa dibuktikan hal ini, maka sebagian daerah lain di negeri itu dianggap seperti daerah yang terkena wabah itu. Alasannya karena pada umumnya suatu wabah penyakit jika menimpa satu negeri, maka secara merata penduduknya terkena dampak tersebut sebab berasal dari sumber virus penyebab penyakit [yang kadangkala tidak terdeteksi].” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, 4/11)

Kesimpulannya :

1. Tidak boleh masuk/melakukan perjalanan ke wilayah yang jelas-jelas menjadi sumber munculnya virus Corona tersebut. Banyak pihak telah memberikan warning untuk tidak masuk ke wilayah China, khususnya Wuhan.

2. Adapun kasus banyak nya orang Indonesia yang dipulangkan, ini melihat dari kondisi bahwa mereka dipulangkan untuk mencegah terjadi nya hal-hal yang tidak diinginkan. Jika memang terbukti bahwa mereka steril, dan bukan berasal dari wilayah Wuhan, maka tidak mengapa -berdasarkan penjelasan di atas- mereka keluar dari wilayah munculnya wabah tersebut.

3. Perlu digaris bawahi bahwa tulisan ini bukan FATWA, melainkan tinjauan ilmiah dari sisi fikih berkenaan dengan masalah boleh tidaknya masuk dan keluar dari wilayah yang terkena wabah. Keputusan memulangkan warga Indo dari China, sepenuhnya berada dalam tanggung jawab dan pengawasan pihak yang berwenang. Sepenuhnya kita serahkan masalah ini pada pemerintah kita, karena mereka lebih tahu fakta di lapangan.

4. Mengingat kasus ini telah menjadi darurat global [sebagaimana yang dinyatakan oleh WHO], maka mengambil langkah-langkah untuk mencegah diri dan keluarga dari terkena dampak penyakit ini mesti ditempuh, sebagai bagian dari ikhtiar kita untuk menjaga kesehatan.

Seperti misalnya, menghindari kontak dengan orang yang terkena penyakit ini.

Dalam hadits disebutkan : Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda,

لا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ علَى مُصِحٍّ وأَنْكَرَ أبو هرَيْرَةَ حَدِيثَ الأوَّلِ، قُلْنا: ألَمْ تُحَدِّثْ أنَّهُ: لا عَدْوَى فَرَطَنَ بالحَبَشِيَّةِ، قالَ أبو سَلَمَةَ: فَما رَأَيْتُهُ نَسِيَ حَدِيثًا غَيْرَهُ.

“Janganlah sekali-kali orang yang sakit didatangkan kepada orang yang sehat.” Dan Abu Hurairah mengingkari hadits yang pertama. Kami mengatakan: Bukankah engkau telah meriwayatkan hadits, “Tidak ada yang namanya penyakit menular?”. Lantas Abu Hurairah menggerutu dengan bahasa orang Ethiopia. Abu Salamah berkata : “Tidak pernah aku menemukan Abu Hurairah lupa dengan hadits selain hadits ini”. (HR. Al-Bukhari No. 5771)

Pembahasan hadits terkait hal ini menarik. Sebab, Abu Hurairah meriwayatkan hadits [yang itu juga termasuk dalam Shahih Bukhari] yang menyatakan bahwa tidak ada yang namanya penyakit menular (HR. Al-Bukhari No. 5770). Tapi di sisi lain ia juga meriwayatkan hadits yang menyatakan larangan mendatangkan orang sakit kepada orang yang sehat.

Al-Imam An-Nawawi meluruskan hal ini :

“Jumhur ulama menyatakan bahwa wajib mengkompromikan antara dua hadits tersebut dimana keduanya merupakan hadits shahih. Mereka mengatakan : Dan jalan untuk mengkompromikannya adalah bahwa hadits “tidak ada penyakit menular” dimaksudkan untuk menghilangkan keyakinan pada saat jahiliyyah yang menyangka dan meyakini bahwa penyakit dan bala’ itu menular berdasarkan tabiatnya sendiri, bukan karena kuasa Allah.

Sedangkan hadits “tidak boleh orang sakit didatangkan kepada orang yang sehat” maka menjadi petunjuk untuk menjauhi segala hal yang dapat mengakibatkan keburukan di sekitarnya dimana hal itu juga bagian dari kuasa Allah dan ketetapan-Nya. Maka, hadits pertama yang menyatakan tidak ada penyakit menular, maksudnya adalah penyakit tidak menular dan berbahaya dengan tabiat nya sendiri, akan tetapi tidak berarti menafikan kemungkinan menyebarnya penyakit tersebut kepada orang lain dengan kehendak dan kuasa Allah. Sedang hadits kedua memberikan petunjuk untuk menjaga diri dari segala hal yang bisa menjadi sebab bahaya dimana semua itu ada dalam kuasa dan kehendak Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 14/213)

Kemudian Imam Nawawi melanjutkan : “Tidak lantas lupanya Abu Hurairah memberi pengaruh terhadap hadits ‘tidak ada penyakit menular’ [tidak boleh hadits ini dianggap dha’if hanya karena Abu Hurairah lupa dengan haditsnya].

Alasan nya ada dua : 1. Lupa nya periwayat hadits dengan hadits yang diriwayatkannya sendiri tidak membuat haditsnya itu cacat dari segi keshahihan. Ini menurut jumhur ulama. Bahkan mereka tetap mewajibkan beramal dengan hadits seperti itu.

2. Bahwa lafadz seperti hadits Abu Hurairah ini diriwayatkan juga oleh yang lain sebagaimana disebutkan oleh Imam Muslim dari riwayat As-Sa’ib Ibn Yazid, Jabir Ibn Abdillah, Anas Ibn Malik, dan Ibn ‘Umar.” (Syarh Shahih Muslim, 14/213)

Terakhir yang ingin kami katakan: Hanya kepada Allaah As-Syafi, kita berlindung dari segala musibah dan penyakit... Semoga kita bisa memetik hikmah dari semua musibah yang menimpa hari ini...

Mari berdo’a :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ، وَالْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الأَسْقَامِ

“Ya Allaah... Sesungguhnya Aku berlindung kepada engkau dari penyakit kusta, gila, lepra, dan dari penyakit-penyakit yang buruk...” (HR. Abu Dawud No. 1554, An-Nasa’i No. 5493)

🌿💎 Yuk Share! Sebagai bagian dari amal dakwah...

Ngaji FIQH
https://t.me/ngajifiqh

SHALAT BERJAMAAH DENGAN SHAF RENGGANG




• Fatwa didaerah saya tetap melaksanakan shalat jamaah dan jum’at, apakah tetap wajib bagi sy utk shalat jum’at ust?

• Bagaimana hukumnya shalat berjmaah dengan keadaan shaf renggang spt kejadian akhir-akhir ini ust... mohon penjelasannya


Jawaban :

• Perlu diketahui bahwa setiap fatwa memiliki penempatannya masing-masing. Tidak bisa satu fatwa atas suatu masalah dijadikan fatwa untuk masalah lain. Atau, fatwa yang disesuaikan dengan kondisi di suatu wilayah disamakan dengan wilayah lain. Sebab, fatwa dikeluarkan dengan salah satunya melihat kondisi mustafti [orang yang meminta fatwa dan bagaimana kondisi lingkungan di sekitarnya].

Sebagaimana pepatah Arab mengatakan :

لِكُلِّ مٙقٙامٍ مٙقٙالٌ وٙلِكُلِّ مٙجٙالٍ رِجٙالٌ

“Bagi setiap maqam [tempat] ada pembahasan yang sesuai, dan bagi setiap bidang ada pakar yang menangani”

Dari pepatah ini juga dipahami bahwa majal [bidang] fatwa ini memiliki rijal [tokoh-tokoh/orang yang menangani nya] secara khusus. Tidak boleh sembarangan orang mengeluarkan fatwa, padahal ia tidak memiliki wewenang untuk itu.

Bidang kedokteran hanya ditangani oleh para dokter. Begitu juga bidang ekonomi ditangani oleh para ekonom. Hal yang sama juga berlaku dalam fatwa. Fatwa hanya ditangani oleh mufti. Tidak boleh orang seenaknya membuat fatwa. Untuk masalah adab berfatwa dan meminta fatwa, bisa mendalami kitab Adabul Mufti wal Mustafti karya Imam Ibn As-Sholah.

Karena itu jika anda sehat dan daerah anda bukan wilayah yang penyebaran virus nya tinggi, anda tetap wajib untuk shalat jum’at dan berjamaah. Jangan tinggalkan shalat berjamaah dan shalat jum’at. Jangan dengarkan mereka yang membisiki anda untuk meninggalkan shalat jum’at dan berjamaah.

Bagi orang yang memiliki gejala penyakit corona ini, boleh untuk tidak menghadiri shalat jamaah dan bahkan shalat jum’at di masjid. Ini termasuk ke dalam udzur khusus bagi orang yang sakit.

Imam Ibnul Mundzir menegaskan :

لا أعرف خلافا بين أهل العلم أن للمريض أن يتخلف عن الجماعة من أجل المرض

“Aku tidak mengetahui ada khilaf diantara ahli ilmu bahwasanya bagi orang yang sakit untuk tidak menghadiri jamaah sebab sakitnya itu.” (dinukil di dalam Al-Mughni, oleh Imam Ibn Qudamah, Juz 1/Hal. 451)

Penjelasan Imam Ibn Hajar Al-Haitami lebih spesifik :

 نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنْ الْعُلَمَاء أَنَّ الْأَجْذَمَ وَالْأَبْرَصَ يُمْنَعَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ وَمِنْ الْجُمُعَةِ وَمِنْ اخْتِلَاطِهِمَا بِالنَّاسِ ... قَالَ الْقَاضِي قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاء يَنْبَغِي إذَا عُرِفَ أَحَدٌ بِالْإِصَابَةِ بِالْعَيْنِ أَنَّهُ يُجْتَنَبُ لِيُحْتَرَز مِنْهُ وَيَنْبَغِي لِلسُّلْطَانِ مَنْعُهُ مِنْ مُخَالَطَةِ النَّاسِ وَيَأْمُرُهُ بِلُزُومِ بَيْتِهِ وَيَرْزُقُهُ إنْ كَانَ فَقِيرًا. فَإِنَّ ضَرَرَهُ أَشَدُّ مِنْ ضَرَرِ الْمَجْذُومِ الَّذِي مَنَعَهُ عُمَرُ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - وَالْعُلَمَاءُ بَعْدَهُ مِنْ الِاخْتِلَاطِ بِالنَّاسِ قَالَ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ.

“Qadhi ‘Iyadh menukil dari para ulama bahwasanya para penderita kusta dan penderita sopak mesti dilarang untuk pergi ke masjid, dan pergi shalat jum’at dimana ia dilarang untuk berbaur dengan manusia [isolasi] ... Qadhi Iyadh berkata kembali : Berkata sebagian ulama bahwasanya wajib jika seseorang diketahui terkena penyakit ‘ain, agar ia di isolasi semata-mata menjaga masyarakat dari penyakitnya. Oleh karena itu wajib bagi pemerintah untuk melarang para penderita penyakit itu dari berbaur dengan masyarakat. Pemerintah wajib memerintahkan nya untuk berdiam diri di rumah dan oleh karenanya wajib menyediakan kebutuhannya jika ia termasuk orang yang fakir. Bahaya dari penyakit ini lebih besar dari bahaya penyakit kusta dimana Umar radhiyallaahu ‘anhu dan para ulama setelahnya melarang penderita kusta untuk berbaur dengan masyarakat. Ini merupakan perkataan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, 1/212)

Orang yang terkena penyakit corona ini wajib di isolasi dan oleh karena nya tidak wajib baginya menghadiri shalat jum’at dan jamaah. Jika ia termasuk fakir miskin, pemerintah  wajib menjamin kebutuhannya karena ia -dalam kondisi demikian- tidak bisa bekerja mencari nafkah.

• Hukum asalnya merapatkan  shaf [barisan] jamaah adalah sunnah.

(و) يستحب (تسوية الصفوف، والأمر بذلك) لكل أحد (و) هو (من الإمام) ولو بنائبه (آكد) والمراد به تعديلها، والتراص فيها، ووصلها، وسد فرجها، وتقاربها، وتحاذي القائمين بحيث لا يتقدم صدر واحد ولا شيء منه على مَنْ بجنبه، ولا يشرع في الثاني حتى يتم الذي قبله، فإن خالف في شيء من ذلك .. كره

“Dan disunnahkan meluruskan shaf, dan memerintahkan untuk hal itu bagi setiap orang [yang menghadiri shalat]. Perkara ini bagi imam -atau pun wakilnya- amat ditekankan. Dan maksud “taswiyah as-shufuf” ialah meratakan barisan; merekatkan barisan; menyambung barisan; menutup celah yang ada; mendempetkan antar makmum; menyejajarkan barisan dimana tidak ada dada atau bagian tubuh lain yang lebih maju daripada orang yang ada disampingnya.

Juga tidak diperkenankan membuat barisan kedua sebelum barisan pertama terisi sempurna. Jika salah satu dari perkara ini dilanggar ... jatuh ke dalam perkara makruh” (Sa’id Al-Hadhromi, Syarh Al-Muqaddimah Al-Hadhromiyyah, hal. 236)

Dalil nya ialah hadits :

  أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ. لَمْ يَقُلْ عِيسَى: ((بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ)). وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ

“Tegakkan lah barisan kalian serta sejajarkan lah antara pundak kalian. Isilah bagian shaf yang kosong dan lenturkan bagian tubuh kalian yang ada disamping tangan saudara kalian [agar barisan bisa disesuaikan dan tidak ada celah]. (‘Isa tidak menyebutkan : disamping tangan saudara kalian...)

Jangan tinggalkan celah-celah bagi syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, maka Allah Ta’ala akan menyambung nya [memberi nya rahmat]... Dan barangsiapa memutus shaf, maka Allah Ta’ala akan memutusnya [memberinya laknat]” (HR. Abu Dawud No. 666, At-Thabrani [13/319]. Di shahihkan oleh Imam An-Nawawi di dalam Al-Khulashoh [2473]).

Maka, tindakan memberi jarak pada shaf [seperti ramai terjadi di beberapa masjid] sebagai langkah mencegah penyebaran virus, termasuk ke dalam perkara makruh. Syaikh Ahmad Hajin -guru kami- menyatakan bahwa hal tersebut tidak mengapa dilakukan dan shalat berjamaah nya tetap sah. Di sisi lain kita mengetahui kebutuhan untuk mengerjakan hal itu bersifat dharuri [urgent, mau tidak mau mesti dikerjakan]. Berbeda jika tidak ada kebutuhan; maka perbuatan tersebut bisa jatuh kepada batalnya shalat berjamaah [menurut sebagian pendapat]. Wallahu a’lam.

🌸🌿 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar

Ngaji FIQH
https://chat.whatsapp.com/5SsivFXiBGVDVXUcy2fo7w

www.instagram.com/ngaji_fiqh

BAHASA ARAB ADALAH KUNCI #2



Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata,

ولا شكَّ أنَّ علم اللغة من الدين؛ لأنه من الفروضِ الكفايات، وبه تُعرفُ معاني ألفاظ القرآن والسنة

“Dan tidak ada keraguan lagi bahwasanya ilmu bahasa Arab adalah bagian dari agama Islam. Karena ia merupakan ilmu yang wajib dipelajari secara kifayah [jika tidak ada yang mempelajarinya sama sekali, kaum muslimin seluruhnya berdosa]. Dan dengannya pula diketahui makna-makna lafadz Al-Qur’an dan As-Sunnah.” (Al-Mazhar, 2/302)

Al-Imam As-Syathibi rahimahullah berkata,

وإذا فرضنا مبتدئًا في فهمِ العربية فهو مبتدئ في فهم الشَّريعة، أو متوسطًا فهو متوسطٌ في فهم الشريعة، والمتوسط لم يبلغْ درجةَ النهاية، فإذا انتهى إلى الغايةِ في العربية كان كذلك في الشَّريعة، فكان فهمه فيها حجة، كما كان فهمُ الصحابة وغيرهم من الفصحاءِ الذين فهموا القرآن حجةً، فمن لم يبلغ شأوهم، فقد نقصه من فهمِ الشريعة بمقدار التقصير عنهم، وكل من قصر فهمه لم يكن حجة، ولا كان قوله مقبولاً

“Seandainya kita menentukan bahwa seseorang masih dalam level pemula dalam keilmuan bahasa Arab, maka bisa langsung dikatakan ia juga pemula dalam ilmu syari’ah. Atau, jika seseorang dianggap keilmuan bahasa Arabnya masih dalam level mutawasith [menengah], maka dia pun dalam keilmuan syari’ah dianggap masih berada dalam level menengah. Dan yang namanya level menengah berarti belum sampai level puncak. Jika seseorang telah sampai level puncak dalam keilmuan bahasa Arab, maka ia dianggap telah sampai level puncak dalam keilmuan syari’ah.

Pemahamannya terhadap syari’ah pada saat itu bisa dianggap hujjah [diikuti]. Sebagaimana pemahaman para sahabat dan selain mereka [dari para mujtahid] yang memiliki kefasihan dalam bahasa Arab dan memahami Al-Qur’an secara mendalam, bisa dianggap sebagai hujjah [diikuti].

Dan barangsiapa yang belum sampai titik akhir ini, maka kurangnya ia dalam memahami syari’ah sesuai dengan kadar kekurangannya dalam memahami Bahasa Arab. Setiap orang yang pemahamannya masih kurang/timpang tidak bisa dijadikan hujjah [diikuti]. Dan tentu saja ucapannya tidak bisa diterima [sebagai pendapat syar’i].” (Al-Muwafaqat, 5/53)

Ngaji BAHASA ARAB
https://t.me/ngajiArab

BAHASA ARAB ADALAH KUNCI

Al-Imam As-Syathibi rahimahullaah menulis,

ولما كان الكتاب والسنة واردين بلغة العرب، وكانت لهم عادات في الاستعمال، بها يتميز صَرِيحِ الْكَلَامِ وَظَاهِرِهِ وَمُجْمَلِهِ، وَحَقِيقَتِهِ وَمَجَازِهِ، وَعَامِّهِ وخاصه، ومحكمه ومتشابهه، ونصه وفحواه، إلى غير ذلك؛ كان لا بد -لطالب الشريعة من هذين الأصلين- أن يكون على علم بلسان العرب في مناحي خطابها، وما تنساق إليه أفهامُها في كلامها؛ فكان حذق اللغة العربية بهذه الدرجة ركنا من أركان الاجتهاد؛ كما تقرر ذلك عند عامة الأصوليين، وفي مقدمتهم الإمام الشافعي -رضي الله عنه- في "رسالة الأصول".

“Tatkala Al-Kitab/Al-Qur’an dan Sunnah diriwayatkan dengan bahasa bangsa Arab, kemudian mereka memiliki nilai-nilai dalam penggunaan bahasa tersebut, maka dengannya dapat dibedakan mana ucapan sharih [to the point], dzohir [nampak luar], dan mujmal [global]; mana hakikat dan mana majaz [perumpamaan]; mana ‘am [kalimat umum] dan mana khas [kalimat khusus]; mana muhkam dan mana mutasyabih; mana teks dan mana fahwa-nya [maksud teks]; dan sebagainya.

Oleh karena nya, wajib bagi para penuntut syari’at -dimana syari’at diambil dari dua sumber ini- agar ia memiliki ilmu bahasa Arab sejauh jangkauan ucapannya, dan memahami pemahaman-pemahaman yang dirangkai dari kedalaman kata bahasa Arab.

Penguasaan bahasa Arab dengan tingkatan seperti ini merupakan asas diantara asas berijtihad, sebagaimana yang sudah disepakati oleh mayoritas ulama ushul, dimana yang mengepalai mereka adalah Al-Imam As-Syafi’I radhiyallaahu ‘anhu di dalam Risalah Al-Ushul.” (Muqaddimah Al-Muwafaqat, hal. 4)

Ngaji BAHASA ARAB
https://t.me/ngajiArab

TIDAK SHALAT JAMA’AH KARENA WABAH DAN SHALAT MENGGUNAKAN CADAR/MASKER


Soal 1:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, apakah wabah penyakit termasuk dalam udzur untuk tidak sholat berjamaah di masjid.?

Soal 2:

Ustadz, bagaimana hukumnya seseorang shalat menggunakan cadar atau masker?

Jawaban :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Sesungguhnya wabah corona yang tersebar hari ini seharusnya semakin mengingatkan kita bahwa manusia tidak memiliki kuasa dan kekuatan apapun untuk mengendalikan dunia. Ummat manusia tidak boleh jumawa dengan pencapaian teknologi dan ilmu pengetahuan yang mereka raih.

Adapun terkait pertanyaan pertama, maka jawabannya sebagaimana jawaban guru-guru kami : boleh jika memang itu diyakini sebagai langkah untuk mencegah penyebaran penyakit. Apalagi jika ada fatwa ulama di negerinya sendiri memerintahkan untuk demikian, sebagaimana yang terjadi di Kuwait.

Pertama-tama kita katakan bahwa shalat berjamaah untuk shalat lima waktu hukumnya fardhu kifayah. Sedangkan khusus untuk shalat jum’at, hukumnya fardhu ‘ain menurut kesepakatan ulama.

Di dalam kitab Al-Mu’tamad fil Fiqh As-Syafi’I :

صلاة الجماعة في الجمعة فرض عين باتفاق، فلا تصح بانفراد كما سيأتي، أما في سائر الصلوات فالجماعة فرض كفاية في الأصح المنصوص للرجال المقيمين في أداء المكتوبة بحيث يظهر بها شعار الجماعة في بلد أو محل ما. سواء في ذلك المدينة والقرية، الصغيرة والكبيرة، ولا تسقط فرضيتها عن أهل البلد إلا بإظهارها، فلو أطبقوا على إقامتها في البيوت، ولم يظهر بها الشعار، لم يسقط الفرض

“Shalat berjamaah untuk shalat jum’at hukumnya fardhu ‘ain menurut kesepakatan ulama. Maka tidak sah berkesendirian sebagaimana yang akan dibahas. Adapun shalat-shalat lima waktu yang lain maka berjamaah hukumnya fardhu kifayah, menurut pendapat yang paling shahih dan tertulis [dalam madzhab], bagi para laki-laki yang bermukim.

Tolok ukurnya adalah dengan nampaknya syi’ar shalat berjamaah ditegakkan di suatu negeri atau daerah. Baik itu di wilayah perkotaan maupun perkampungan. Baik wilayahnya kecil maupun besar. Dan tidak terpenuhi tuntutan kewajibannya atas penduduk suatu wilayah kecuali dengan menampakkannya secara terang. Misal seandainya mereka menyelenggarakan shalat berjamaah itu di rumah-rumah, dan tidak nampak syi’ar berjamaahnya, maka yang seperti ini tidak dikatakan memenuhi tuntutan kewajiban.” (Al-Mu’tamad fil Fiqh As-Syafi’I, 1/405)

Disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu’ :

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا الصَّحِيحُ أَنَّهَا فَرْضُ كِفَايَةٍ وَبِهِ قَالَ طَائِفَةٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ وَقَالَ عَطَاءٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ هِيَ فَرْضٌ عَلَى الْأَعْيَانِ لَيْسَتْ بِشَرْطٍ لِلصِّحَّةِ وَقَالَ دَاوُد هِيَ فَرْضٌ عَلَى الْأَعْيَانِ وَشَرْطٌ فِي الصِّحَّةِ وَبِهِ قَالَ بَعْضِ أَصْحَابِ أَحْمَدَ وَجُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهَا لَيْسَتْ بِفَرْضِ عَيْنٍ وَاخْتَلَفُوا هَلْ هِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ أَمْ سُنَّةٌ وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ ذَهَبَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ إلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ لَا فَرْضُ كِفَايَةٍ

“Telah kami sebutkan bahwa pendapat madzhab kami [madzhab Syafi’I] yang paling sesuai bahwasanya shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Itu pula lah pendapat sekelompok ulama. Adapun pendapat Atha’, Al-‘Auza’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir bahwasanya shalat berjamaah itu fardhu ‘ain namun bukan sebagai syarat sah shalat. Sedangkan Dawud [madzhab dzohiri] mengatakan bahwa ia fardhu ‘ain dan menjadi syarat sah shalat. Pendapat terakhir ini dikatakan pula oleh sebagian pengikut Ahmad.

Pendapat mayoritas ulama menyatakan shalat berjamaah bukanlah fardhu ‘ain. Namun mereka berselisih dalam hal : Apakah ia fardhu kifayah atau sunnah?. Qadhi ‘Iyadh mengatakan : Sebagian besar ulama memandang bahwa shalat berjamaah hukumnya sunnah mu’akkadah dan bukan fardhu kifayah.” (Al-Majmu’, 4/189)

*Fardhu Kifayah : Kewajiban yang mesti ditunaikan minimal oleh segelintir orang dari kaum muslimin. Sedangkan fardhu ‘ain : kewajiban yang mesti ditunaikan oleh tiap-tiap individu kaum muslimin. Tidak bisa terwakili oleh yang lain.

Yang menjadi dalil pendapat madzhab Syafi’I [bahwa shalat berjamaah bukanlah fardhu ‘ain] ialah hadits riwayat Ibn ‘Umar :

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat berjamaah itu lebih baik dari shalat sendirian dengan pahala 27 kali lipat.” (Muttafaq ‘Alayh)

Seandainya shalat berjamaah itu fardhu ‘ain, dan shalat sendirian adalah perbuatan dosa, tentu tidak akan disebutkan keduanya sebagai perbandingan dalam tafdhil [keutamaan]. Seolah-olah dikatakan, “baik shalat berjamaah maupun shalat sendirian keduanya perbuatan baik; namun shalat berjamaah lebih baik dari shalat sendirian 27 kali lipat”.

Sedangkan dalil bahwa shalat berjamaah lima waktu adalah fardhu kifayah, dan bukan sunnah, adalah hadits riwayat Abu Ad-Darda:

ما مِن ثلاثةٍ في قريةٍ ولا بدوٍ لا تقامُ فيهمُ الصَّلاةُ إلَّا قدِ استحوذَ عليْهمُ الشَّيطانُ فعليْكم بالجماعةِ فإنَّما يأْكلُ الذِّئبُ القاصيةَ

“Kalaulah ada tiga orang laki-laki di suatu pemukiman atau padang sahara, tidak ditegakkan di dalamnya shalat [maksudnya berjamaah shalat], melainkan syetan akan menguasai mereka. Maka hendaknya kalian menegakkan shalat berjamaah, karena sungguh seekor serigala hanya akan memangsa [ternak] yang bersendirian.” (HR. Abu Dawud No. 547, An-Nasa’i No. 847)

Pelaksanaan shalat berjamaah ini wajib di masjid, sebagaimana yang telah disebutkan. Sebagai bagian dari syi’ar Islam.

Kemudian kembali ke inti soal: jika dikhawatirkan tersebarnya wabah penyakit, apakah boleh tidak dilaksanakan shalat jama’ah atau bahkan shalat jum’at?

Hai’ah Kibar Al-Ulama Al-Azhar telah mengeluarkan edaran tertulis berkenaan dengan bolehnya tidak melaksanakan shalat berjamaah dan shalat jum’at di masjid, jika ada himbauan dari pemerintah setempat untuk itu.

Hai’ah Kibar Ulama menulis :

ولما كان من أعظم مقاصد شريعة الإسلام حفظ النفوس وحمايتها ووقايتها من كل الأخطار والأضرار؛ فإنّ هيئة كبار العلماء -انطلاقا من مسؤولياتها الشرعية- تحيط المسؤولين في كافة الأرجاء علما بأنّه يجوز شرعا إيقاف الجمع والجماعات في البلاد؛ خوفا من تفشي الفيروس وانتشاره والفتك بالبلاد والعباد.

“Tatkala diantara maqashid syari’ah yang paling urgent dijaga adalah hifdzun nafs [menjaga nyawa manusia], serta perlindungan dan pemeliharaannya dari segala macam bahaya dan keburukan; maka Hai’ah Kibar Ulama -berangkat dari tanggung jawabnya secara syar’i- meliputi orang-orang yang bertanggung jawab di seluruh penjuru memberi keterangan bahwasanya boleh secara syar’i memberhentikan shalat jum’at dan berjamaah di seluruh negeri; jika ditakutkan meluasnya wabah virus dan penyebarannya dimana virus itu menghancurkan banyak negeri dan membunuh ummat manusia.”

Dalilnya ialah hadits riwayat Ibn ‘Abbas :

قالَ ابنُ عبَّاسٍ لِمُؤَذِّنِهِ في يَومٍ مَطِيرٍ: إذا قُلْتَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسولُ اللَّهِ، فلا تَقُلْ حَيَّ علَى الصَّلاةِ، قُلْ: صَلُّوا في بُيُوتِكُمْ، فَكَأنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا، قالَ: فَعَلَهُ مَن هو خَيْرٌ مِنِّي، إنَّ الجُمْعَةَ عَزْمَةٌ وإنِّي كَرِهْتُ أنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُونَ في الطِّينِ والدَّحَضِ

“Berkata Ibn ‘Abbas kepada petugas adzannya di hari dimana hujan turun dengan dahsyat : Jika kamu telah mengucapkan [dalam adzan] “Asyhadu anna Muhammad Rasulullah”, maka jangan ucapkan “hayya ‘ala as-shalah”. Tapi katakanlah, “shollu fi buyutikum” [Shalatlah kalian di rumah kalian].

Maka orang-orang nampak mengingkari perbuatan Ibn ‘Abbas ini. Maka Ibn ‘Abbas berkata : Sungguh telah berbuat seperti ini orang yang lebih baik dariku [maksudnya Rasulullah]. Sesungguhnya jum’at itu kewajiban asasi bagi kalian, dan aku enggan membuat berat kalian dengan berjalan di dalam lumpur hingga kalian bisa-bisa tergelincir dan terjatuh.” (HR. Al-Bukhari No. 901)

Jika hujan dahsyat yang membuat medan jalan berat dan berbahaya, membuat seseorang boleh tidak berangkat ke masjid untuk shalat jum’at; maka tentu adanya wabah virus -jika memang wilayah tersebut beresiko tinggi tersebar virus- dapat menjadi alasan untuk dihentikan sementara pelaksanaan shalat jum’at atau shalat jama’ah.

Ini tentu bagi wilayah yang beresiko tinggi tersebarnya wabah virus. Jika pemerintah setempat tidak menghimbau untuk menghentikan sementara aktivitas shalat berjamaah dan shalat jum’at, maka tidak perlu ada kekhawatiran soal itu.

Untuk soal yang kedua : Bolehkan menggunakan masker bagi laki-laki, dan cadar bagi perempuan ketika shalat?

Hukum asalnya hal tersebut makruh, berdasarkan hadits :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاَةِ وَأَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ

“bahwasanya Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam melarang sadl [menjulurkan pakaian atas hingga ke tanah] di dalam shalat dan melarang seorang laki-laki menutup mulutnya”. (HR. Abu Dawud No. 643)

Al-Imam An-Nawawi berkata :

هَذَا الْحَدِيثُ رَوَاهُ أَبُو دَاوُد بِإِسْنَادٍ فِيهِ الْحَسَنُ بْنُ ذَكْوَانَ وَقَدْ ضَعَّفَهُ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَالنَّسَائِيِّ وَالدَّارَقُطْنِيِّ لَكِنْ رَوَى لَهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ وَقَدْ رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَلَمْ يُضَعِّفْهُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ وَيُكْرَه أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُتَلَثِّمًا أَيْ مُغَطِّيًا فَاهُ بِيَدِهِ أَوْ غَيْرِهَا وَيُكْرَه أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فَمِهِ فِي الصَّلَاةِ إلَّا إذَا تَثَاءَبَ فَإِنَّ السُّنَّةَ وَضْعُ الْيَدِ عَلَى فِيهِ فَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ إنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " إذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ " وَالْمَرْأَةُ وَالْخُنْثَى كَالرَّجُلِ فِي هَذَا وَهَذِهِ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ لا تمنع صحة الصَّلَاةِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad di dalamnya Al-Hasan Ibn Dzakwan, dan ia telah di dha’ifkan oleh Yahya Ibn Ma’in, An-Nasa’i, Ad-Daraquthni. Akan tetapi Imam Bukhari meriwayatkannya di dalam shahih-nya dan Imam Abu Dawud meriwayatkannya namun tidak mendha’ifkannya. Wallahu a’lam.

Dan dimakruhkan bagi laki-laki shalat dengan mutalatsim, yakni menutup mulutnya dengan tangan atau selainnya. Juga dimakruhkan meletakkan tangannya di mulutnya saat shalat kecuali jika menguap, karena pada saat itu disunnahkan meletakkan tangannya. Di dalam shahih Muslim diriwayatkan dari Abi Sa’id, bahwa Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda, “jika salah seorang diantara kalian menguap maka tahanlah mulutnya dengan tangannya. Karena syetan bisa masuk ke dalamnya”.

Hukum bagi perempuan serta khuntsa [berkelamin ganda] sama seperti hukum bagi laki-laki dalam masalah ini. Dan kemakruhan ini adalah kemakruhan tanzih, tidak mencegah sah nya shalat. Wallahu a’lam.” (Al-Majmu’, 3/179)

Tentu saja dengan catatan, tidak menutupi bagian kening dari tempat sujud. Sebab, jika ada sesuatu yang menghalangi kening, dari pakaian/kain yang kita pakai, maka shalatnya tersebut batal berdasarkan madzhab syafi’i.

Hukum kemakruhan ini berlaku jika tidak ada hajat yang menuntut menggunakan masker atau cadar. Jika ada hajat maka hukumnya tidak makruh. (lihat, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41/135). Wallahu a’lam.