Tuesday, April 7, 2020
HENTIKAN PERDEBATAN SOAL FATWA TERKAIT SHALAT JUM’AT!
Oleh : Muhammad Rivaldy Abdullah
Di media sosial ramai orang berdebat dan berselisih seputar fatwa kebolehan meninggalkan shalat jum’at. Tidak sedikit diantaranya malah berujung saling ejek.
Padahal, semestinya kita mampu bersikap dewasa dalam menyikapi fatwa tersebut. Termasuk juga dewasa menyikapi fatwa yang isinya tetap mewajibkan shalat jum’at.
Kedua fatwa tersebut muncul dari orang-orang yang berkompeten [mufti] dan masing-masing memiliki argumentasi yang dapat diterima. Bisa jadi fatwa yang pertama yang benar. Atau malah bisa jadi fatwa yang kedua yang benar. Ini ranah ikhtilaf.
Majelis Ulama Indonesia sendiri dalam fatwanya memberi catatan :
Point Fatwa No. 3 -
>> Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu atau rawatib, tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya.
b. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona. Seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun. <<
MUI Pusat sendiri telah memisahkan fatwa untuk masyarakat di wilayah yang potensi penularan wabahnya tinggi, dengan masyarakat di wilayah yang potensi penularannya rendah. MESTI DIBEDAKAN.
Kemudian point selanjutnya lebih jelas :
Point Fatwa No. 4 dan 5 - >>
4. Dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing.
Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jemaah shalat lima waktu atau rawatib, shalat tarawih, dan ied, (yang dilakukan) di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
5. Dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat. <<
Lihat, betapa lugas dan bijak point-point fatwa dari MUI. Tidak semua wilayah di Indonesia wajib meliburkan shalat jamaah dan shalat jum’at. Jika memang pemerintah dan ulama daerah memandang bahwa tidak perlu ada penutupan shalat jum’at dan jamaah, maka tetap wajib shalat jum’at. Kabarnya Masjid Istiqlal sendiri tetap menyelenggarakan shalat jum’at.
Semestinya yang kita lakukan saat ini bukan lah berdebat dan saling ejek terkait fatwa tersebut. Tapi yang mesti kita lakukan adalah banyak berdo’a, dan memohon ampun kepada Allah.
Termasuk, melakukan aktivitas AMAR MA’RUF NAHYI MUNKAR, mengingatkan kaum muslimin agar kembali pada syari’at Allah dan meninggalkan maksiat.
Al-Imam Ibn Katsir di dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah [Juz 16/Hal. 93-34] menulis rekam sejarah :
ثم دخلت سنة ثمان وسبعين وأربعمائة
في المحرم منها زلزلت أرجان فهلك خلق كثير من الروم ومواشيهم ، وفيها كثرت الأمراض بالحمى والطاعون بالعراق والحجاز والشام ، وأعقب ذلك موت الفجأة ، ثم ماتت الوحوش في البرية ، ثم تلاه موت البهائم حتى عزت الألبان واللحمان ، ومع هذا كله وقعت فتنة عظيمة بين الروافض والسنة فقتل خلق كثير .
وفي ربيع الأول هاجت ريح سوداء وسفت رملا وتساقطت أشجار كثيرة من النخيل وغيرها ، ووقعت صواعق في البلاد حتى ظن الناس أن القيامة قد قامت ثم انجلى ذلك ولله الحمد .
“Kemudian sejarah berlanjut pada Tahun 478 H.
Di bulan Muharram, terdapat diantaranya gempa bumi melanda kota Arrajan, yang mengakibatkan tewasnya banyak penduduk Romawi dan hewan-hewan ternak mereka.
Di bulan itu mewabah berbagai penyakit berupa demam dan tha’un di wilayah Irak, Hijaz, dan Syam. Diikuti kemudian oleh banyaknya kematian mendadak, dan kematian banyak hewan liar di tanah-tanah liar serta hewan-hewan gembalaan. Kondisi tersebut mengakibatkan sedikitnya pasokan susu dan daging [bahan pangan]. Diperparah kemudian dengan peristiwa besar yang terjadi antara kelompok Rafidhah dengan Ahlussunnah. Dari peristiwa tersebut banyak berjatuhan korban tewas.
Di bulan Rabi’ Al-Awwal, berguncang angin pekat yang membawa pasir [badai pasir]. Banyak pohon-pohon tumbang baik pohon kurma maupun selainnya. Di berbagai negeri petir banyak menyambar hingga banyak orang menyangka bahwa kiamat telah terjadi. Namun kemudian semua itu akhirnya bisa terlewati, walillahil hamd.”
Apa yang menjadi rahasia terbebasnya ummat manusia dari musibah demikian? Wallahu a’lam, hanya Allah yang Tahu. Namun Imam Ibn Katsir menulis :
وفيها خرج توقيع الخليفة المقتدي بأمر الله بتجديد الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر في كل محلة والأمر بإلزام أهل الذمة بالغيار وكسر الملاهي وإراقة الخمور وإخراج أهل الفساد .
“Pada tahun itu dikeluarkan surat keputusan khalifah Al-Muqtadi Bi Amrillah yang memerintahkan untuk memperbaharui aktivitas AMAR MA’RUF NAHYI MUNKAR di setiap penjuru negeri. Diantaranya :
- Mewajibkan kembali Ahludz Dzimmah untuk mengenakan Ghiyar [semacam tanda pengenal khusus untuk ahludz dzimmah],
- Memerintahkan penghancuran ALAT-ALAT HIBURAN yang melalaikan,
- Memerintahkan pemusnahan MIRAS,
- Memerintahkan untuk mengusir para pelaku maksiat dan kerusakan.”
Sungguh, kita dapat mengambil ‘ibrah [pelajaran] dari peristiwa sejarah yang pernah dilalui oleh ummat manusia, dan bagaimana sikap pemerintah beserta ummat Islam pada saat itu dalam menyikapi musibah.
Saat gempa terjadi di bumi Madinah, ‘Umar Ibnul Khattab radhiyallaahu ‘anhu langsung mengingatkan manusia :
يا أيها الناس ما أسرع ما أحدثتم، لإن عادت لأخرجن من بين أظهركم
“Wahai manusia! Betapa cepatnya kalian melakukan dosa, seandainya gempa ini datang lagi maka aku akan keluar dari hadapan kalian [yaitu meninggalkan kota Madinah].” (Al-Fitan, hal. 377, & As-Sunan Al-Kubra, 3/342)
Begitu pula sikap Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tatkala terjadi musibah gempa :
يا أيها الناس ! إن ربكم يستعتبكم فأعتبوه
“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah menginginkan kalian untuk kembali, maka kembalilah pada-Nya.” (Tafsir At-Thabari, 17/478)
Bukan dengan debat dan sumpah serapah. Yang harus kita ingatkan kepada ummat adalah kemaksiatan mereka yang harus segera mereka tinggalkan...
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari [akibat] perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar].” (QS. Ar-Rum : 41)
#share
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment