Friday, April 17, 2020

SHAUM SETELAH NISHFU SYA’BAN, HUKUMNYA HARAM?




Asslmkm.... pak ustad, mau tanya. Apakah boleh setelah nisfu syaban kita melaksanakan puasa? Ada yg bilang tdk boleh


Jawaban :

Wa’alaykumussalaam warahmatullah wabarakaatuh...

Dalam masalah ini terdapat hadits yang memang melarang shaum setelah nishfu sya’ban [pertengahan bulan sya’ban, yakni tanggal 16 sampai 30 sya’ban]. Hadits tersebut ialah hadits berikut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda :

إِذٙا انْتٙصٙفٙ شٙعْبٙانُ، فٙلٙا تٙصُوْمُوْا

“Jika telah masuk pertengahan sya’ban, maka janganlah kalian shaum” (HR. Abu Dawud No. 2337, Misykatul Mashobih No. 1974)

Di redaksi yang lain :

إِذٙا بٙقِيٙ نِصْف مِنْ شٙعْبٙان فٙلٙا تٙصُوْمُوْا

“Jika tersisa pertengahan kedua dari bulan Sya’ban, maka janganlah kalian shaum” (HR. At-Tirmidzi No. 738)

Syaikh Al-Mubarakfuri menyebutkan dalam Syarh Sunan At-Tirmidzi :

وقد قطع كثير من الشافعية بأن ابتداء المنع من أول السادس عشر من شعبان بحديث أبي هريرة مرفوعا إذا انتصف شعبان فلا تصوموا أخرجه أصحاب السنن وصححه بن حبان وغيره

“Banyak dari kalangan ulama madzhab Syafi’I telah menetapkan bahwasanya mulainya larangan tersebut [shaum di bulan sya’ban] itu dimulai dari tanggal 16 sya’ban, sebab adanya hadits riwayat Abu Hurairah secara marfu’ : “Jika telah masuk pertengahan sya’ban, maka janganlah kalian shaum”. Hadits ini dikeluarkan oleh para pemilik sunan, dan dishahihkan oleh Imam Ibn Hibban dan selain beliau.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/296)

Sebagian ulama memandang hadits ini mardud [tertolak] dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum. Alasan mereka :

1. Al-‘Ala Ibn Abdirrahman bertafarrud [menyendiri] dalam riwayat hadits ini, daripada ayahnya Abdurrahman Ibn Ya’qub. Menurut mereka aneh jika hadits ini tidak diriwayatkan oleh ashab [murid-murid] Abu Hurairah yang lain padahal tema dalam hadits ini begitu penting.

Murid-murid [ashab] Abu Hurairah, seperti : Al-Muharrar Ibn Abi Hurairah [putra Abu Hurairah sendiri], Marwan Ibn Al-Hakam, Qabishah Ibn Dzu’aib, Abdullah Ibn Tsa’labah, Sa’id Ibn Al-Musayyib, ‘Urwah Ibn Az-Zubair, Sulayman Ibn Yasar, dll tidak didapati riwayat hadits seperti demikian dari mereka.

2. Mereka menganggap hadits ini menyelisihi riwayat hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah yang menyebutkan justeru Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam banyak melakukan shaum di bulan sya’ban, bahkan hampir-hampir dikatakan beliau shaum sebulan penuh.

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata :

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam tidak pernah shaum sebulan penuh lebih sering dari bulan Sya’ban. Karena sesungguhnya beliau shaum di bulan sya’ban sebulan penuh” (Muttafaq ‘Alayh)

Dan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :

لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ

“Tidak pernah beliau -Baginda Nabi- shaum dalam setahun sebulan penuh kecuali di bulan Sya’ban yang disambung dengan bulan Ramadhan” (HR. Abu Dawud No. 2336, An-Nasa’i No. 2353)

Maksud perkataan Aisyah dan Ummu Salamah : “Rasulullah shaum sebulan penuh di bulan Sya’ban” ialah kebanyakannya. Tidak benar-benar satu bulan penuh sebagaimana Ramadhan.

Sayyidatuna Aisyah mengatakan,

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

“Aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam menyempurnakan shaum sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Dan aku tidak melihat Rasulullah banyak melakukan shaum [lebih banyak] daripada bulan sya’ban.” (Muttafaq ‘Alayh)

Penolakan atas hadits ini dijawab oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah [dalam Tahdzib As-Sunan]:

1. Tafarrud [menyendiri] nya Al-‘Ala dalam riwayat hadits ini tidak dapat dijadikan ‘illah [kecacatan] sehingga hadits ini ditolak.

Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim, dimana Imam Muslim banyak meriwayatkan hadits Al-‘Ala Ibn Abdirrahman dari ayahnya di kitab Shahih beliau.

Tafarrud nya Al-‘Ala Ibn Abdirrahman adalah tafarrud nya seorang periwayat tsiqah [terpercaya, kuat]. Tafarrud yang bisa dijadikan sebagai ‘illah adalah tafarrud dimana seorang periwayat menyebutkan sebuah hadits secara muttashil, sedang yang lain menyebutkan secara mursal. Atau seorang periwayat menyebutkan sebuah hadits sebagai marfu’, sedang yang lain menyebutkan hadits itu secara mauquf. Atau seorang periwayat hadits menambahkan lafadz dari sebuah hadits yang mana periwayat lain tidak menyebutkan tambahan redaksi tersebut dan tambahan tersebut tidak dapat dikompromikan.

Tafarrud nya seorang tsiqah dalam sebuah hadits banyak terdapat di dalam kitab-kitab sunnah dan para ulama Islam mengamalkan hadits-hadits tersebut.

2. Adapun sangkaan bahwa hadits ini menyelisihi riwayat hadits yang menyebutkan shaum nya Nabi sebulan penuh di bulan Sya’ban, maka bisa dijawab dengan : bahwasanya hadits tentang larangan shaum di pertengahan sya’ban adalah bagi mereka yang menyengaja shaum dari tanggal 16 sya’ban.

Sedangkan Rasulullah melaksanakan shaum di bulan Sya’ban sejak awal bulan Sya’ban, sehingga larangan beliau atas shaum di tengah Sya’ban adalah bagi mereka yang memang tidak terbiasa shaum atau tidak melaksanakan shaum dari sejak awal sya’ban.

Pemahaman ini diambil dari hadits Nabi sendiri :

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam ia bersabda :

 لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

"Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan shaum sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan shaum kebiasaannya, maka shaumlah pada hari itu." (HR. Bukhari No. 1815, Muslim No. 1082)

Perkataan Nabi, “kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan shaum kebiasaannya, maka shaumlah pada hari itu” menjadi qarinah sharifah [indikasi yang memalingkan] dari tadinya shaum di pertengahan bulan sya’ban sebagai hal terlarang, menjadi boleh jika orang tersebut memang terbiasa menjalankan shaum.

Maka, bisa dikatakan bahwa hadits larangan shaum sejak pertengahan bulan Sya’ban ini tidak bertentangan dengan hadits yang menunjukkan banyaknya Nabi melakukan shaum di bulan Sya’ban.

Larangan shaum ini juga tidak berlaku jika seseorang masih memiliki utang shaum berupa qadha Ramadhan tahun lalu maupun nadzar. Sebab, kewajiban memenuhi shaum keduanya merupakan perkara qath’iy, sedangkan larangan shaum setelah pertengahan Sya’ban ini dzanniy [diperselisihkan]. (Lihat, Naylul Authar, 4/309)

Oleh karena nya jelas, bahwa shaum di pertengahan bulan Sya’ban tidak terlarang bagi seseorang yang terbiasa melaksanakan shaum sunnah, atau bagi ia yang telah melaksanakan shaum sejak awal Sya’ban. Juga bagi orang yang memiliki utang qadha dan nadzar shaum, wajib segera menyelesaikan utang tersebut walaupun di pertengahan bulan Sya’ban.

Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam As-Syafi’i tertulis :

لكن تنتفي حرمة صوم يوم الشك، والنصف الثاني من شعبان إذا وافق عادة للصائم، أو وصل صيامه بما قبل النصف الثاني من شعبان.
روى البخاري (١٨١٥) ومسلم (١٠٨٢) واللفظ له عن أبي هريرة - رضي الله عنه - عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال: "لا تقدموا رمضان بصوم يوم أو يومين، إلا رجل كان يصوم صوما فليصمه

“Akan tetapi tiada larangan melaksanakan shaum pada hari syak [yakni sehari atau dua hari sebelum Ramadhan] dan shaum di pertengahan kedua bulan Sya’ban, jika memang berbarengan dengan kebiasaan nya untuk shaum atau ia melanjutkan shaum yang telah ia jalani sebelum pertengahan kedua bulan Sya’ban.

Telah meriwayatkan Imam Bukhari [No. 1815] dan Imam Muslim [No. 1082] dan lafadz bagi Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam ia berkata :

Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan shaum sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan shaum kebiasaannya, maka shaumlah pada hari itu.” (Al-Fiqh Al-Manhaji, 2/104).

Demikian jawaban kami, wallahu a’lam.

www.ngaji-fiqh.blogspot.com

No comments:

Post a Comment