Tuesday, April 7, 2020

TIDAK SHALAT JAMA’AH KARENA WABAH DAN SHALAT MENGGUNAKAN CADAR/MASKER


Soal 1:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, apakah wabah penyakit termasuk dalam udzur untuk tidak sholat berjamaah di masjid.?

Soal 2:

Ustadz, bagaimana hukumnya seseorang shalat menggunakan cadar atau masker?

Jawaban :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Sesungguhnya wabah corona yang tersebar hari ini seharusnya semakin mengingatkan kita bahwa manusia tidak memiliki kuasa dan kekuatan apapun untuk mengendalikan dunia. Ummat manusia tidak boleh jumawa dengan pencapaian teknologi dan ilmu pengetahuan yang mereka raih.

Adapun terkait pertanyaan pertama, maka jawabannya sebagaimana jawaban guru-guru kami : boleh jika memang itu diyakini sebagai langkah untuk mencegah penyebaran penyakit. Apalagi jika ada fatwa ulama di negerinya sendiri memerintahkan untuk demikian, sebagaimana yang terjadi di Kuwait.

Pertama-tama kita katakan bahwa shalat berjamaah untuk shalat lima waktu hukumnya fardhu kifayah. Sedangkan khusus untuk shalat jum’at, hukumnya fardhu ‘ain menurut kesepakatan ulama.

Di dalam kitab Al-Mu’tamad fil Fiqh As-Syafi’I :

صلاة الجماعة في الجمعة فرض عين باتفاق، فلا تصح بانفراد كما سيأتي، أما في سائر الصلوات فالجماعة فرض كفاية في الأصح المنصوص للرجال المقيمين في أداء المكتوبة بحيث يظهر بها شعار الجماعة في بلد أو محل ما. سواء في ذلك المدينة والقرية، الصغيرة والكبيرة، ولا تسقط فرضيتها عن أهل البلد إلا بإظهارها، فلو أطبقوا على إقامتها في البيوت، ولم يظهر بها الشعار، لم يسقط الفرض

“Shalat berjamaah untuk shalat jum’at hukumnya fardhu ‘ain menurut kesepakatan ulama. Maka tidak sah berkesendirian sebagaimana yang akan dibahas. Adapun shalat-shalat lima waktu yang lain maka berjamaah hukumnya fardhu kifayah, menurut pendapat yang paling shahih dan tertulis [dalam madzhab], bagi para laki-laki yang bermukim.

Tolok ukurnya adalah dengan nampaknya syi’ar shalat berjamaah ditegakkan di suatu negeri atau daerah. Baik itu di wilayah perkotaan maupun perkampungan. Baik wilayahnya kecil maupun besar. Dan tidak terpenuhi tuntutan kewajibannya atas penduduk suatu wilayah kecuali dengan menampakkannya secara terang. Misal seandainya mereka menyelenggarakan shalat berjamaah itu di rumah-rumah, dan tidak nampak syi’ar berjamaahnya, maka yang seperti ini tidak dikatakan memenuhi tuntutan kewajiban.” (Al-Mu’tamad fil Fiqh As-Syafi’I, 1/405)

Disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu’ :

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا الصَّحِيحُ أَنَّهَا فَرْضُ كِفَايَةٍ وَبِهِ قَالَ طَائِفَةٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ وَقَالَ عَطَاءٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ هِيَ فَرْضٌ عَلَى الْأَعْيَانِ لَيْسَتْ بِشَرْطٍ لِلصِّحَّةِ وَقَالَ دَاوُد هِيَ فَرْضٌ عَلَى الْأَعْيَانِ وَشَرْطٌ فِي الصِّحَّةِ وَبِهِ قَالَ بَعْضِ أَصْحَابِ أَحْمَدَ وَجُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهَا لَيْسَتْ بِفَرْضِ عَيْنٍ وَاخْتَلَفُوا هَلْ هِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ أَمْ سُنَّةٌ وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ ذَهَبَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ إلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ لَا فَرْضُ كِفَايَةٍ

“Telah kami sebutkan bahwa pendapat madzhab kami [madzhab Syafi’I] yang paling sesuai bahwasanya shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Itu pula lah pendapat sekelompok ulama. Adapun pendapat Atha’, Al-‘Auza’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir bahwasanya shalat berjamaah itu fardhu ‘ain namun bukan sebagai syarat sah shalat. Sedangkan Dawud [madzhab dzohiri] mengatakan bahwa ia fardhu ‘ain dan menjadi syarat sah shalat. Pendapat terakhir ini dikatakan pula oleh sebagian pengikut Ahmad.

Pendapat mayoritas ulama menyatakan shalat berjamaah bukanlah fardhu ‘ain. Namun mereka berselisih dalam hal : Apakah ia fardhu kifayah atau sunnah?. Qadhi ‘Iyadh mengatakan : Sebagian besar ulama memandang bahwa shalat berjamaah hukumnya sunnah mu’akkadah dan bukan fardhu kifayah.” (Al-Majmu’, 4/189)

*Fardhu Kifayah : Kewajiban yang mesti ditunaikan minimal oleh segelintir orang dari kaum muslimin. Sedangkan fardhu ‘ain : kewajiban yang mesti ditunaikan oleh tiap-tiap individu kaum muslimin. Tidak bisa terwakili oleh yang lain.

Yang menjadi dalil pendapat madzhab Syafi’I [bahwa shalat berjamaah bukanlah fardhu ‘ain] ialah hadits riwayat Ibn ‘Umar :

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat berjamaah itu lebih baik dari shalat sendirian dengan pahala 27 kali lipat.” (Muttafaq ‘Alayh)

Seandainya shalat berjamaah itu fardhu ‘ain, dan shalat sendirian adalah perbuatan dosa, tentu tidak akan disebutkan keduanya sebagai perbandingan dalam tafdhil [keutamaan]. Seolah-olah dikatakan, “baik shalat berjamaah maupun shalat sendirian keduanya perbuatan baik; namun shalat berjamaah lebih baik dari shalat sendirian 27 kali lipat”.

Sedangkan dalil bahwa shalat berjamaah lima waktu adalah fardhu kifayah, dan bukan sunnah, adalah hadits riwayat Abu Ad-Darda:

ما مِن ثلاثةٍ في قريةٍ ولا بدوٍ لا تقامُ فيهمُ الصَّلاةُ إلَّا قدِ استحوذَ عليْهمُ الشَّيطانُ فعليْكم بالجماعةِ فإنَّما يأْكلُ الذِّئبُ القاصيةَ

“Kalaulah ada tiga orang laki-laki di suatu pemukiman atau padang sahara, tidak ditegakkan di dalamnya shalat [maksudnya berjamaah shalat], melainkan syetan akan menguasai mereka. Maka hendaknya kalian menegakkan shalat berjamaah, karena sungguh seekor serigala hanya akan memangsa [ternak] yang bersendirian.” (HR. Abu Dawud No. 547, An-Nasa’i No. 847)

Pelaksanaan shalat berjamaah ini wajib di masjid, sebagaimana yang telah disebutkan. Sebagai bagian dari syi’ar Islam.

Kemudian kembali ke inti soal: jika dikhawatirkan tersebarnya wabah penyakit, apakah boleh tidak dilaksanakan shalat jama’ah atau bahkan shalat jum’at?

Hai’ah Kibar Al-Ulama Al-Azhar telah mengeluarkan edaran tertulis berkenaan dengan bolehnya tidak melaksanakan shalat berjamaah dan shalat jum’at di masjid, jika ada himbauan dari pemerintah setempat untuk itu.

Hai’ah Kibar Ulama menulis :

ولما كان من أعظم مقاصد شريعة الإسلام حفظ النفوس وحمايتها ووقايتها من كل الأخطار والأضرار؛ فإنّ هيئة كبار العلماء -انطلاقا من مسؤولياتها الشرعية- تحيط المسؤولين في كافة الأرجاء علما بأنّه يجوز شرعا إيقاف الجمع والجماعات في البلاد؛ خوفا من تفشي الفيروس وانتشاره والفتك بالبلاد والعباد.

“Tatkala diantara maqashid syari’ah yang paling urgent dijaga adalah hifdzun nafs [menjaga nyawa manusia], serta perlindungan dan pemeliharaannya dari segala macam bahaya dan keburukan; maka Hai’ah Kibar Ulama -berangkat dari tanggung jawabnya secara syar’i- meliputi orang-orang yang bertanggung jawab di seluruh penjuru memberi keterangan bahwasanya boleh secara syar’i memberhentikan shalat jum’at dan berjamaah di seluruh negeri; jika ditakutkan meluasnya wabah virus dan penyebarannya dimana virus itu menghancurkan banyak negeri dan membunuh ummat manusia.”

Dalilnya ialah hadits riwayat Ibn ‘Abbas :

قالَ ابنُ عبَّاسٍ لِمُؤَذِّنِهِ في يَومٍ مَطِيرٍ: إذا قُلْتَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسولُ اللَّهِ، فلا تَقُلْ حَيَّ علَى الصَّلاةِ، قُلْ: صَلُّوا في بُيُوتِكُمْ، فَكَأنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا، قالَ: فَعَلَهُ مَن هو خَيْرٌ مِنِّي، إنَّ الجُمْعَةَ عَزْمَةٌ وإنِّي كَرِهْتُ أنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُونَ في الطِّينِ والدَّحَضِ

“Berkata Ibn ‘Abbas kepada petugas adzannya di hari dimana hujan turun dengan dahsyat : Jika kamu telah mengucapkan [dalam adzan] “Asyhadu anna Muhammad Rasulullah”, maka jangan ucapkan “hayya ‘ala as-shalah”. Tapi katakanlah, “shollu fi buyutikum” [Shalatlah kalian di rumah kalian].

Maka orang-orang nampak mengingkari perbuatan Ibn ‘Abbas ini. Maka Ibn ‘Abbas berkata : Sungguh telah berbuat seperti ini orang yang lebih baik dariku [maksudnya Rasulullah]. Sesungguhnya jum’at itu kewajiban asasi bagi kalian, dan aku enggan membuat berat kalian dengan berjalan di dalam lumpur hingga kalian bisa-bisa tergelincir dan terjatuh.” (HR. Al-Bukhari No. 901)

Jika hujan dahsyat yang membuat medan jalan berat dan berbahaya, membuat seseorang boleh tidak berangkat ke masjid untuk shalat jum’at; maka tentu adanya wabah virus -jika memang wilayah tersebut beresiko tinggi tersebar virus- dapat menjadi alasan untuk dihentikan sementara pelaksanaan shalat jum’at atau shalat jama’ah.

Ini tentu bagi wilayah yang beresiko tinggi tersebarnya wabah virus. Jika pemerintah setempat tidak menghimbau untuk menghentikan sementara aktivitas shalat berjamaah dan shalat jum’at, maka tidak perlu ada kekhawatiran soal itu.

Untuk soal yang kedua : Bolehkan menggunakan masker bagi laki-laki, dan cadar bagi perempuan ketika shalat?

Hukum asalnya hal tersebut makruh, berdasarkan hadits :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاَةِ وَأَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ

“bahwasanya Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam melarang sadl [menjulurkan pakaian atas hingga ke tanah] di dalam shalat dan melarang seorang laki-laki menutup mulutnya”. (HR. Abu Dawud No. 643)

Al-Imam An-Nawawi berkata :

هَذَا الْحَدِيثُ رَوَاهُ أَبُو دَاوُد بِإِسْنَادٍ فِيهِ الْحَسَنُ بْنُ ذَكْوَانَ وَقَدْ ضَعَّفَهُ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَالنَّسَائِيِّ وَالدَّارَقُطْنِيِّ لَكِنْ رَوَى لَهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ وَقَدْ رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَلَمْ يُضَعِّفْهُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ وَيُكْرَه أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُتَلَثِّمًا أَيْ مُغَطِّيًا فَاهُ بِيَدِهِ أَوْ غَيْرِهَا وَيُكْرَه أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فَمِهِ فِي الصَّلَاةِ إلَّا إذَا تَثَاءَبَ فَإِنَّ السُّنَّةَ وَضْعُ الْيَدِ عَلَى فِيهِ فَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ إنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " إذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ " وَالْمَرْأَةُ وَالْخُنْثَى كَالرَّجُلِ فِي هَذَا وَهَذِهِ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ لا تمنع صحة الصَّلَاةِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad di dalamnya Al-Hasan Ibn Dzakwan, dan ia telah di dha’ifkan oleh Yahya Ibn Ma’in, An-Nasa’i, Ad-Daraquthni. Akan tetapi Imam Bukhari meriwayatkannya di dalam shahih-nya dan Imam Abu Dawud meriwayatkannya namun tidak mendha’ifkannya. Wallahu a’lam.

Dan dimakruhkan bagi laki-laki shalat dengan mutalatsim, yakni menutup mulutnya dengan tangan atau selainnya. Juga dimakruhkan meletakkan tangannya di mulutnya saat shalat kecuali jika menguap, karena pada saat itu disunnahkan meletakkan tangannya. Di dalam shahih Muslim diriwayatkan dari Abi Sa’id, bahwa Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda, “jika salah seorang diantara kalian menguap maka tahanlah mulutnya dengan tangannya. Karena syetan bisa masuk ke dalamnya”.

Hukum bagi perempuan serta khuntsa [berkelamin ganda] sama seperti hukum bagi laki-laki dalam masalah ini. Dan kemakruhan ini adalah kemakruhan tanzih, tidak mencegah sah nya shalat. Wallahu a’lam.” (Al-Majmu’, 3/179)

Tentu saja dengan catatan, tidak menutupi bagian kening dari tempat sujud. Sebab, jika ada sesuatu yang menghalangi kening, dari pakaian/kain yang kita pakai, maka shalatnya tersebut batal berdasarkan madzhab syafi’i.

Hukum kemakruhan ini berlaku jika tidak ada hajat yang menuntut menggunakan masker atau cadar. Jika ada hajat maka hukumnya tidak makruh. (lihat, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41/135). Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment