• Fatwa didaerah saya tetap melaksanakan shalat jamaah dan jum’at, apakah tetap wajib bagi sy utk shalat jum’at ust?
• Bagaimana hukumnya shalat berjmaah dengan keadaan shaf renggang spt kejadian akhir-akhir ini ust... mohon penjelasannya
Jawaban :
• Perlu diketahui bahwa setiap fatwa memiliki penempatannya masing-masing. Tidak bisa satu fatwa atas suatu masalah dijadikan fatwa untuk masalah lain. Atau, fatwa yang disesuaikan dengan kondisi di suatu wilayah disamakan dengan wilayah lain. Sebab, fatwa dikeluarkan dengan salah satunya melihat kondisi mustafti [orang yang meminta fatwa dan bagaimana kondisi lingkungan di sekitarnya].
Sebagaimana pepatah Arab mengatakan :
لِكُلِّ مٙقٙامٍ مٙقٙالٌ وٙلِكُلِّ مٙجٙالٍ رِجٙالٌ
“Bagi setiap maqam [tempat] ada pembahasan yang sesuai, dan bagi setiap bidang ada pakar yang menangani”
Dari pepatah ini juga dipahami bahwa majal [bidang] fatwa ini memiliki rijal [tokoh-tokoh/orang yang menangani nya] secara khusus. Tidak boleh sembarangan orang mengeluarkan fatwa, padahal ia tidak memiliki wewenang untuk itu.
Bidang kedokteran hanya ditangani oleh para dokter. Begitu juga bidang ekonomi ditangani oleh para ekonom. Hal yang sama juga berlaku dalam fatwa. Fatwa hanya ditangani oleh mufti. Tidak boleh orang seenaknya membuat fatwa. Untuk masalah adab berfatwa dan meminta fatwa, bisa mendalami kitab Adabul Mufti wal Mustafti karya Imam Ibn As-Sholah.
Karena itu jika anda sehat dan daerah anda bukan wilayah yang penyebaran virus nya tinggi, anda tetap wajib untuk shalat jum’at dan berjamaah. Jangan tinggalkan shalat berjamaah dan shalat jum’at. Jangan dengarkan mereka yang membisiki anda untuk meninggalkan shalat jum’at dan berjamaah.
Bagi orang yang memiliki gejala penyakit corona ini, boleh untuk tidak menghadiri shalat jamaah dan bahkan shalat jum’at di masjid. Ini termasuk ke dalam udzur khusus bagi orang yang sakit.
Imam Ibnul Mundzir menegaskan :
لا أعرف خلافا بين أهل العلم أن للمريض أن يتخلف عن الجماعة من أجل المرض
“Aku tidak mengetahui ada khilaf diantara ahli ilmu bahwasanya bagi orang yang sakit untuk tidak menghadiri jamaah sebab sakitnya itu.” (dinukil di dalam Al-Mughni, oleh Imam Ibn Qudamah, Juz 1/Hal. 451)
Penjelasan Imam Ibn Hajar Al-Haitami lebih spesifik :
نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنْ الْعُلَمَاء أَنَّ الْأَجْذَمَ وَالْأَبْرَصَ يُمْنَعَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ وَمِنْ الْجُمُعَةِ وَمِنْ اخْتِلَاطِهِمَا بِالنَّاسِ ... قَالَ الْقَاضِي قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاء يَنْبَغِي إذَا عُرِفَ أَحَدٌ بِالْإِصَابَةِ بِالْعَيْنِ أَنَّهُ يُجْتَنَبُ لِيُحْتَرَز مِنْهُ وَيَنْبَغِي لِلسُّلْطَانِ مَنْعُهُ مِنْ مُخَالَطَةِ النَّاسِ وَيَأْمُرُهُ بِلُزُومِ بَيْتِهِ وَيَرْزُقُهُ إنْ كَانَ فَقِيرًا. فَإِنَّ ضَرَرَهُ أَشَدُّ مِنْ ضَرَرِ الْمَجْذُومِ الَّذِي مَنَعَهُ عُمَرُ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - وَالْعُلَمَاءُ بَعْدَهُ مِنْ الِاخْتِلَاطِ بِالنَّاسِ قَالَ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ.
“Qadhi ‘Iyadh menukil dari para ulama bahwasanya para penderita kusta dan penderita sopak mesti dilarang untuk pergi ke masjid, dan pergi shalat jum’at dimana ia dilarang untuk berbaur dengan manusia [isolasi] ... Qadhi Iyadh berkata kembali : Berkata sebagian ulama bahwasanya wajib jika seseorang diketahui terkena penyakit ‘ain, agar ia di isolasi semata-mata menjaga masyarakat dari penyakitnya. Oleh karena itu wajib bagi pemerintah untuk melarang para penderita penyakit itu dari berbaur dengan masyarakat. Pemerintah wajib memerintahkan nya untuk berdiam diri di rumah dan oleh karenanya wajib menyediakan kebutuhannya jika ia termasuk orang yang fakir. Bahaya dari penyakit ini lebih besar dari bahaya penyakit kusta dimana Umar radhiyallaahu ‘anhu dan para ulama setelahnya melarang penderita kusta untuk berbaur dengan masyarakat. Ini merupakan perkataan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, 1/212)
Orang yang terkena penyakit corona ini wajib di isolasi dan oleh karena nya tidak wajib baginya menghadiri shalat jum’at dan jamaah. Jika ia termasuk fakir miskin, pemerintah wajib menjamin kebutuhannya karena ia -dalam kondisi demikian- tidak bisa bekerja mencari nafkah.
• Hukum asalnya merapatkan shaf [barisan] jamaah adalah sunnah.
(و) يستحب (تسوية الصفوف، والأمر بذلك) لكل أحد (و) هو (من الإمام) ولو بنائبه (آكد) والمراد به تعديلها، والتراص فيها، ووصلها، وسد فرجها، وتقاربها، وتحاذي القائمين بحيث لا يتقدم صدر واحد ولا شيء منه على مَنْ بجنبه، ولا يشرع في الثاني حتى يتم الذي قبله، فإن خالف في شيء من ذلك .. كره
“Dan disunnahkan meluruskan shaf, dan memerintahkan untuk hal itu bagi setiap orang [yang menghadiri shalat]. Perkara ini bagi imam -atau pun wakilnya- amat ditekankan. Dan maksud “taswiyah as-shufuf” ialah meratakan barisan; merekatkan barisan; menyambung barisan; menutup celah yang ada; mendempetkan antar makmum; menyejajarkan barisan dimana tidak ada dada atau bagian tubuh lain yang lebih maju daripada orang yang ada disampingnya.
Juga tidak diperkenankan membuat barisan kedua sebelum barisan pertama terisi sempurna. Jika salah satu dari perkara ini dilanggar ... jatuh ke dalam perkara makruh” (Sa’id Al-Hadhromi, Syarh Al-Muqaddimah Al-Hadhromiyyah, hal. 236)
Dalil nya ialah hadits :
أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ. لَمْ يَقُلْ عِيسَى: ((بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ)). وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ
“Tegakkan lah barisan kalian serta sejajarkan lah antara pundak kalian. Isilah bagian shaf yang kosong dan lenturkan bagian tubuh kalian yang ada disamping tangan saudara kalian [agar barisan bisa disesuaikan dan tidak ada celah]. (‘Isa tidak menyebutkan : disamping tangan saudara kalian...)
Jangan tinggalkan celah-celah bagi syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, maka Allah Ta’ala akan menyambung nya [memberi nya rahmat]... Dan barangsiapa memutus shaf, maka Allah Ta’ala akan memutusnya [memberinya laknat]” (HR. Abu Dawud No. 666, At-Thabrani [13/319]. Di shahihkan oleh Imam An-Nawawi di dalam Al-Khulashoh [2473]).
Maka, tindakan memberi jarak pada shaf [seperti ramai terjadi di beberapa masjid] sebagai langkah mencegah penyebaran virus, termasuk ke dalam perkara makruh. Syaikh Ahmad Hajin -guru kami- menyatakan bahwa hal tersebut tidak mengapa dilakukan dan shalat berjamaah nya tetap sah. Di sisi lain kita mengetahui kebutuhan untuk mengerjakan hal itu bersifat dharuri [urgent, mau tidak mau mesti dikerjakan]. Berbeda jika tidak ada kebutuhan; maka perbuatan tersebut bisa jatuh kepada batalnya shalat berjamaah [menurut sebagian pendapat]. Wallahu a’lam.
🌸🌿 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar
Ngaji FIQH
https://chat.whatsapp.com/5SsivFXiBGVDVXUcy2fo7w
www.instagram.com/ngaji_fiqh
No comments:
Post a Comment