Tuesday, April 7, 2020

PENGGUNAAN HAND-SANITIZER & DESINFEKTAN DARI ALKOHOL, BOLEHKAH?


Assalamu'alaikum ustadz mau tanya bagaimana hukumnya memakai hand sanitizer/ anti septik yg mengandung alkohol, apalagi saat ini sedang gencar ttg covid 19. Terimakasih.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

A.R.

Jawaban :

Waalaykumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh...

Perlu diketahui bahwa al-wiqayah [tindakan preventif/antisipasi] merupakan bagian dari aktivitas thibb/tadāwi [pengobatan] dimana para fuqoha/pakar fikih banyak membahas masalah ini secara khusus.

Penggunaan hand-sanitizer dan desinfektan termasuk ke dalam al-wiqayah [tindakan preventif/antisipasi] untuk menghindari dampak negatif dari virus yang berbahaya [dalam hal ini covid-19]. (Ahmad Syauqi, At-Thibb Al-Wiqa’i Fil Islam, hal. 12)

Jadi, tidak seperti obat pada umumnya yang digunakan untuk “menyembuhkan sakit”, hand-sanitizer dan desinfektan digunakan untuk “mencegah sakit”.

Hand-sanitizer sendiri adalah cairan [liquid] atau gel yang digunakan di bagian tangan sebagai pembasmi virus. Adapun desinfektan, cairan yang di gunakan pada umumnya untuk benda/objek mati.

Jika kita melihat dari komposisinya, hand-sanitizer dan desinfektan mengandung alkohol ethanol dan isopropil [sebagaimana tertera dalam Panduan WHO terkait standar hand-sanitizer]. Dan ethanol terkategori sebagai khamr, karena ia merupakan bahan untuk minuman keras. (Lihat, Dr. Hisyam As-Sayyid, Al-Kuhul wa Istikhdamatuhu : Dirasah Fiqhiyyah Mu’ashirah, hal. 8-9)

Lantas, bagaimana hukum menggunakan hand-sanitizer/desinfektan beralkohol tersebut?

Jawaban kami :

1. Seandainya hand-sanitizer dan desinfektan itu bisa dibuat dengan bahan non-alkohol, maka mengambil hand-sanitizer non-alkohol adalah perkara yang dipilih.

Penggunaan khamr untuk pengobatan menurut para ulama hukumnya haram. Sebab, terdapat hadits yang menegaskan demikian.

Dari Wa’il Ibn Al-Hadhromi ia berkata,

أنَّ طَارِقَ بنَ سُوَيْدٍ الجُعْفِيَّ سَأَلَ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ عَنِ الخَمْرِ فَنَهَاهُ أَوْ كَرِهَ أَنْ يَصْنَعَهَا فَقالَ إنَّما أَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ فَقالَ إنَّه ليسَ بدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ

Bahwasanya Thoriq Ibn Suwaid Al-Ju’fi bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam tentang khamr. Maka Nabi melarangnya dan benci jika ia membuatnya. Maka Thoriq berkata, “aku membuatnya untuk obat.” Lantas Nabi berkata, “Sesungguhnya khamr itu bukanlah obat, melainkan justeru penyakit.” (HR. Muslim No. 1984)

Pendapat Ulama Hanafi :

(وحرم الإنتفاع بها) ولو لسقي دواب... أو في دواء

“Dan diharamkan penggunaannya [yakni khamr], walau untuk memberi minum hewan tunggangan... atau untuk bahan obat.” (Hasiyah Ibn Abidin, 10/28)

Pendapat Ulama Syafi’I :

(وَالْأَصَحُّ تَحْرِيمُهَا) أَيْ تَنَاوُلِهَا عَلَى مُكَلَّفٍ (لِدَوَاءٍ وَعَطَشٍ) أَمَّا تَحْرِيمُ الدَّوَاءِ بِهَا فَلِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِمَا سُئِلَ عَنْ التَّدَاوِي بِهَا. قَالَ «إنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ» ، وَالْمَعْنَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى سَلَبَ الْخَمْرَ مَنَافِعَهَا عِنْدَمَا حَرَّمَهَا، وَيَدُلُّ لِهَذَا، قَوْلُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ أُمَّتِي فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْهَا» وَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى الْخَمْرِ، رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «إنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ الْخَمْرَةَ سَلَبَهَا الْمَنَافِعَ» وَمَا دَلَّ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ مِنْ أَنَّ فِيهَا مَنَافِعَ لِلنَّاسِ إنَّمَا هُوَ قَبْلَ تَحْرِيمِهَا، وَإِنْ سُلِّمَ بَقَاءُ الْمَنْفَعَةِ فَتَحْرِيمُهَا مَقْطُوعٌ بِهِ، وَحُصُولُ الشِّفَاءِ بِهَامَظْنُونٌ، فَلَا يَقْوَى عَلَى إزَالَةِ الْمَقْطُوعِ بِهِ

“Dan pendapat yang paling shahih : adalah keharamannya [khamr]. Yakni pengkonsumsiannya baik untuk obat maupun karena kondisi haus. Adapun keharaman berobat dengannya karena Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam ketika ditanya tentang berobat dengannya beliau menjawab : “Sesungguhnya khamr itu bukanlah obat, melainkan penyakit” (HR. Muslim No. 1984)

Dan maknanya ialah : bahwa Allah Ta’ala telah menarik manfaat dari khamr tatkala Dia mengharamkannya. Dan hadits yang menguatkan perkataan ini ialah hadits : “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan syifa’ [penyembuh] bagi ummatku di dalam apa yang diharamkan atasnya” (HR. Abu Ya’la dan Al-Bazzar). Dan hadits ini dibawa pemahamannya kepada khamr.

Dan diriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda : “bahwasanya Allah tatkala mengharamkan khamr, ia menarik manfaat darinya” (hadits ini tidak kami temukan sumbernya, -penj)

Dan apa yang diterangkan di dalam Al-Qur’an bahwa dalam khamr terdapat manfaat bagi manusia (QS. Al-Baqarah[2] :219), sesungguhnya hal itu sebelum pengharaman khamr secara total. Dan jika diterima pernyataan bahwa manfaat khamr masih tetap ada [walaupun diharamkan], maka keharaman khamr itu qath’i. Sedangkan fungsi penyembuhan dari khamr itu sifatnya dzanni. Maka tidak bisa [yang dzanni] menghilangkan ketentuan hukum yang telah qath’i. (Al-Khatib As-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj, 5/518)

Pendapat Ulama Hanbali :

أو شربها للتداوي، لم يبح له ذلك، وعليه الحد

“... atau jika seseorang meminumnya [khamr] untuk pengobatan, tidak diperbolehkan hal tersebut. Dan baginya hukuman had/sanksi atas peminum khamr.” (Ibn Qudamah, Al-Mughni, 7/426)

Pendapat Ulama Maliki :

لا يجوز التداوي بالخمر

“Tidak diperkenankan berobat dengan khamr...” (Hasiyah Ad-Dasuqi ‘Ala As-Syarh Al-Kabir, 1/102)

Berkata Al-Imam Al-Qurthubi Al-Maliki :

وكذلك الخمر لا يتداوى بها. قاله مالك

“Begitu pula dengan khamr, tidak boleh berobat dengannya. Ini merupakan pendapat Imam Malik” (Al-Jami li Ahkam Al-Qur’an, 2/173)

Karena itu, tidak boleh menggunakan khamr/alkohol ethanol sebagai pengobatan.

Sebagian kalangan mengqiyaskan berobat menggunakan khamr, dengan berobat menggunakan air kencing unta pada kasus Urainah sehingga dianggap sebagai rukhsah. Namun, qiyas ini adalah qiyas ma’al fariq [analogi dengan sesuatu yang berbeda faktanya]. Sebab, berobat dengan khamr telah tegas larangannya dari Nabi; berbeda dengan kencing unta yang memang terdapat nash akan kebolehannya. (‘Aunul Ma’bud, 10/356)

Di sisi lain, kenajisan kencing unta sendiri diperselisihkan oleh para ulama. Tidak bisa disamakan dengan khamr. Memang terdapat khilafiyyah dalam kenajisan khamr, namun keharaman berobat dengan khamr bukan terkait kenajisannya, melainkan terkait dengan dzat khamr/alkohol ethanol itu sendiri.

Terkait kesucian khamr para ulama bersilang pendapat :

• Menurut madzhab Hanafi, Syafi’I, Maliki, Hanbali : khamr merupakan dzat/benda yang terkategori najis. (Bada'i As-Shana’i [1/66], Bidayatul Mujtahid [3/146], Al-Hawi Al-Kabir [2/259], Al-Kafi fi Fiqh Al-Imam Ahmad [1/158])

• Sedangkan menurut Al-Hasan Al-Bashri, Rabi’ah, Dawud Adz-Dzahiri, Imam Laits, sebagian Malikiyyah, dan Imam As-Syaukani : Khamr merupakan dzat yang suci [terlepas dari hukum keharaman meminumnya, dzat khamr menurut mereka suci seperti air biasa]. (Al-Majmu’ [2/563], As-Sail Al-Jarar, hal. 25)

Dalil kalangan pertama [yang menganggap khamr adalah benda najis] ialah ayat Al-Qur’an :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khamr, berjudi, [berkurban] untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah rijsun [kotor] dan termasuk perbuatan setan...” (QS. Al-Ma’idah [5] :90)

Dan rijsun makna nya najis. (Ahkamul Qur’an Li Ibnil ‘Arabi, 2/164)

Seandainya dikatakan : Bagaimana bisa rijsun dianggap sebagai najis, sedangkan judi, berkurban untuk berhala, undian anak panah bukanlah benda-benda najis berdasarkan ijma’?

Maka kita katakan : ketiga perkara tersebut keluar dari tuntutan ayat [muqtadhal ayat] sebab adanya ijma’. Sedangkan khamr tetap berada dalam tuntutan ayat.

Makna rijsun sebagai najis dikuatkan oleh hadits berkenaan perintah Nabi kepada Ibn Mas’ud untuk mencarikan tiga batu agar beliau bisa beristinja. Saat Ibn Mas’ud hanya mampu membawa dua batu dan satu kotoran keledai, Nabi mengambil dua batu dan membuang kotoran itu, dan berkata : “sesungguhnya kotoran ini rijsun” (HR. Ibn Asakir [1/41])

Di dalam riwayat Bukhari, “kotoran ini riksun” (HR. Al-Bukhari No. 156)

Maka jelaslah bahwa rijsun menunjukkan kepada makna najis. (Al-Binayah Syarh Al-Hidayah, 1/727)

Kemudian dalil lain yang menjadi pegangan kalangan pertama ialah hadits :

 عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّا نُجَاوِرُ أَهْلَ الْكِتَابِ وَهُمْ يَطْبُخُونَ فِي قُدُورِهِمُ الْخِنْزِيرَ وَيَشْرَبُونَ فِي آنِيَتِهِمُ الْخَمْرَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَكُلُوا فِيهَا وَاشْرَبُوا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا غَيْرَهَا فَارْحَضُوهَا بِالْمَاءِ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا)).

Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam dengan mengatakan, “sesungguhnya kami hidup berdampingan dengan Ahlul Kitab, dan mereka menggunakan panci-panci mereka untuk memasak daging babi, dan menggunakan wadah-wadah air untuk minum khamr,” maka berkata Rasulullah :

“Jika kalian menemukan wadah-wadah selain milik mereka, maka makan dan minumlah dari wadah-wadah lain tersebut. Namun jika kalian tidak menemukan wadah-wadah yang lain, maka basuhlah wadah-wadah Ahli Kitab tersebut dengan air dan makan minumlah dengan wadah tersebut.” (HR. Abu Dawud No. 3841, At-Thabrani [22/219], At-Tirmidzi No. 1560 dan ia berkata : Hadits ini hasan shahih)

Perintah membasuh wadah-wadah Ahli Kitab yang biasa digunakan untuk memasak daging babi dan meminum khamr adalah petunjuk bahwa khamr merupakan benda najis. Dan inilah pendapat terkuat.

Adapun dalil kalangan kedua [yang beranggapan bahwa khamr bukanlah benda najis], ialah ayat :

...وٙأٙنْهٙارٌ مِنْ خٙمْرٍ لٙذّٙةٍ للشّٙارِبِيْن...

“... dan sungai-sungai khamr yang lezat rasanya bagi peminumnya...” (QS. Muhammad [47] :15)

Ayat ini menjelaskan minuman-minuman yang akan di minum oleh para penghuni syurga.

Menurut mereka, Allah Ta’ala telah menciptakan khamr sebagai benda suci [sebagaimana susu, madu di dalam ayat tersebut]. Bedanya, khamr di dunia haram karena memabukkan, sedangkan khamr di syurga halal dan tidak memabukkan.

Tentu saja pendapat tersebut dapat dibantah dengan argumen : bahwa seandainya Allah Ta’ala mampu mengubah khamr dunia yang memabukkan menjadi tidak memabukkan kelak di syurga, maka sama saja mudah bagi Allah menjadikan khamr yang tadinya najis menjadi benda suci. Dan ini semakin menguatkan pendapat bahwa khamr adalah benda najis.

Kalangan ini juga berdalil dengan hadits dimana para sahabat membuang air-air khamr di jalanan Madinah (HR. Muslim No. 1587). Menurut mereka seandainya khamr itu najis, niscaya para sahabat tidak akan membuang khamr itu di jalanan dan Nabi akan melarang hal itu sebagaimana Nabi melarang buang air kecil/besar di jalan.

Namun argumentasi ini juga bisa disanggah. Sebab, para sahabat pada masa itu belum memiliki jamban di rumah-rumah mereka; sedangkan jika harus membuang khamr tersebut di luar kota Madinah tentu akan membuat mereka berat.

Lagipula kadar air khamr tersebut tidaklah banyak sehingga tidak membuat jalanan Madinah kebanjiran. Oleh karena nya peristiwa itu tidak bisa menjadi hujjah akan kesucian khamr. (Lihat, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 6/288)

Maka jelaslah bahwa hand-sanitizer beralkohol itu najis.

2. Jika memang mesti menggunakan yang ber alkohol, dan sama sekali tidak bisa digantikan oleh bahan yang lain, maka dalam hal ini para ulama memperbolehkannya karena darurat.

Seperti misalnya, bagi para petugas medis yang bertugas menangani pasien yang terkena virus Covid-19. Jika para ahli dan pakar telah menyatakan bahwa penggunaan hand-sanitizer beralkohol itu sifatnya wajib dan tidak bisa digantikan dengan bahan yang lain, maka boleh bagi mereka menggunakannya. Hal inilah yang difatwakan oleh Lajnah Fatwa Yordania, dengan no. Fatwa 1983.

Kaidah nya mengatakan :

الضّٙرُوْرٙات تُبِيْحُ المٙحْظُوْرٙات

“Keadaan darurat menjadikan boleh perkara yang dilarang” (As-Syathibi, Al-Muwafaqat, 4/145)

Namun, perkara darurat ini hanya diperbolehkan sesuai dengan kadarnya. Sebagaimana kaidah lain mengatakan :

الضّٙرُوْرٙةُ تُقٙدّٙرُ بِقٙدٙرِهٙا

“Keadaan darurat tersebut diukur berdasarkan kadar kebutuhannya” (Al-Muwafaqat, 4/59)

Jika memang hanya diperlukan untuk satu kondisi tertentu, maka hanya kondisi tertentu saja hand-sanitizer tersebut digunakan.

Menurut penjelasan Dr. Dallal Masykuroh, seorang pakar kesehatan dari Timur Tengah [langsung kepada kami] :

معقم اليدين ضروري بالكحول و لكن نفضل استعمال الماء و الصابون فقط اذا امكن و نترك استعمال المعقمات الكحولية عند الضرورة او عدم وجود ماء و الصابون( في السوبرماركت او في الشارع مثلا) اما في البيوت فالماء و الصابون كافي

“Hand-sanitizer [mu’aqqim al-yadain] mau tidak mau mesti menggunakan alkohol. Akan tetapi kita mendahulukan penggunaan sabun + air saja jika kondisinya memungkinkan. Kita tidak menggunakan hand-sanitizer kecuali ketika darurat dan dalam kondisi ketiadaan air+sabun [saat berada di supermarket atau di jalan, misalnya]. Adapun di rumah-rumah maka penggunaan air + sabun sudah cukup memadai.”

Karena hand-sanitizer berbahan alkohol ini najis, maka jika seseorang menggunakan nya di luar rumah kemudian kembali pulang ke rumah, ia harus memastikan bahwa tangannya bersih dari najis [jika ia mau shalat]. Karena itu terlebih dahulu ia membasuh tangannya tatkala berada di dalam rumah. Para petugas medis juga disarankan untuk mengerjakan demikian, jika kondisinya memungkinkan. Namun jika kondisinya memaksa ia tetap menggunakan hand-sanitizer beralkohol setiap saat, ia boleh shalat dengan kondisi seperti itu.

Adapun desinfektan, karena ia untuk benda mati, mau tidak mau di dalam rumah digunakan desinfektan non-alkohol. Jika ada kondisi darurat di luar rumah mengharuskan penggunaan desinfektan beralkohol, maka hukum penggunaannya sama seperti penggunaan hand-sanitizer.

Demikianlah sebagian pandangan yang kami ambil dari pandangan guru-guru kami. Wallahu a’lam.


🌸🌿 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar

www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

www.instagram.com/ngaji_fiqh

No. WA : +201019133695

No comments:

Post a Comment