Tuesday, April 7, 2020
MASALAH CORONA
Asslamu alaykum...
Ustadz Rivaldy.. Bolehkah bertanya terkait wabah penyakit corona yg skrg sdang ramai?
Pernah sy dengar bahwa seseorg tdk boleh keluar dari suatu wilayah, jika ada wabah penyakit di wilayahnya. Benarkah ini?
Jawaban :
Waalaykumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh...
Mewabahnya penyakit yang diakibatkan dari adanya virus tersebut, merupakan peringatan dari Allah terhadap pemerintah China yang terang-terangan mendzalimi ummat Islam. Kejadian ini mirip dengan situasi mewabahnya penyakit pada masa Nabi yang disebut tha’un. Karena itu dalam hadits disebutkan :
الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَل بِهِ أُنَاسًا مِنْ عِبَادِهِ، فَإِذَا سَمِعْتُم بِهِ فَلاَ تَدْخُلُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَافَلاَ تَفِرُّوا مِنْهُ
“Penyakit Tha’un merupakan tanda keburukan yang Allah ‘Azza Wa Jalla jadikan sebagai ujian bagi manusia diantara hamba-hamba Nya; jika kalian mendengar adanya penyakit tersebut mewabah pada suatu wilayah, maka janganlah kalian masuk pada wilayah tersebut. Dan jika mewabah pada suatu wilayah dan kalian berada di wilayah tersebut, janganlah keluar darinya.” (Muttafaq ‘Alayh)
Di riwayat lain Rasulullah menjelaskan tentang tha’un :
هُوَ عَذَابٌ أَوْ رِجْزٌ أَرْسَلَهُ اللَّهُ عَلَى طَائِفَةٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيل أَوْ نَاسٍ كَانُوا قَبْلَكُمْ، فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا عَلَيْهِ، وَإِذَا دَخَلَهَا عَلَيْكُمْ فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا فِرَارًا
“Dia merupakan adzab atau kekotoran yang dikirim oleh Allah atas sekelompok manusia dari Bani Israil atau orang-orang sebelum kalian. Jika kalian mendengar [penyakit tersebut mewabah] di suatu wilayah, maka janganlah kalian masuk ke wilayah tersebut. Dan jika penyakit tersebut masuk ke wilayah tempat tinggal kalian, maka jangan lah kalian keluar darinya seperti orang yang kabur.” (HR. Muslim [4/1738])
Dzahir hadits melarang seseorang masuk pada wilayah yang tersebar di dalamnya wabah penyakit mematikan, juga melarang orang yang berada dalam wilayah tersebut untuk keluar darinya. Mencegah agar penularannya tidak semakin meluas.
Al-Imam An-Nawawi mengatakan,
وَالصَّحِيحُ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ النَّهْيِ عَنِ الْقُدُومِ عَلَيْهِ وَالْفِرَارِ مِنْهُ لِظَاهِرِ الأَْحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ
“Pendapat yang benar adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan daripada larangan masuk ke wilayah tersebut dan kabur darinya, sebab [telah ditunjukkan] oleh dzahir/teks hadits yang shahih” (Syarh Shahih Muslim, 14/205-207)
Lantas, bagaimana dengan orang-orang Indonesia yang kabarnya dipulangkan dari negeri China, akibat mewabahnya virus Corona yang mematikan itu beberapa waktu lalu?
Jawaban atas soal ini dijawab oleh Imam Ibn Hajar Al-Haitami As-Syafi’I :
وَاَلَّذِي يُتَّجَهُ تَرْجِيحُهُ عَلَى قَوَاعِدِنَا أَنَّهُ إنْ خَرَجَ بِقَصْدِ التَّدَاوِي أَوْ حَاجَةٍ أُخْرَى جَازَ أَوْ بِقَصْدِ الْفِرَارِ، وَلَوْ مَعَ قَصْدِ التَّدَاوِي أَوْ غَيْرِهِ حَرُمَ كَمَا مَرَّ، وَاَلَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهُ لَوْ عَمَّ إقْلِيمًا لَمْ يَحْرُمْ الْخُرُوجُ مِنْ بَعْضِ قُرَاهُ إلَى بَعْضٍ؛ لِأَنَّهُ لَا فِرَارَ حِينَئِذٍ أَلْبَتَّةَ، وَأَنَّهُ لَوْ خَصَّ مَحَلَّةً مِنْ بَلْدَةٍ وَلَمْ يُوجَدْ مِنْهُ شَيْءٌ فِي بَقِيَّةِ مَحَلَّاتِ تِلْكَ الْبَلَدِ كَانَ حُكْمُ الْمَحَلَّةِ حِينَئِذٍ كَحُكْمِ الْبَلَدِ الْمُسْتَقِلِّ، فَيَحْرُمُ الْخُرُوجُ مِنْهَا فِرَارًا، وَالدُّخُولُ إلَيْهَا أَيْ: لِغَيْرِ حَاجَةٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ هُنَا، وَفِيمَا مَرَّ؛ لِأَنَّهُ إذَا جَازَ الْخُرُوجُ لِحَاجَةٍ جَازَ الدُّخُولُ قِيَاسًا إذْ لَا يَظْهَرُ بَيْنَهُمَا فَرْقٌ فِي ذَلِكَ فَإِنْ قُلْت: يُنَافِي هَذَا مَا مَرَّ مِنْ أَنَّهُ إذَا وَقَعَ فِي الْبَلَدِ عَمَّ جَمِيعَ مَنْ فِيهِ بِمُدَاخَلَةِ سَبَبِهِ.
قُلْت: لَا مُنَافَاةَ؛ لِأَنَّ مَا قُلْنَاهُ مِنْ أَنَّ الْمَحَلَّةَ لَيْسَتْ كَالْبَلَدِ فِيمَا إذَا تَحَقَّقْنَا اخْتِصَاصَهُ بِهَا، وَتَحَقَّقْنَا أَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ شَيْءٌ مِنْ أَسْبَابِهِ فِي بَقِيَّةِ الْبَلَدِ فَحِينَئِذٍ يَحْرُمُ لِغَيْرِ أَهْلِ تِلْكَ الْمَحَلَّةِ دُخُولُهَا لِغَيْرِ حَاجَةٍ، وَالْخُرُوجُ مِنْهَا بِقَصْدِ الْفِرَارِ، وَأَمَّا إذَا لَمْ نَتَحَقَّقْ ذَلِكَ فَحُكْمُ بَقِيَّةِ الْبَلَدِ حُكْمُ تِلْكَ الْمَحَلَّةِ؛ لِأَنَّ الْغَالِبَ أَنَّهُ إذَا وَقَعَ فِي بَلَدٍ عَمَّ جَمِيعَ مَنْ فِيهِ بِمُدَاخَلَةِ سَبَبِهِ
“Yang merupakan pendapat terkuat berdasarkan kaidah madzhab kita bahwasanya seseorang jika ia keluar dari wilayah tersebarnya penyakit tersebut dengan tujuan berobat atau kebutuhan mendesak lain, maka keluarnya ia dari wilayah tersebut tidak terlarang. Tapi jika tujuannya adalah kabur, meski diiringi dengan tujuan berobat atau lainnya, maka hal ini haram.
Yang nampak dari masalah ini bahwasanya jika negeri yang terdapat wabah tersebut merupakan negeri yang luas, tidak dikatakan haram jika keluar dari negeri tersebut sebagian daerahnya dari daerah yang lain. Sebab, tidak dikatakan kabur dari wabah itu [jika memang bukan daerahnya sendiri yang terkena wabah]. Dan karena suatu daerah jika hanya daerah itu saja yang terkena dampak dari seluruh daerah yang ada di negeri itu, maka dianggap daerah itu seperti negeri/wilayah terpisah.
Maka kondisi seperti itu haram bagi penduduknya untuk pergi keluar wilayah/daerah. Juga haram bagi penduduk luar untuk masuk ke daerah tersebut, yakni jika tidak ada kebutuhan. Sebagaimana telah jelas dalam penjelasan ini dan telah lewat. Sebab jika memang dikatakan “boleh keluar” dari daerah tersebut karena ada kebutuhan penting, maka boleh juga masuk daerah tersebut diqiyaskan dengan bolehnya keluar [tidak ada bedanya].
Jika engkau mengatakan : hal ini bertentangan dengan bahasan sebelumnya bahwa jika suatu wabah penyakit menimpa suatu negeri, maka penyakit tersebut mewabah ke seluruh penduduk negeri sebab virus bisa masuk mengenai mereka.
Maka jawabanku : Tidak ada pertentangan. Sebab apa yang kami katakan bahwa suatu daerah tidak bisa dianggap seperti satu negeri [alias tidak boleh dianggap satu negara terdapat virus mematikan], jika terdapat penelitian yang menyatakan bahwa hanya daerah tertentu saja yang terkena wabah itu. Dan telah terbukti bahwa tidak terdapat wabah/virus seperti itu di daerah lain di negara itu. Maka kondisi ini menjadikan penduduk luar daerah wabah tersebut [meski satu negara], tidak boleh masuk ke daerah itu jika tidak ada kepentingan mendesak. Juga penduduk daerah tersebut tidak boleh keluar dari daerah tadi dengan alasan kabur.
Jika tidak bisa dibuktikan hal ini, maka sebagian daerah lain di negeri itu dianggap seperti daerah yang terkena wabah itu. Alasannya karena pada umumnya suatu wabah penyakit jika menimpa satu negeri, maka secara merata penduduknya terkena dampak tersebut sebab berasal dari sumber virus penyebab penyakit [yang kadangkala tidak terdeteksi].” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, 4/11)
Kesimpulannya :
1. Tidak boleh masuk/melakukan perjalanan ke wilayah yang jelas-jelas menjadi sumber munculnya virus Corona tersebut. Banyak pihak telah memberikan warning untuk tidak masuk ke wilayah China, khususnya Wuhan.
2. Adapun kasus banyak nya orang Indonesia yang dipulangkan, ini melihat dari kondisi bahwa mereka dipulangkan untuk mencegah terjadi nya hal-hal yang tidak diinginkan. Jika memang terbukti bahwa mereka steril, dan bukan berasal dari wilayah Wuhan, maka tidak mengapa -berdasarkan penjelasan di atas- mereka keluar dari wilayah munculnya wabah tersebut.
3. Perlu digaris bawahi bahwa tulisan ini bukan FATWA, melainkan tinjauan ilmiah dari sisi fikih berkenaan dengan masalah boleh tidaknya masuk dan keluar dari wilayah yang terkena wabah. Keputusan memulangkan warga Indo dari China, sepenuhnya berada dalam tanggung jawab dan pengawasan pihak yang berwenang. Sepenuhnya kita serahkan masalah ini pada pemerintah kita, karena mereka lebih tahu fakta di lapangan.
4. Mengingat kasus ini telah menjadi darurat global [sebagaimana yang dinyatakan oleh WHO], maka mengambil langkah-langkah untuk mencegah diri dan keluarga dari terkena dampak penyakit ini mesti ditempuh, sebagai bagian dari ikhtiar kita untuk menjaga kesehatan.
Seperti misalnya, menghindari kontak dengan orang yang terkena penyakit ini.
Dalam hadits disebutkan : Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda,
لا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ علَى مُصِحٍّ وأَنْكَرَ أبو هرَيْرَةَ حَدِيثَ الأوَّلِ، قُلْنا: ألَمْ تُحَدِّثْ أنَّهُ: لا عَدْوَى فَرَطَنَ بالحَبَشِيَّةِ، قالَ أبو سَلَمَةَ: فَما رَأَيْتُهُ نَسِيَ حَدِيثًا غَيْرَهُ.
“Janganlah sekali-kali orang yang sakit didatangkan kepada orang yang sehat.” Dan Abu Hurairah mengingkari hadits yang pertama. Kami mengatakan: Bukankah engkau telah meriwayatkan hadits, “Tidak ada yang namanya penyakit menular?”. Lantas Abu Hurairah menggerutu dengan bahasa orang Ethiopia. Abu Salamah berkata : “Tidak pernah aku menemukan Abu Hurairah lupa dengan hadits selain hadits ini”. (HR. Al-Bukhari No. 5771)
Pembahasan hadits terkait hal ini menarik. Sebab, Abu Hurairah meriwayatkan hadits [yang itu juga termasuk dalam Shahih Bukhari] yang menyatakan bahwa tidak ada yang namanya penyakit menular (HR. Al-Bukhari No. 5770). Tapi di sisi lain ia juga meriwayatkan hadits yang menyatakan larangan mendatangkan orang sakit kepada orang yang sehat.
Al-Imam An-Nawawi meluruskan hal ini :
“Jumhur ulama menyatakan bahwa wajib mengkompromikan antara dua hadits tersebut dimana keduanya merupakan hadits shahih. Mereka mengatakan : Dan jalan untuk mengkompromikannya adalah bahwa hadits “tidak ada penyakit menular” dimaksudkan untuk menghilangkan keyakinan pada saat jahiliyyah yang menyangka dan meyakini bahwa penyakit dan bala’ itu menular berdasarkan tabiatnya sendiri, bukan karena kuasa Allah.
Sedangkan hadits “tidak boleh orang sakit didatangkan kepada orang yang sehat” maka menjadi petunjuk untuk menjauhi segala hal yang dapat mengakibatkan keburukan di sekitarnya dimana hal itu juga bagian dari kuasa Allah dan ketetapan-Nya. Maka, hadits pertama yang menyatakan tidak ada penyakit menular, maksudnya adalah penyakit tidak menular dan berbahaya dengan tabiat nya sendiri, akan tetapi tidak berarti menafikan kemungkinan menyebarnya penyakit tersebut kepada orang lain dengan kehendak dan kuasa Allah. Sedang hadits kedua memberikan petunjuk untuk menjaga diri dari segala hal yang bisa menjadi sebab bahaya dimana semua itu ada dalam kuasa dan kehendak Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 14/213)
Kemudian Imam Nawawi melanjutkan : “Tidak lantas lupanya Abu Hurairah memberi pengaruh terhadap hadits ‘tidak ada penyakit menular’ [tidak boleh hadits ini dianggap dha’if hanya karena Abu Hurairah lupa dengan haditsnya].
Alasan nya ada dua : 1. Lupa nya periwayat hadits dengan hadits yang diriwayatkannya sendiri tidak membuat haditsnya itu cacat dari segi keshahihan. Ini menurut jumhur ulama. Bahkan mereka tetap mewajibkan beramal dengan hadits seperti itu.
2. Bahwa lafadz seperti hadits Abu Hurairah ini diriwayatkan juga oleh yang lain sebagaimana disebutkan oleh Imam Muslim dari riwayat As-Sa’ib Ibn Yazid, Jabir Ibn Abdillah, Anas Ibn Malik, dan Ibn ‘Umar.” (Syarh Shahih Muslim, 14/213)
Terakhir yang ingin kami katakan: Hanya kepada Allaah As-Syafi, kita berlindung dari segala musibah dan penyakit... Semoga kita bisa memetik hikmah dari semua musibah yang menimpa hari ini...
Mari berdo’a :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ، وَالْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الأَسْقَامِ
“Ya Allaah... Sesungguhnya Aku berlindung kepada engkau dari penyakit kusta, gila, lepra, dan dari penyakit-penyakit yang buruk...” (HR. Abu Dawud No. 1554, An-Nasa’i No. 5493)
🌿💎 Yuk Share! Sebagai bagian dari amal dakwah...
Ngaji FIQH
https://t.me/ngajifiqh
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment