Tuesday, April 7, 2020

SEPUTAR DIAM DI RUMAH SAAT WABAH




1. Ust mau bertanya, benarkah ada hadits yang mengatakan bahwa bahwa jika kita tinggal diam di rumah saat wabah, kita akan mndapat pahala syahid? Mohon pencerahannya?


2. Ust rivaldy.. Smga allah memberikan ksehatan utk anda skeluarga

Atas tulisan anda ttang perdebatan antara shalat jumat n tidak di saat wabah sperti ini.

Kami sangat jelas memahami pendapat ulama2 termasuk fatwa mui. Yg mmbuat kami ragu bukan fatwa ny. Tp d fatwa itu yg menentukan kritis atau tidak nya wabah itu mwnyebar adalah pihak berwenang. Smntra yg kami alami pihak berwenang terkesan menyembunyikan tingkat kegawatan atau tidak wabah ini. Smntra d akar bawah ada yg menyepelekan dg mngatakan dsni aman2 sja smntra yg lain mlihat ini bgitu bahaya.

Mhon bantuannya.. Bgaimna jka pihak berwenang justru terlihat menutupi n tidak mau terbuka. Bagaimna kami harus bertindak?? Menggunakan kaidah menghilangkan dharar lbih utama dr mengambil manfaat atau kami ttap shalat jumat n berjmaah.
.Terimakasih atas jawabannya, smga allah memudahkan anda.

Jawaban :

1. Hadits yang dimaksud mungkin adalah hadits berikut.

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha ia berkata :

سألتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عن الطاعونِ، فأخبَرَني رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أنَّه كان عَذابًا يَبعَثُه اللهُ على مَن يَشاءُ، فجعَلَه رَحمةً للمُؤمِنينَ، فليس مِن رَجُلٍ يَقَعَ الطاعونُ فيَمكُثُ في بَيتِه صابِرًا مُحتَسِبًا يَعلَمُ أنَّه لا يُصيبُه إلَّا ما كَتَبَ اللهُ له إلَّا كان له مِثلُ أجْرِ الشَّهيدِ.

Aku bertanya kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam tentang tha’un, kemudian Rasulullah memberi tahu ku : bahwasanya tha’un dahulu merupakan adzab yang Allah kirim kepada siapa yang dia kehendaki; dan bagi kaum mukminin sebagai rahmat. Maka tidaklah seorang laki-laki terkena tha’un lantas berdiam diri di rumahnya dengan sabar dan mengharap pahala dari Allah, dan ia sadar bahwa apa yang menimpanya tiada lain merupakan sesuatu yang telah ditulis oleh Allah; melainkan pahala baginya seperti orang yang mati syahid.” (Musnad Ahmad No. 26139)

Sebetulnya lafadz riwayat hadits dari Imam Bukhari dan para imam yang lainnya tidak menyebutkan : “berdiam diri di rumahnya”. Akan tetapi yang mereka sebutkan : “berdiam diri di negeri tempat tinggal nya”.

Syaikhul Islam Ibn Hajar Al-Asqalani sendiri menyebutkan di dalam Badzlul Ma’un fi Fadhl At-Tha’un (hal. 199) dan Fathul Bari (10/193) bahwasanya lafadz “berdiam diri di rumahnya” adalah lafadz yang hanya ada di riwayat hadits Imam Ahmad.

Yang nampak bagi kami hadits tersebut terkategori syadz.

Hadits syadz ialah hadits yang diriwayatkan periwayat maqbul [periwayat kategori tsiqah ataupun shaduq] dimana ia menyelisihi riwayat-riwayat dari periwayat hadits lain yang lebih unggul. Tentu dengan catatan, tidak ada jalan bagi hadits-hadits tersebut untuk di jama’ [di kompromikan], sehingga mau tidak mau harus melemahkan [memarjuhkan] riwayat hadits dari periwayat yang lebih rendah derajat kemaqbulannya. (Lihat, Nuzhatun Nadzor, hal. 72)

‘Abdus Shomad Ibn Abdil Warits Al-Anbari tafarrud [menyendiri] di dalam meriwayatkan hadits dengan kalimat “berdiam diri dirumahnya”, menyelisihi murid-murid/periwayat-periwayat lain yang mengambil hadits dari Dawud Ibn Abil Furat.

Periwayat-periwayat lain, seperti :

• Musa Ibn Isma’il (HR. Al-Bukhari No. 3474)

• Habban Ibn Hilal (HR. Al-Bukhari No. 5734)

• An-Nadhr Ibn Syumail (sebagai mutaba’ah, HR. Al-Bukhari No. 5734)

• Yunus Ibn Musa (HR. Ahmad No. 24358, An-Nasa’i No. 7485)

• Al-Maqbury (Musnad Ishaq Ibn Rahuyah No. 1761)

Mereka semua meriwayatkan dengan lafadz “di negeri tempat tinggalnya [ في بلده ]”, bukan “di rumahnya [ في بيته ]”.

Karena itu, hadits yang mahfudz [kuat] ialah hadits riwayat Al-Bukhari berikut :

سألتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عن الطاعونِ، فأخبَرَني : أنَّه عَذابٌ يَبعَثُه اللهُ على مَن يَشاءُ، وٙأٙنّٙ اللّٰهٙ جٙعَلَه رَحْمٙةً للمُؤمِنينَ، لٙيْسٙ مِنْ أٙحٙدٍ يَقَعُ الطاعونُ فيَمكُثُ في بَلٙدِهِ صٙابِرًا مُحتَسِبًا يَعلَمُ أٙنَّهُ لا يُصيبُهُ إلَّا مٙا كَتَبَ اللهُ لٙهُ إلَّا كٙانٙ لٙهُ مِثْلُ أٙجْرِ الشَّهِيْدِ.

Aku bertanya kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam tentang tha’un, kemudian beliau memberi tahu ku : “bahwasanya tha’un merupakan adzab yang Allah kirim kepada siapa yang Dia kehendaki; dan Allah menjadikannya rahmat bagi kaum mukminin. Tidaklah seseorang terkena tha’un lantas BERDIAM DIRI DI NEGERI TEMPAT TINGGALNYA dengan sabar dan mengharap pahala dari Allah, dan ia sadar bahwa apa yang menimpanya tiada lain merupakan sesuatu yang telah ditulis oleh Allah; melainkan pahala baginya seperti orang yang mati syahid.” (HR. Al-Bukhari No. 3474)

Maka yang tepat ialah jika seseorang berada di kota/kabupaten zona merah penularan corona, ia tidak boleh keluar dari kota/kabupaten tersebut [menahan diri untuk tidak mudik]. Dan menahan diri untuk tidak keluar rumah saat kondisi seperti ini merupakan langkah yang bijak, kecuali bagi mereka yang mau tidak mau harus keluar rumah.

2. Adapun terkait dengan pertanyaan no. 2, tentu saja dalam hal ini dia mengambil ghalabatudz dzan [dugaan kuat] yang dia temukan.

Seandainya dia menemukan indikasi kuat [bukan sekedar tebak-tebakan] bahwa wilayah tempat dia berada rawan tersebar virus berbahaya ini, maka tidak mengapa jika akhirnya dia memilih untuk tidak shalat jum’at meski pun  di wilayah nya tersebut pemerintah menyatakan sebagai “zona hijau/aman virus”.

Al-Imam Izzuddin Ibn Abdissalam menulis :

يجوز تركُ الجماعة بالأعذار؛ كالأمراض، والأمطار، وتمريضِ من يُعتنى به، وفي تركه إِضرار، وكذلك الرياحُ الشديدة بالليل دون النهار، وكذلك القيام على مال لو تركه لضاع، أو خِيف عليه البوار، وكذلك خوف المديون من حبس غريمه عند الإِعسار، وكذلك ما لم يتفاحش من الوحل على الأظهر، ورجاء الجاني العفوَ عن القصاص عذرٌ في ترك الجمعة والجماعات مع ما فيه من الإِشكال

“Diperbolehkan meninggalkan shalat berjamaah di masjid sebab adanya udzur-udzur syar’i, seperti : sakit; hujan lebat; merawat orang yang butuh pertolongan dimana jika orang sakit tersebut ditinggalkan dapat menyebabkan bahaya. Begitu pula [boleh meninggalkan shalat jamaah] jika ada angin kencang di malam hari, bukan di siang hari; atau karena dia harus menjaga harta nya dimana jika ditinggal bisa hilang atau ditakutkan atasnya kerusakan.

Juga boleh meninggalkan shalat jamaah di masjid tatkala seseorang takut dengan penagih utang yang bisa saja memenjarakannya tatkala ia tidak memiliki uang untuk pembayaran. Pun juga dengan orang yang dipastikan akan terjatuh di tengah jalanan yang berlumpur [jika pergi shalat jum’at] menurut pendapat yang lebih sesuai; dan [pemberian tenggat waktu] untuk pelaku kriminal agar terhindar dari hukum qishas bisa menjadi udzur untuk meninggalkan shalat jum’at dan jamaah, beserta urusan-urusan lain yang menimbulkan problem serius [bisa menjadi udzur].” (Al-Ghayah fi Ikhtishar An-Nihayah, 2/125)

Kekhawatiran akan penularan virus -jika keluar rumah- berdasarkan dugaan kuat dan bukti yang mendukung [bahwa daerahnya tersebut rawan orang luar daerah masuk misalnya], bisa menjadi udzur untuk meninggalkan jum’at. Ia menggantinya dengan shalat dzuhur di rumah.

Atau, yang lebih selamat, dia tetap melaksanakan shalat jum’at dan jamaah karena berpedoman kepada pemberitahuan pemerintah bahwa tempat tersebut bukan zona merah; namun dia mengambil langkah-langkah pencegahan virus yang memadai, seperti : masker [shalat menggunakan masker tidak mengapa dalam kondisi darurat seperti ini], membawa sajadah sendiri [yang telah disemprot desinfektan], mencuci tangan dengan sabun tatkala pulang dari masjid, menjauhi persentuhan dengan yang lain [social distance], dsb.

In Sya Allah, kita semua akan tetap dalam kondisi sehat selama kita berikhtiar menjaga kesehatan, baik kesehatan dari dalam tubuh [seperti banyak minum air dan mengkonsumsi vit C] atau di luar tubuh [sterilisasi pakaian, benda-benda di sekitar kita, rumah, dsb]. Wallahu a’lam.

🌿💎 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar...

No. WA : +201019133695

www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

No comments:

Post a Comment